Singkap Labuan Bajo: Jejak Perkembangan Kota dan Tradisi Multikultur

By Agni Malagina, Jumat, 24 Juli 2020 | 11:09 WIB
Salah satu lanskap hunian wilayah pesisir Kampung Air dan Kampung Baru, Labuan Bajo. (Sigit Pamungkas)

Oo aa ee ii dee, Si li nan ga mbom badjo to e be ti toe ka ge toe ka gee!

Toe ka toe ka goo, aa ee aa be ti, ma lon tee kaa gee

(Dalam perjalanan ke Labuan Bajo, perutku tak pernah kurasa sesakit ini. Aduh perutku, aduh perutku)

Nationalgeographic.co.id—Penggalan syair lagu rakyat Manggarai Barat di atas didokumentasikan oleh seorang Pastor SVD yang bernama Piet Heerkens dalam bukunya yang berjudul Flores Manggarai yang terbit pada 1930.

Keseluruhan syair lagu tersebut menceritakan mengenai Rado Sawi Ndao yang ditelan ‘Mpo’ atau buaya dan masuk ke perut buaya itu. Dengan menggunakan pisaunya, Rado Sawi Ndao menggelitiki perut buaya besar yang berenang di laut ke beberapa daerah seperti Mborong, Reok, dan Labuan Bajo sampai akhirnya Rado Sawi Ndao keluar dari perut buaya.

Sepotong syair itu merekam penggunaan kata ‘Labuan Bajo’ pada tahun 1930. Melacak sejarah penggunaan kata ‘Labuan Bajo’ tak akan lepas dari menelisik sejarah kota Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat sekaligus Flores – sebuah pulau yang dinamai Cabo de Flores. Nama Flores berasal dari bahasa Portugis yaitu Cabo de Flores yang berarti “Tanjung Bunga”.

Nama tersebut semula diberikan oleh S.M. Cabot untuk menyebut wilayah timur dari Pulau Flores. Akhirnya di pakai secara resmi sejak 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Sebuah studi yang cukup mendalam oleh Orinbao pada 1969, mengungkapkan bahwa nama asli sebenarnya pulau Flores adalah Nusa Nipa (pulau ular) yang dari sudut antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural, dan tradisi ritual masyarakat Flores. Sejarah mencatat Flores-Sumba-Timor sebagai penghasil cendana wangi terbaik di dunia terutama pada abad ke-3 sampai abad ke-18.

Baca Juga: Ney Dinan: Jangan Sebut Tenun Manggarai Sebagai Tenun Labuan Bajo!

Sejauh ini, nama Labuan Bajo tercatat dalam laporan Jacques Nicolas Vosmaer dalam laporan Koloniale Jaarboeken Maandschrift tot Verspreiding van Kennis der Nederlandsche en Buitenlandsche Overzeesche Bezittingen pada 1862 yang menyebutkan bahwa dalam artikel tahun 1833 dilaporkan sebuah perjalanan laut menuju 'Laboean Badjo'. Belum ditemukan catatan Belanda yang lebih tua dari karya tersebut yang mencantumkan kata ‘Laboean Badjo’ atau Labuan Bajo.

Labuan Bajo memiliki makna ‘tempat berlabuhnya suku Bajo’ demikian menurut sejumlah warga dan tokoh masyarakat di Labuan Bajo. Haji Sahamad salah satunya.

“Tempat pendaratan orang-orang Bajo di wilayah Manggarai ini,”ujar sosok keturunan Bajo yang dituakan oleh masyarakat suku Bajo Bugis Bima di Kampung Cempa (Kampung Ujung), Kampung Tengah dan Kampung Air, Labuan Bajo. 

“Yang saya ingat dulu ada punggawa atau bangsawan Bajo di sini, karena itu kakek dan leluhur saya,” jelas Sahamad.