Perkembangan Vaksin COVID-19, Ada 6 Jenis Desain yang Digunakan

By National Geographic Indonesia, Senin, 3 Agustus 2020 | 18:03 WIB
Ilustrasi vaksin. (Guschenkova/Getty Images/iStockphoto)

Vaksin asam nukleat (DNA dan mRNA)

Vaksin asam nukleat yang pertama kali dikembangkan adalah vaksin DNA, berupa plasmid yang mengandung potongan DNA gen tertentu dari suatu penyebab penyakit.

Plasmid ini, dengan teknik khusus dimasukkan ke dalam sel dari jaringan yang sesuai, umumnya jaringan otot lurik. Di dalam sel, gen tersebut akan digunakan untuk memproduksi molekul tertentu yang memicu respons kekebalan oleh sel sistem imun dan pembentukan antibodi.

Pada perkembangan selanjutnya, materi genetik yang dimasukkan tersebut dapat berupa mRNA, suatu RNA pembawa pesan untuk diterjemahkan menjadi protein, sehingga dapat langsung memproduksi rantai protein tertentu. Vaksin ini relatif lebih aman dibandingkan dengan vaksin virus yang dilemahkan.

Namun demikian, umumnya vaksin asam nukleat masih berada pada tahap awal perkembangannya. Hingga saat ini belum ada vaksin asam nukleat yang telah memasuki tahap pemasaran.

Calon vaksin COVID-19 dengan desain ini antara lain yang diproduksi oleh Moderna/NIAID dengan menggunakan mRNA, dan saat ini tengah mempersiapkan uji klinik fase 3.

Vaksin vektor virus

Vaksin vektor virus merupakan desain vaksin yang memakai vektor untuk memasukkan potongan gen dari penyebab penyakit ke dalam sel. Vektor tersebut umumnya adalah virus yang telah dikenal karakteristiknya secara baik, misalnya Vaccinia, virus cacar sapi yang digunakan sebagai vaksin terhadap cacar.

Virus vektor ini kemudian dimodifikasi secara genetik, sehingga keamanannya ditingkatkan.

Terdapat 2 jenis vaksin vektor virus. Ada yang dapat bereplikasi di dalam sel. Dan ada yang tidak dapat menggandakan diri karena gen untuk itu telah dihilangkan.

Penggunaan vektor virus menyebabkan proses memasukkan potongan gen SARS-CoV-2 ke dalam sel lebih efektif dibandingkan vaksin asam nukleat.

Perkembangan desain vaksin asam nukleat dan vektor masih tahap awal dan hingga saat ini belum ada vaksin komersial yang menggunakan desain vaksin tersebut baik di Indonesia, maupun di luar negeri.

Calon vaksin Covid-19 yang menggunakan pendekatan ini adalah ChAdOx1-S produksi University of Oxford/Astra Zeneca yang saat ini telah memasuki uji klinik fase 3.

Vaksin Covid-19 bagi masyarakat di Indonesia

Sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia dan turut terdampak parah pandemi COVID-19, Indonesia berkepentingan untuk terlibat secara aktif dalam pencarian vaksin yang efektif.

Selain mencoba memproduksi sendiri, Indonesia juga terlibat dalam berbagai uji klinik calon vaksin. Langkah pemerintah bekerja sama dengan para ilmuwan dari berbagai lembaga riset dan terlibat dalam uji klinik merupakan langkah yang tepat.

Baca Juga: Anjing Dapat Mendeteksi Virus Corona dengan Akurasi Menakjubkan

Beberapa model desain vaksin COVID seperti protein sub-unit, VLP dan virus inaktivasi, secara empiris membutuhkan pemberian berulang, sehingga untuk 270 juta penduduk Indonesia kira-kira butuh 500 juta dosis vaksin. Dengan kapasitas produksi dalam negeri yang direncanakan 250 juta dosis per tahun, kebutuhan ini baru tercukupi paling cepat pada 2023.

Jika kita mengembangkan vaksin sendiri, memproduksi sendiri, serta pembaruan terus-menerus, harapannya kebutuhan dosis vaksin bagi masyarakat Indonesia dapat segera terpenuhi. Apalagi semua negara kini sedang bersaing memperebutkan pasokan vaksin dari produsen untuk kepentingan rakyatnya masing-masing.

Hingga nanti calon vaksin benar-benar menunjukkan keampuhannya, lalu diproduksi massal dan vaksinasi nasional, maka metode pencegahan infeksi COVID-19 pada level individual akan tetap bergantung pada kedisiplinan mencuci tangan dengan sabun, penggunaan masker, menjaga jarak fisik, menghindari keramaian dan menjaga imunitas tubuh.

Penulis: Soegianto Ali, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Kepala Program Studi Magister Biomedik, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.