Nationalgeographic.co.id - Calon vaksin untuk mencegah penyakit infeksi COVID-19 dari Cina, CoronaVac, telah tiba di Indonesia dan akan diuji klinis tahap akhir (fase 3) pada lebih dari 1.600 relawan di Bandung mulai bulan depan.
Hasil kolaborasi dari perusahaan Cina Sinovac Biotech, PT Bio Farma, dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran ini akan diketahui dalam sembilan bulan ke depan. Jika berhasil, Bio Farma akan memproduksi 250 juta dosis per tahun untuk vaksinasi masyarakat Indonesia.
Tersedianya vaksin penting untuk mengatasi pandemi COVID-19. Tanpa vaksin yang efektif, sulit dicapai kondisi kekebalan kawanan (herd immunity) tanpa jatuhnya banyak korban akibat penyakit ini.
Baca Juga: ITS Gelar Wisuda Ke-121 Menggunakan Minecraft Education Edition
Sejak pertama kali dilaporkan di Cina pada Desember 2019, COVID-19 telah menginfeksi lebih dari 15 juta orang per 23 Juli. Walau telah dilakukan uji klinik terhadap beberapa jenis obat, hingga saat ini belum ada hasil yang menjanjikan sehingga harapan besar digantungkan pada vaksin untuk mencegah penularan lebih luas.
Vaksinasi telah terbukti menurunkan risiko penularan penyakit infeksi di seluruh dunia, seperti penyakit campak yang vaksinnya mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada 1963. Program menghapus campak di sana melalui vaksinasi nasional mulai pada 1978 dan 22 tahun kemudian Amerika Serikat telah terbebas dari penyakit campak.
Pengendalian COVID juga akan mengarah ke sana jika vaksinnya berhasil ditemukan dan daya cegahnya kuat.
6 jenis desain vaksin
Hingga Juli 2020, di seluruh dunia tengah berlangsung 24 uji klinik dan 142 uji preklinik terhadap calon vaksin. Uji klinik dipercepat dengan rekrutmen relawan dalam jumlah besar sejak tahap awal, sehingga beberapa fase dapat berlangsung secara simultan. Saat ini ada 5 calon vaksin yang memulai uji klinik fase 3 (uji coba pada sekitar 500 orang atau lebih).
Dalam konteks COVID saat ini, kecepatan dari proses desain vaksin ini didukung oleh proses pengembangan vaksin terhadap coronavirus lainnya, seperti SARS-CoV dan MERS-CoV, serta bioinformatika.
Secara umum ada 6 jenis desain vaksin, yang memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri. Keberhasilan untuk mengatasi kelemahan desain vaksin tersebut merupakan kunci keberhasilan perkembangan vaksin untuk COVID-19 dan ketersediaannya bagi penduduk dunia.
Enam pendekatan desain vaksin untuk COVID-19 yang saat ini dikembangkan di dunia: (1) vaksin virus yang dinon-aktifkan, (2) vaksin protein sub-unit, (3) virus like particles (VLP), (4) virus hidup yang dilemahkan, (5) vaksin asam nukleat (DNA atau mRNA), dan (6) vaksin vektor.
Vaksin virus inaktivasi
Desain vaksin ini menggunakan virus yang telah dinon-aktifkan (inaktivasi), umumnya dengan penambahan zat kimia tertentu. CoronaVac yang tengah diujicobakan di Indonesia untuk fase 3 uji klinik termasuk dalam jenis ini.
Vaksin virus inaktivasi memiliki banyak molekul yang berasal dari berbagai komponen virus selain molekul utama yang menimbulkan respons imun dalam kandungannya, sehingga dapat menimbulkan reaksi ikutan terhadap pemberian vaksin. Namun secara umum vaksin yang telah lolos uji klinik dianggap aman dengan efek samping yang sangat jarang.
Vaksin virus inaktivasi merangsang terbentuknya antibodi yang mengikat virus atau bakteri di luar sel, untuk selanjutnya dihancurkan oleh sel makrofag (sel pertahanan) dalam sistem imun. Beberapa vaksin terhadap bakteri yang saat ini beredar dan dikenal di masyarakat menggunakan pendekatan desain ini, misalnya vaksin pertusis dalam DPT.
Vaksin protein sub-unit
Berbeda dengan vaksin virus inaktivasi, vaksin protein sub-unit lebih murni karena umumnya hanya memiliki antigen utama yang diprediksi mampu menimbulkan respons imun yang kuat dengan efek samping yang minimal.
