Singkap Labuan Bajo: Jejak Perkembangan Kota dan Tradisi Multikultur

By Agni Malagina, Jumat, 24 Juli 2020 | 11:09 WIB
Salah satu lanskap hunian wilayah pesisir Kampung Air dan Kampung Baru, Labuan Bajo. (Sigit Pamungkas)

Dia pernah menerbitkan kamus empat bahasa yaitu: Bajo, Bugis, Bima, dan Inggris sebagai buah kerja samanya dengan salah satu pastor Katolik dari Belanda beberapa belas tahun silam.

Penyebutan Labuan Bajo semakin intensif terekam dalam catatan Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terlebih lagi sejak masa misionaris Katolik mulai bergiat di Flores. Namun, terdapat penyebutan ‘Laboean Badjak’ pada peta Flores kuna bertarikh 1874 dibuat oleh J.G. Veth dan diterbitkan di Amsterdam. Mengapa? 

Baca Juga: Sedapkan Manggarai: Cengkerama Kuliner dan Masyarakat Labuan Bajo

Hal ini dapat kita kaitkan dengan sejarah panjang keberadaan Kerajaan Gowa Tallo di Sulawesi Selatan dan Suku Bajo. Kerajaan Gowa berdiri pada tahun 1300, sejak awal kerajaan tersebut melebarkan pengaruhnya dengan menggunakan pasukan armada laut. Hubungan Kerajaan Gowa meliputi Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Sumbawa, Flores, Timor, Maluku, Papua, dan Australia bagian utara.

Hubungan tersebut semakin intensif dipererat pada masa Raja Tunibatta (Gowa) mengirim utusan untuk menjalin hubungan dengan Sumbawa, Sumba, Timor, Flores, Maluku pada tahun 1565. Pada tahun 1626, Kerajaan Gowa menguasai pulau Flores, khususnya Flores Barat, Solor, dan Alor. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan usaha Portugis dan VOC memperluas wilayah kekuasaan di Nusantara.

Sejak saat itu, pengaruh budaya dan pergerakan manusia dari Sulawesi ke Flores terutama Flores Barat terjadi semakin intensif. Selain Gowa Tallo, Kerajaan Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin, Makassar berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan memperluas wilayah kekuasaannya ke Nusa Tenggara (Sumbawa dan sebagian Flores).

Pada 1661, Manggarai takluk pada Kerajaan Bima. Berselang enam tahun, kekuasaan Gowa di Mangagrai berakhir karena Gowa kalah perang menghadapi Belanda (VOC) sehingga harus menandatangani perjanjian Bongaya dan orang Makassar dilarang mengirimkan perahu ke Bima, Solor, dan Timor. Hampir seabad berselang, tahun 1795 bajak laut suku Bajo ternama dari Halmahera beroperasi di sekitar Laut Flores hingga ke kawasan Manggarai Barat – Flores.

Baca Juga: Labuan Bajo Tak Hanya Komodo, Ada Aroma Juria Mengguncang Dunia

Berapa rumah traditional suku Bajo dan Bugis masih dapat ditemui di tengah maraknya pembangunan fasilitas pendukung pariwisata di Labuan Bajo. (Sigit Pamungkas)

Penelitian Adrian B. Lapian dalam bukunya Orang Laut Bajak Laut Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX yang terbit pada 2009 pun menyebutkan bahwa kawasan ini menjadi kawasan favorit bajak laut beroperasi. Pada 1823 terdapat Bajak lau Illano, Sulu, Bajo, dan Tobelo yang mulai menyerbu ke pesisir Manggarai bagian utara. Para bajak laut mendirikan pangkalan di Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Kawasan ini merupakan kawasan strategis untuk mencegat pelayaran di bagian selatan Selatan Makasar.

Pangkalan Pulau Laut ini menjadi tempat bertolak untuk menjelajah Laut Flores dan Laut Jawa. Pulau Laut juga menjadi pangkalan tempat transit perdagangan budak. Kawasan Laut Flores pun terdapat pangkalan bajak laut seprti di Tanah Jampe, Kalao(toa), dan Bonerate. Juga Pulau Riung di lepas pantai utara Flores Barat (Manggarai), merupakan pusat perompak Mangindano, balangingi, dan Tobelo. Maka tak heran, terdapat sebutan ‘Laboean Badjak’ Labuan Bajak, alias tempat berlabuhnya bajak laut.

Tak berhenti sampai di situ, Labuan Bajo pada awal abad 20 ternyata memiliki beberapa keistimewaan sebagai salah satu daerah penghasil teripang terbaik di wilayah Timor seperti yang tercatat dalam Gids voor den Bezoeken van de Indische Tentoonstelling in het Stedilijk Museum te Amsterdam 1901. Kabarnya, pada masa itu suku Bajo banyak berburu teripang hingga pantai utara Australia. Pada 1902 muncul kampung muslim (Islam) dengan beberapa rumah diduga terletak di wilayah yang sekarang disebut Kampung Ujung (dahulu bernama Cempah). Kampung Cempah merupakan toponimi yang berarti kampung (dengan) pohon asam (cempah dalam Bahasa Bajo).