Langit Terlihat Bersih Selama Pandemi, Apakah Emisi Berkurang?

By National Geographic Indonesia, Rabu, 24 Juni 2020 | 11:13 WIB
Sumber buatan manusia, emisi sulfur dioksida beracun ditemukan di seluruh dunia. (EPA/livescience.com)

Jalan ini bukan hal yang baru bagi Indonesia.

Sudah ada beberapa kebijakan yang bertujuan mencapai pembangunan hijau, misalnya REDD+ atau (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dan mempromosikan energi terbarukan.

Meski demikian, skema REDD+ ini belum memasukkan kebakaran gambut karena tingginya tingkat ketidakpastian dari estimasi areal yang terbakar.

Melalui skema REDD+, Indonesia berhasil mencegah emisi karbon sebesar 11,23 juta ton CO₂e terlepas ke atmosfer di tahun 2017.

Atas upaya ini, Indonesia akan menerima dana sebesar 56 juta dolar atau sekitar Rp793 miliar dari Norwegia.

Skema ini membuka kesempatan bagi negara-negara pemilik hutan untuk menerima dana atas upaya mereka untuk menjaga area hutan, misalnya menanam pohon-pohon endemik, menerapkan aturan pelarangan penebangan pohon spesies tertentu, dan menekan keluaran emisi karbon dioksida ke atmosfer sembari melakukan revitalisasi ekonomi lokal dari komunitas yang tinggal di daerah hutan.

Manfaat yang didapatkan oleh Indonesia adalah bisa menjaga hutan, menerima pembayaran atas upaya ini, sekaligus menurunkan emisi karbon.

Ini juga terkait dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29%, atau 834 juta ton CO₂e pada tahun 2030 dengan skenario situasi seperti biasa (business as usual), dan 41% (1.081 juta ton CO₂e) jika mendapat bantuan internasional.

Namun, komitmen ini mendapatkan tantangan selama masa pandemi karena negara-negara akan memprioritaskan pemulihan ekonomi.

Karena pertumbuhan ekonomi diprediksi turun akibat wabah ini, kekhawatiran muncul bahwa Indonesia akan memilih menebang pohon dan tetap bertahan dengan bahan bakar fosil sebagai penahan dampak finansial.

Meski keadaan buruk seperti sekarang ini, kesehatan Bumi adalah hal fundamental.

Baca Juga: Mengapa Air Laut Berwarna Biru? Ini Penjelasannya Menurut Sains

Situasi ini justru menjadi kesempatan bagus untuk beralih ke pembangunan berkelanjutan yang rendah emisi karbon dan mempromosikan energi terbarukan.

Pembatasan aktivitas fisik manusia bisa saja menurunkan polusi udara, tapi gas rumah kaca masih tetap terjadi, dan kita masih tetap dalam krisis iklim.

Saat ini, kita seharusnya siap untuk mengambil lompatan besar pasca pandemi untuk mengejar penundaan aksi mitigasi dan secepatnya beralih ke energi terbarukan.

Catatan editor: Artikel sebelumnya menyebutkan 471,1 ppm, seharusnya 417,1 ppm.

Fidelis Eka Satriastanti menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

Penulis: Annuri Rossita, PhD student/Research Assistant, Applied Climatology of Faculty of Mathematics and Natural Sciences, IPB University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.