Singkap Labuan Bajo: Jejak Perkembangan Kota dan Tradisi Multikultur

By Agni Malagina, Jumat, 24 Juli 2020 | 11:09 WIB
Salah satu lanskap hunian wilayah pesisir Kampung Air dan Kampung Baru, Labuan Bajo. (Sigit Pamungkas)

Baca Juga: Proses Panjang Pembuatan Moke yang Jadi Simbol Persaudaraan di Flores

Lini masa sejarah Flores dan Labuan Bajo (Manggarai Barat). (Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores - Tim Penelitian Narasi Labuan Bajo 2020)

Selain itu, Labuan Bajo pada antara 1902 hingga 1920 menjadi sentra produksi alami mutiara laut. Perusahaan perhiasan Moreaux dari Perancis bahkan mulai memanen mutiara laut Labuan Bajo sejak 1910. Namun sejatinya pengambilan mutiara di Labuan Bajo telah marak sejak abad ke-19, bahkan Sultan Bima pun mendapat royalti dari penjualan mutiara masa itu sampai 1929 ketika Sultan Bima melepaskan kekuasaannya atas Manggarai.

Pada 1904 terbentuklah komunitas penganut agama Katolik di Labuan Bajo yang berjumlah 99 orang, 70 orang berasal dari Larantuka berprofesi sebagai mengambil mutiara laut. Labuan Bajo semakin ramai, hubungan laut Makassar – Labuan Bajo pun semakin lancar dengan adanya jadwal kapal besar pengangkut penumpang sebanyak 4 kali dalam satu minggu mulai tahun 1905.

Tahun 1907, Flores bagian barat secara administratif dikuasai oleh pemerintah Belanda. Semenjak itu kegiatan pemerintah Hindia Belanda dan misionaris pun berkembang di Manggarai. Sampai pada 1910, Letnan Steyn van Hens Broek yang mencoba membuktikan laporan pasukan Belanda tentang adanya hewan besar menyerupai naga di pulau tersebut.

Pasca invasi Jepang, catatan kisah tentang Labuan Bajo seolah terhenti. Ingatan warga seniorlah yang kemudian muncul dalam bentuk mozaik narasi sejarah kota di pesisir barat Flores. Haji Syuting salah satu warga Kampung Air yang bercerita tentang perkembangan kampung pesisir Labuan Bajo yaitu Kampung Ujung, Kampung Tengah, Kampung Air.

Baca Juga: Gunung Api Purba yang Menuntaskan Dahaga

“Kampung Ujung itu dulu namanya Kampung Cempah. Cempah itu Bahasa Bajo, artinya pohon asam. Dulu warga di Kampung Air ini pindahan dari sana. Tahun 1973 disuruh bongkar semua. Itu masa Gubernur Ben Boi, mau dibangun dermaga pelabuhan. Kami bakar itu rumah-rumah kayu, pindah ke sini,”ujar Haji Muhammad Syuting

Lelaki itu pernah menjadi kepala lingkungan kampungnya pada 1978-1999. Pria berdarah Bugis ini lahir di Bone tahun 1950. Dia mengaku tiba di Labuan Bajo dengan kapal bersama keluarga pada usianya yang ketujuh. Pada era tersebut banyak warga Makassar Wajo Bone migrasi ke Labuan Bajo akibat terjadinya Pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar antara 1950-1965.

“Dulu tahun 1950-an yan pantai ini kosong. 1970-an saja hanya beberapa puluh rumah lah. Orang Bajo dan orang Bugis banyak di sini. Orang Bima ya ada juga. Dulu kami nelayan dan pelaut. Orang Bajo dulu tangkap ikan ya hanya pakai bubu. Orang Bugis yang buat bagan serong dan lainnya,” kenang Haji Syuting.

Dia juga pernah berprofesi sebagai koki di sebuah kapal ikan yang hilir mudik Labuan Bajo-Surabaya. “Wah itu jadi koki paling berkuasa, paling menentukan porsi makanan untuk awak sampai nahkoda,”ujarnya terkekeh. Ia mengaku masih mengingat beberapa upacara adat sebelum berangkat melaut, membaca bintang bulan matahari sebagai alat navigasi di laut.

“Dulu kami banyak yang bisa membaca arah pakai bintang. Apalagi nahkoda kapal. Harus tahu musim bagus, bintang timur bintang barat bintang babi. Kompas dulu itu pakai silet, diletakkan di atas piring yang ada airnya. Itu untuk arah barat dan timur, tapi ya pakai bintang saja cukup. Kalau jam tiga malam, muncul lihat bulan di mana bintang di mana, nanti bisa tahu di sana ada daratan. Ilmu itu, dari nenek-nenek kami,” jelasnya.