Dulu antigen utama tersebut dipisahkan dari berbagai komponen virus lainnya dengan teknik khusus. Saat ini, untuk memproduksi antigen tersebut para peneliti umumnya melakukan rekayasa genetika dengan memproduksi protein yang diinginkan pada organisme lainnya seperti bakteri tertentu atau sel ragi. Dengan jenis molekul antigen yang lebih murni, maka efek samping yang mungkin timbul akibat pemberian vaksin diharapkan minimal.
Konsorsium riset pengembangan calon vaksin COVID yang dipimpin Lembaga Eijkman menggunakan pendekatan desain ini dalam pengembangan calon vaksin COVID.
Tahapan untuk memproduksi vaksin sub-unit tentu lebih panjang dibandingkan vaksin inaktivasi. Vaksin ini umumnya juga membutuhkan pemberian berulang seperti pada vaksin hepatitis B tertentu.
Vaksin protein sub-unit lebih aman, namun rentan kehilangan efektivitasnya bila virus memproduksi antigen yang berubah karena mengalami mutasi, dan kemungkinan itu dapat terjadi pada SARS-CoV-2 (penyebab COVID). Untuk itu diperlukan produksi antigen baru untuk ditambahkan ke dalam vaksin agar tetap efektif. Namun sesungguhnya kemungkinan ini menjadi risiko dari semua desain vaksin.
Data GISAID, pangkalan data virus influenza dan coronavirus, menunjukkan banyaknya kluster genom SARS-CoV-2 dari berbagai belahan dunia. Walau hingga saat ini protein S yang disasar sebagai calon vaksin hingga saat ini relatif tidak bermutasi. Untuk efektif memberikan perlindungan, vaksin yang diberikan harus mencakup jenis virus lokal.
Selain itu vaksin juga dapat didesain mengandung beberapa protein sub-unit dari berbagai jenis virus yang ada. Beberapa vaksin yang saat ini telah beredar dan memakai pendekatan ini adalah vaksin hepatitis B tertentu dan vaksin pertusis yang bebas sel.
Terkadang protein sub-unit yang dikandung dalam vaksin juga perlu mendapatkan pembaruan sehingga memerlukan pemberian ulangan pada periode waktu tertentu seperti pada vaksin influenza.
Vaksin Virus-Like Particles (VLP)
Virus-Like Particles (VLP) adalah zat dengan struktur yang mirip dengan virus, baik bentuk maupun susunan proteinnya, tapi tidak memiliki materi genom dari virus tersebut. Dengan tidak adanya materi genomik, maka VLP tidak mampu bereplikasi dan menginfeksi.
Beberapa referensi mengelompokkan vaksin VLP ke dalam vaksin protein sub-unit.
Kesulitan dari produksi vaksin VLP dibandingkan dengan produksi vaksin protein sub-unit adalah perlunya proses tambahan setelah kode genetik diterjemahkan menjadi protein.
Produksi protein via rekayasa genetika dengan menggunakan bakteri E.coli kurang berhasil dalam hal ini, karena secara umum bakteri tidak memiliki kemampuan untuk modifikasi tersebut. Selanjutnya VLP tersebut juga perlu dimurnikan dari zat-zat lainnya.
Vaksin Engerix untuk mencegah hepatitis B, serta Cervarix, dan Gardasil untuk mencegah kanker serviks termasuk jenis vaksin VLP. Selain itu teknik VLP juga digunakan untuk memasukkan potongan gen pada terapi gen untuk penyakit genetik tertentu.
Calon vaksin COVID yang menggunakan pendekatan desain ini adalah produksi dari Medicago, yang saat ini memasuki uji klinik fase 1 (uji coba pada 20-100 orang sehat).
Vaksin virus yang dilemahkan
Vaksin virus yang dilemahkan umumnya dibuat dengan menggunakan virus yang direkayasa secara genetika sehingga mereka tidak mampu menginfeksi secara efektif pada manusia.
Vaksin ini secara umum meniru proses infeksi alamiah sehingga mampu memicu timbulnya antibodi dan kekebalan yang mengikutsertakan sel sistem imun, sehingga relatif lebih efektif juga dengan pemberian dosis tunggal.
Kelemahannya adalah vaksin jenis ini relatif sulit untuk diproduksi terutama untuk memastikan sisi keamanannya. Genom virus yang dimodifikasi harus dipastikan tidak membuat virus tersebut justru meningkatkan kemampuan virus dalam menginfeksi atau menimbulkan penyakit lainnya. Vaksin ini juga membutuhkan suhu dingin dalam distribusi dan penyimpanannya.
Beberapa vaksin yang menggunakan desain ini dan telah kita kenal antara lain vaksin campak dan vaksin polio yang diteteskan (Sabine). Calon vaksin COVID-19 yang menggunakan pendekatan desain ini antara lain oleh Codagenix/Serum Institute of India yang masih dalam tahap uji preklinik.
