Kesaksian Tjamboek Berdoeri: Dari Muslihat Propaganda Jepang Sampai 'Salam Djempol' di Jawa

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 20 Juli 2020 | 16:51 WIB
Sampul majalah propaganda Jepang di Indonesia, Djawa Baroe. Tujuannya menebar simpati untuk mengajak rakyat Indonesia terlibat dalam Perang Asia Timur Raya. (Djawa Baroe)

Nationalgeographic.co.id—Jurnalis bernama pedengan Tjamboek Berdoeri memberikan kesaksian suasana resah dan suka cita warga Kotapraja Malang jelang kedatangan bala tentara Jepang.

Di djaman bendera Hinomaru baroe berkibar di Malang, memang terdjadi banjak hal-hal jang kadang-kadang bisa bikin orang ketawa geli [...],” tulis Tjamboek Berdoeri. “Bisa bikin orang mengelah napas, mala bisa bikin orang djadi djeri dan mengkirik batang lehernya.”

Ketika Hindia Belanda tamat, timbul keresahan nan mencekam bagi orang-orang Tionghoa. Kabar kedatangan Jepang itu diikuti dengan perampokan, yang sebagia besar tertuju pada rumah-rumah warga Tionghoa.

Namun, sederet kasus menunjukan tentara-tentara Jepang-lah yang memulai mendobrak paksa toko dan rumah warga Tionghoa untuk mengambil barang. Pemandangan ini, menurut Tjamboek, disaksikan oleh orang-orang Indonesia, yang pada akhirnya ikut-ikutan merampok. Kenyataan inilah yang membuat Tjamboek begitu yakin bahwa militer Jepang sengaja hendak menumpas orang-orang Tionghoa.

Baca Juga: Perang Dunia Kedua dan Takdir

Pelajar Jepang melepas kepergian pilot Kamikaze. (okadatoshi.exblog.jp)

Mala dibanjak tempat jang ketjil, pakean jang melengket pada badan djoega dipaksa boeat dilolosken,” tulis Tjamboek. Tida jarang saja denger, jang prempoean-prempoean Tionghoa sampe kepaksa moesti toetoepi toeboehnja dengen tiker meloloe kerna antero pakean jang dipake , diblodjotin hingga telandjang bolat.”  

Tjamboek Berdoeri menulis kesaksiannya dalam buku Indonesia Dalem Api dan Bara, terbit pada November 1947—tanpa mencantumkan nama penerbit dan percetakannya. Pada 2004, buku itu diterbitkan kembali oleh penerbit Elkasa—atas prakarsa Profesor Ben Anderson, Arief W. Djati, dan Stanly.    

Jelang kedatangan Jepang di Kotapraja Malang, suasana kota tersiar beragam kabar angin tentang perangai militer Jepang. Orang Tionghoa, Belanda, dan Jawa masing-masing memiliki gambaran sendiri tentang bala tentara dari negeri matahari terbit itu.

Orang Tionghoa dan Belanda kebanyakan memiliki bayangan seram tentang militer Jepang. Mereka beranggapan bahwa militer Jepang memiliki perangai yang beringas—terutama terhadap perempuan. Keluarga Si Tjamboek umpamnya, para perempuannya berdandan aneh. Ada yang sengaja berpenampilan dengan rambut kusut, berbusana kumuh, sampai muka yang dicoreng-moreng. “Katanja serdadoe-serdadoe Djepang itoe boewas, hingga djika kaliatan orang prempoean jang sedikit loemajan, bisa dibawa begitoe sadja, zonder orang bisa bantah apa-apa,” tulisnya.

Kengerian itulah yang mendorong para perempuan berdandan seadanya—lebih tepatnya menyamar sebagai sosok tak sedap dipandang. Tujuannya, tidak menarik perhatian. Boleh jadi mereka khawatir bakal terulangnya peristiwa Nanking pada 1939, yang kemudian diikuti rekrutmen “ianfu” di negara-negara yang ditaklukkan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.  

