Kisah Para Seniman Wayang Orang Lestarikan Kesenian Adiluhung di Era Digital

By Fathia Yasmine, Sabtu, 31 Oktober 2020 | 17:02 WIB
Potret Tunas Bharata, generasi muda penerus wayang orang Bharata (Dok. Padepokan Wayang Orang Bharata)

Nationalgeographic.co.id – Iringan musik gamelan membuka pertunjukkan. Tak lama, tirai panggung tersibak, menampilkan latar layaknya di sebuah kerajaan di khayangan. 

Sekelompok penari wanita mengisi panggung, mengenakan kemben dipadu jarik, bersanggul dan riasan lengkap. Jari-jari lentik mereka menari di udara dengan selendang hijau terselip di antaranya. Tarian mereka membuka kisah pewayangan yang dipertunjukkan kepada ratusan khalayak di kursi penonton.

Sesaat setelah tarian mereka usai, para pelakon yang dirias layaknya tokoh-tokoh pewayangan dengan kostum gemerlap, sesekali berkilau diterpa cahaya panggung, muncul ke tengah panggung.

Dialog-dialog berbahasa Jawa krama mengalir di antara para pelakon. Babak demi babak berganti, hingga akhirnya sampai pula pada penghujung cerita. Penonton bersorak dan bertepuk tangan memuji para pelakon.

Baca Juga: Bertahan di Tengah Pagebluk, Para Seniman Wayang Orang Berteman dengan Teknologi

Situasi di atas adalah penggambaran apa yang terjadi di dalam Gedung Pertunjukkan Wayang Orang Bharata yang berlokasi di Senen, Jakarta Timur. Tidak banyak yang tahu bahwa di antara riuhnya lalu lintas di Senen, terminal yang selalu ramai, pasar dan pusat perbelanjaan, hingga gedung-gedung hotel dan perkantoran, terdapat gedung pertunjukkan tersebut.

Gedung pertunjukkan tersebut didirikan oleh para seniman pelestari kesenian wayang orang yang tergabung dalam Paguyuban Wayang Orang (WO) Bharata pada 5 Juli 1972.

Setiap Sabtu malam hingga dini hari, gedung pertunjukkan tersebut ramai dipadati oleh penggemar kesenian wayang orang atau mereka rindu kampung halaman.

Tentu saja, kebanyakan dari penonton adalah kaum sepuh—mereka yang bertumbuh besar dengan mendengar cerita-cerita pewayangan. Anak muda negeri semakin jauh dari seni tradisi warisan leluhur ini, kesadaran tentang pelestarian tradisi adiluhung kekayaan negeri sejatinya harus kembali dibangkitkan kembali.

Baca Juga: Kompetisi Desain Pelestarian Budaya Indonesia: Mengabadikan Budaya Lewat Sentuhan Digital

Globalisasi dan arus digital yang masif, menjadi tantangan tersendiri bagi para seniman dalam melestarikannya.

Survei Indonesia Millennial Report (2019) menemukan, setidaknya 94,4 persen milenial Indonesia berusia 20-35 tahun telah terkoneksi internet.

Melalui digitalisasi pula, berbagai informasi dapat lebih mudah diakses secara lebih luas. Begitu juga dengan interaksi masyarakat dan hiburan, berbagai media sosial maupun layanan streaming online mulai bermunculan. Masifnya arus budaya barat membuat kesenian yang menjadi jati diri bangsa tergerus.

Hiburan tradisional seperti pertunjukan Wayang Orang harus berjuang habis-habisan untuk mengimbangi kencangnya perkembangan zaman.

Baca Juga: Sutan Muhammad Amin, Salah Satu Tokoh Sumpah Pemuda yang Berjasa

Kondisi ini pun sempat diungkapkan oleh seniman wayang orang sekaligus sutradara Wayang Orang Bharata Teguh “Kenthus” Ampiranto. Ia mengatakan, antusiasme anak muda dalam melestarikan kebudayaan wayang orang lebih banyak didominasi secara turun temurun.

“Biasanya mengajak anak-anak bergabung itu dengan cara mengingatkan, kalau kami (dan para anak) bisa hidup dari melestarikan wayang orang,” kata Kenthus.

Di kalangan keluarga seniman, nilai-nilai luhur dan pakem penceritaan wayang orang diturunkan sehingga generasi seniman muda tercipta. Namun, agar dapat bertahan di tengah masyarakat, beragam penyesuaian harus dilakukan.

Beradaptasi untuk melampaui zaman

Wayang orang adalah kesenian yang eksistensinya melampaui zaman. Dikutip dari laman Geonusantara, wayang orang atau dikenal dengan istilah wayang wong dalam bahasa Jawa, pertama kali muncul di abad ke-18, tepatnya diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731 di kota Solo.

Baca Juga: Sejarah Lagu Indonesia Raya, Pertama Kali Dikumandangkan Pada Kongres Pemuda II

Kisah yang ditampilkan saat itu memuat tentang ajaran-ajaran hidup yang bersumber dari kisah-kisah legenda atau sejarah Jawa.

