Nationalgeographic.co.id – Menurut para peneliti dari University of Manchester, sekitar 70 juta mumi hewan diciptakan antara 700 BC hingga AD 300. Mereka didandani, diawetkan, diberkati, dan kemudian dipersembahkan kepada para dewa.
Kini, sebuah studi terbaru yang dipublikasikan pada jurnal Scientific Reports mengungkap hal tersebut lebih jauh. Menggunakan teknik pencitraan noninvasif, pindai CT sinar X mikro, para peneliti telah menciptakan gambar digital 3D dari tiga mumi hewan kuno—seekor kucing, burung, dan kobra.
Baca Juga: Bukan Perburuan, Perubahan Iklim Jadi Penyebab Kepunahan Badak Berbulu
Teknik yang melibatkan ribuan pemindaian dengan sinar X yang cepat ini mengungkap bagaimana hewan-hewan tersebut mati dengan detail yang belum pernah ditemukan sebelumnya, dikutip dari Live Science.
“Menggunakan CT mikro, kami dapat membedah mayat hewan yang telah mati lebih dari 2.000 tahun lalu di era Mesir Kuno secara efektif,” kata Richard Johnston, profesor di Materials Research Centre, Swansea University.
“Dengan resolusi 100 kali lebih tinggi dari pindai CT medis, kami dapat mengumpulkan bagian-bagiannya dan menemukan kemungkinan penyebab kematian,” imbuhnya.
Tidak seperti mumifikasi pada manusia yang dimaksudkan untuk memastikan kelahiran kembali seseorang di akhirat, pengawetan hewan dilakukan untuk memberi persembahan kepada dewa.
Praktik tersebut melahirkan industri yang berkembang pesat. Seluruh peternakan dikhususkan untuk membiakkan kucing, anjing, burung, dan reptil yang nantinya akan dijadikan mumi. Pemakaman pun diciptakan untuk menyimpan mumi mereka.
Studi CT mikro yang baru mengungkap bagaimana hewan-hewan tersebut diperlakukan. Dengan pemindaian, tim langsung melihat ke dalam perban mumi dan tulang mereka, misalnya pada salah satu kucing yang diperkirakan berumur kurang dari lima bulan.
Hasilnya menunjukkan bahwa tulang leher kucing tersebut patah—kemungkinan dicekik hingga mati sebelum dijadikan mumi.
Ular kobra, yang juga masih berusia muda, memiliki nasib sama. Tulang yang patah di tengkorak dan tulang punggungnya menunjukkan bahwa kobra telah dicengkeram ekornya dan kemudian dibunuh dalam gerakan "mencambuk". Setelahnya, tulang rahang kobra diketahui juga patah dan mulutnya diisi dengan semacam tanah liat—kemungkinan natron, campuran natrium karbonat alami yang sering digunakan untuk mengeringkan mayat selama proses mumifikasi.
Ular tersebut juga mengalami dehidrasi dalam kehidupannya, diketahui dari timbunan kalsium pada ginjalnya dan juga timbulnya asam urat.
Baca Juga: Ditemukan Bukti Manusia Telah Melakukan Kremasi Sejak 9.000 Tahun Lalu
Sementara itu, meski kerangka burung terlalu rusak untuk diteliti, tapi tim ilmuwan berhasil mengukur tulangnya dan menyimpulkan bahwa itu mirip spesies alap-alap Eurasia, salah satu burung pemangsa yang terkait dengan dewa Horus, Sokar dan Re. Tidak jelas apakah burung itu ditangkap dari alam liar atau sengaja dikembangbiakkan untuk dijadikan mumi.
Dengan studi ini, para peneliti ingin menunjukkan bahwa pemindaian CT mikro dapat mengungkap informasi berharga dari masa lalu tanpa merusak spesimen. Namun, di sisi lain, ini juga mengingatkan kita bahwa ada budaya di mana hewan-hewan tertentu kerap dianggap sebagai persembahan suci bagi para dewa.