Baca Juga: Tenggelamnya Kapal Poelau Bras Jelang Tamatnya Hindia Belanda 

Jenderal Hitoshi Imamura dan Jenderal Hajime Sugiyama (Wikimedia)

Sementara, orang-orang Jawa justru sebaliknya. Mereka menganggap kedatangan Jepang telah membebaskan mereka dari penjajahan Belanda. Lelaki dan perempuan segala usia berarak menuju Alun-alun Kota Malang demi menyambut bala tentara Jepang. Mereka menyambut dengan kain merah-putih yang dienakan sebagai dasi atau dikalungkan di leher.   

Jang dateng itoe toch ada soedaranja jang perna toewa dan di mana ada soedara toewa jang sengadja maoe bikin soesa pada soedaranja jang lebi moeda?” demikian kata Si Tjamboek menanggapi prapaganda di kotanya. “Soedara jang djoestroe lagi menanti-nantiken kedatengannja sang kangmas tertjinta?”     

Salah satu propaganda Jepang untuk menarik simpati orang-orang Indonesia adalah pengakuan bahwa mereka merupakan saudara tua kita. Pengakuan itu tersiar dan tersebar melalui poster-poster yang ditempelkan di sudut-sudut kota. Bagi Si Tjamboek, propaganda ini sungguh menggelikan. Bagaimana bisa Jepang mengaku-aku sebagai saudara tua orang Indonesia, demikian pikirnya.

Sampul majalah propaganda Jepang di Indonesia, Djawa Baroe. Tujuannya menebar simpati untuk mengajak rakyat Indonesia terlibat dalam Perang Asia Timur Raya. (Djawa Baroe)

Tjamboek mengakui kecerdikan Jepang dalam merayu simpati orang Indonesia, meski dalam kesempatan yang sama juga mengungkapkan kelakar seputar propaganda itu. Sejatinya kelakar ini ditujukan pada orang-orang Indonesia yang begitu mudahnya terbuai menerima pernyataan Jepang. “Bagaimana masih bisa ketemoeken soedaranja asal dari satoe pokok, dari satoe darah dan satoe toeroenan itoe, jang begitoe lama kesasar begitoe djaoe ka djoeroesan kidoel, di mana hawanja ada lebi panas,” ungkapnya, “sehingga warna koelitnja ini verloren broeder sampe kaliatan mendjadi sawo-mateng.”   

Jurnalis ini memiliki pemikiran kritis, boleh dibilang sangat kritis pada masanya. Barangkali, kita pun tidak sekritis Tjamboek Berdoeri ketika menerima pelajaran di bangku sekolah tentang propaganda “saudara tua” bikinan Jepang. Propaganda itu seolah muslihat yang berhasil membuat kita teperdaya.

Baca Juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat

Perempuan Eropa yang meghuni kamp tawanan perang memberikan hormat kepada militer Jepang. (Wikimedia)

Pada kenyataannya, banyak orang teperdaya dengan propaganda “saudara tua”, yang kerap disalahartikan oleh orang-orang Indonesia pada saat itu. Mereka menganggap militer Jepang layaknya saudara, padahal kenyataannya tidak. Militer, khususnya Kenpetai, kerap memberikan hukuman yang sewenang-wenang dan tidak manusiawi untuk satu perkara sepele. Perkara sepele itu misal seseorang lupa memberikan hormat membungkuk kepada tentara penjaga, atau tidak tahu bahwa ada keharusan untuk turun dari sepeda untuk menghormat mereka, atau kesalahan dalam membuat bendera Hinomaru.

Si madjikan baroe ini soedah rojaal betoel dengen maen persen tempilingan,” tulisnya. Di kesempatan lain dia memaparkan, “Roepanja banjak djoega di antara sobat dan kenalan saja jang soeda perna berkenalan lebi rapet sama Djepang poenja tangan, djika ditilik dari tjaranja marika bila berpapasan sama si Kate.” Zaman Jepang , menurutnya, adalah zaman edan. Dia mengatakan, “Selamanja bendera Hinomaru berkibar dari Sabang sehingga Merauke, habislah segala kamardikaan kita lahir dan bathin.”   