Vaksin asam nukleat (DNA dan mRNA)
Vaksin asam nukleat yang pertama kali dikembangkan adalah vaksin DNA, berupa plasmid yang mengandung potongan DNA gen tertentu dari suatu penyebab penyakit.
Plasmid ini, dengan teknik khusus dimasukkan ke dalam sel dari jaringan yang sesuai, umumnya jaringan otot lurik. Di dalam sel, gen tersebut akan digunakan untuk memproduksi molekul tertentu yang memicu respons kekebalan oleh sel sistem imun dan pembentukan antibodi.
Pada perkembangan selanjutnya, materi genetik yang dimasukkan tersebut dapat berupa mRNA, suatu RNA pembawa pesan untuk diterjemahkan menjadi protein, sehingga dapat langsung memproduksi rantai protein tertentu. Vaksin ini relatif lebih aman dibandingkan dengan vaksin virus yang dilemahkan.
Namun demikian, umumnya vaksin asam nukleat masih berada pada tahap awal perkembangannya. Hingga saat ini belum ada vaksin asam nukleat yang telah memasuki tahap pemasaran.
Calon vaksin COVID-19 dengan desain ini antara lain yang diproduksi oleh Moderna/NIAID dengan menggunakan mRNA, dan saat ini tengah mempersiapkan uji klinik fase 3.
Vaksin vektor virus
Vaksin vektor virus merupakan desain vaksin yang memakai vektor untuk memasukkan potongan gen dari penyebab penyakit ke dalam sel. Vektor tersebut umumnya adalah virus yang telah dikenal karakteristiknya secara baik, misalnya Vaccinia, virus cacar sapi yang digunakan sebagai vaksin terhadap cacar.
Virus vektor ini kemudian dimodifikasi secara genetik, sehingga keamanannya ditingkatkan.
Terdapat 2 jenis vaksin vektor virus. Ada yang dapat bereplikasi di dalam sel. Dan ada yang tidak dapat menggandakan diri karena gen untuk itu telah dihilangkan.
Penggunaan vektor virus menyebabkan proses memasukkan potongan gen SARS-CoV-2 ke dalam sel lebih efektif dibandingkan vaksin asam nukleat.
Perkembangan desain vaksin asam nukleat dan vektor masih tahap awal dan hingga saat ini belum ada vaksin komersial yang menggunakan desain vaksin tersebut baik di Indonesia, maupun di luar negeri.
Calon vaksin Covid-19 yang menggunakan pendekatan ini adalah ChAdOx1-S produksi University of Oxford/Astra Zeneca yang saat ini telah memasuki uji klinik fase 3.
Vaksin Covid-19 bagi masyarakat di Indonesia
Sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia dan turut terdampak parah pandemi COVID-19, Indonesia berkepentingan untuk terlibat secara aktif dalam pencarian vaksin yang efektif.
Selain mencoba memproduksi sendiri, Indonesia juga terlibat dalam berbagai uji klinik calon vaksin. Langkah pemerintah bekerja sama dengan para ilmuwan dari berbagai lembaga riset dan terlibat dalam uji klinik merupakan langkah yang tepat.
Baca Juga: Anjing Dapat Mendeteksi Virus Corona dengan Akurasi Menakjubkan
Beberapa model desain vaksin COVID seperti protein sub-unit, VLP dan virus inaktivasi, secara empiris membutuhkan pemberian berulang, sehingga untuk 270 juta penduduk Indonesia kira-kira butuh 500 juta dosis vaksin. Dengan kapasitas produksi dalam negeri yang direncanakan 250 juta dosis per tahun, kebutuhan ini baru tercukupi paling cepat pada 2023.
Jika kita mengembangkan vaksin sendiri, memproduksi sendiri, serta pembaruan terus-menerus, harapannya kebutuhan dosis vaksin bagi masyarakat Indonesia dapat segera terpenuhi. Apalagi semua negara kini sedang bersaing memperebutkan pasokan vaksin dari produsen untuk kepentingan rakyatnya masing-masing.
Hingga nanti calon vaksin benar-benar menunjukkan keampuhannya, lalu diproduksi massal dan vaksinasi nasional, maka metode pencegahan infeksi COVID-19 pada level individual akan tetap bergantung pada kedisiplinan mencuci tangan dengan sabun, penggunaan masker, menjaga jarak fisik, menghindari keramaian dan menjaga imunitas tubuh.
Penulis: Soegianto Ali, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Kepala Program Studi Magister Biomedik, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.