Selain propaganda “saudara tua” pada awal kedatangan militer Jepang, juga ada tradisi baru yang cepat menjadi populer: “salam djempol”. Ketika orang Indonesia berpapasan dengan tentara Jepang, dia akan mengangkat jempolnya ke atas. Lalu tentara Jepang itu akan membalas mengangkat jempolnya juga. Begitu juga saat orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia lainnya, mereka akan sama-sama mengangkat jempolnya. Barangkali tidak jauh berbeda pada masa sekarang, salam jempol kerap dipakai orang saat berfoto. “Salam djempol di hari-hari pertama memang mendjadi sematjem mode,” ungkap Tjamboek. “Dalem sedjarah negeri Mata Hari Terbit waktoe itoe bole djadi akan tertjatet sebagi djempol periode.”

Profesor Ben Anderson mencoba menyingkap siapa sejatinya si penulis misterius itu selama empat dasawarsa. Akhirnya misteri nama Tjamboek Berdoeri mulai tersingkap setelah Indonesia Dalem Api dan Bara terbit selama 54 tahun. Ben mengungkapkan dengan yakin bahwa nama penulis buku itu sesungguhnya adalah Kwee Thiam Tjing, nama yang memberikan kata pengantar untuk buku itu.

Baca Juga: Berhasil Lepas dari Jugun Ianfu Karena Menyamar Sebagai Lelaki

Propaganda Jepang semasa Perang Asia Timur Raya. ()

Kwee Thiam Tjing (1900-1974) dikenal sebagai jurnalis beberapa surat kabar seperti pemimpin redaksi Sin Tit Po di Surabaya, Pembrita Djember, Mata Hari di Semarang. Sejatinya dia sudah menggunakan nama pena “Tjamboek Berdoeri” sejak 1921. Dia kerap menulis kritik sosial yang bergaya satiris. Autobiografinya terbit secara serial di surat kabar Indonesia Raya. Dia wafat di Jakarta dan dimakamkan di Kebonjahe Kober, Jakarta Pusat. Ben Anderson menjulukinya sebagai wartawan “Melaju nakal segala djaman”.

Atas kabar burung jelang masuknya Jepang ke Malang, Kwee berpesan kepada kita, yang tampaknya masih berlaku sampai hari ini. Kita seharusnya menyadari bahwa kita kerap percaya begitu saja tentang kabar yang belum jelas asal-usulnya—terutama dari media sosial. Bisa jadi kabar itu fakta, namun bisa jadi kabar dusta atau malah propaganda. “Bagaimana besar berbahajanja djika kita maen pertjaja asadja kabar-kabar jang moelai dengen bilangnja ‘bilangnja dan katanja’,” ungkapnya, “apalagi dalem waktoe-waktoe jang begitoe.”

Foto Kwee Thiam Tjing yang bernama pedengan Tjamboek Berdoeri, dan buku Indonesia Dalem Api dan Bara. (Mahandis Yoanata Thamrin)

(National Geographic Indonesia)

Dalam Bincang Redaksi-16, National Geographic Indonesia bersama narasumber akan mengungkap betapa pentingnya buku Indonesia Dalem Api dan Bara sebagai pelengkap historiografi Indonesia. Perbincangan juga akan mengungkap aspek kronik Kota Malang yang direkam Kwee pada akhir masa Hindia Belanda, pendudukan Jepang, hingga kisah di balik Agresi Militer I pada 1947.Kita juga akan membahas aspek kebahasaan buku Indonesia Dalem Api dan Bara yang terbilang menarik karena Kwee memang piawai dalam menggunakan alih kode. Bagaimana riwayat hidup Kwee Thiam Tjing? Mengapa sosoknya nyaris terlupakan dalam perjalanan jurnalisme kita? Silakan, Sahabat bisa mendaftar via pranala bit.ly/bincangredaksi16 untuk bersama menyingkap sisik melik Kwee Thiam Tjing alias Tjamboek Berdoeri dan kaitannya dengan kronik revolusi Indonesia. Sampai jumpa pada Sabtu, 22 Agustus 2020 pukul 15.30-17.00 WIB!