Kisah yang penuh kebijaksanaan dipadu dengan drama, musik, dan seni rupa. Pertunjukkan dibesut oleh dalang yang perannya lebih seperti sutradara, gamelan, serta para pelakon atau pemain untuk memerankan gerak tari, menjadi komponen penting dalam pagelaran ini. 

Potret Tunas Bharata, generasi muda penerus wayang orang Bharata (Dok. Padepokan Wayang Orang Bharata)

Para lakon juga akan didandani menggunakan kostum dan tata rias sesuai dengan tokoh wayang yang dibawakan, keduanya menjadi identitas “fisik” untuk mencirikan masing-masing karakternya. Hingga kini, pakem-pakem tersebut masih dipertahankan tetapi beberapa mengalami penyesuaian.

Namun, ada hal yang berbeda dari pagelaran wayang orang di masa lalu dan di masa kini, menurut Kenthus, salah satu perubahan yang dirasakan yakni adanya perbedaan cerita dan durasi pertunjukan.

Baca Juga: Bincang Redaksi: Racikan Bersantap Keluarga Bupati Jawa Masa Hindia Belanda

Jika dahulu wayang orang bisa berlangsung selama 6-8 jam, kini wayang orang dibuat seringkas dan sesederhana mungkin, demi mempertahankan antusiasme penikmatnya.

“Durasi sekarang memang dibuat lebih ringkes, artinya cerita yang dibawakan juga lebih banyak yang sekiranya dikenal oleh masyarakat, misalnya cerita Arjuna atau Ramayana,” kata Kenthus.

Tetap berjuang di tengah digitalisasi dan pandemi

Kehadiran teknologi seolah tak cukup jadi tantangan bagi para pelakon wayang orang, munculnya pandemi membuat pergerakan wayang orang terpaksa meredup, di tengah perjuangan mereka yang ingin terus memperkenalkan wayang orang kepada para generasi muda.

“Adanya pandemi, membuat kami jadi terpaksa tertunda berkarya, dahulu, minimal seminggu sekali di malam minggu, kami mengadakan pentas Wayang Orang,” kata Kenthus.

Baca Juga: Kolaborasi Usaha Rintisan Mampu Tangani Sampah Plastik Pascakonsumsi?

Meski begitu, Kenthus menyebut, perjuangan melestarikan wayang orang tetap harus dilakukan. Bermodal belajar teknologi dari para generasi wayang orang muda, Kenthus dan rekan mencoba menjajal peruntungan lewat pagelaran online.

“Adanya pandemi, akhirnya membuat pagelaran jadi tutup. Tapi saya dan yang lain tetap optimis untuk melestarikan budaya ini. Apalagi sekarang ada online, ini jadi peluang besar bagi kami,” ujar Kenthus.

Perjuangan padepokan Wayang Orang Baratha saat melakukan streaming tak jarang mengalami banyak kendala, salah satunya yaitu menyamakan timing lagu dan gerakan para pelakonnya. Belum lagi dengan kendala lag akibat koneksi, menjadi kisah perjuangan tersendiri.

 “Yang saya inget itu, waktu mau streaming ternyata jaringannya engga connect, belum lagi nyamain timing dengan yang lain, terasa banget susahnya,” lanjut Kenthus.

Baca Juga: Manusia Berisiko Tularkan COVID-19 ke Hewan, Perlu Jaga Jarak

Beruntung, di tengah kesulitan pelestarian wayang orang, Kenthus mendapat tawaran kerjasama dengan National Geographic Indonesia dan PT Pertamina (Persero), untuk mengadakan pagelaran wayang orang bertajuk “Sirnaning Pageblug” – atau bermakna “Hilangnya Pandemi” pada 27 Juni 2020 silam.

“Bersyukur kemarin didatengin sama National Geographic Indonesia, kami akhirnya bisa pagelaran lagi dengan sukses, (kami) semakin antusias untuk terus mengenalkan dan mengajak anak-anak untuk bergabung, apalagi saya sudah cukup tua, waktunya generasi muda yang melanjutkan,” kata Kenthus melalui wawancara telepon dengan redaksi National Geographic Indonesia, Kamis (29/10/2020).

Sukses dengan pagelaran seni pertama, serta berhasil mengantongi rekor MURI dalam pagelaran Wayang Orang pertama secara online. Membuat paguyuban Wayang Orang Bharata tergerak untuk mengadakan kembali pagelaran wayang orang ini, salah satunya melalui pagelaran bertajuk Hanoman Duta, yang akan diselenggarakan pada Minggu, (08/11/2020) mendatang.

“Pemilihan cerita ini dari kisah Ramayana, tapi bukan yang tua yang main, anak-anak generasi 5 dan 6 yang akan meramaikan. Kalau saya cuma membuat jalan cerita dan mengawasi dari jauh. Biar mereka bisa berkembang sendiri,” tutup Kenthus.

Baca Juga: Bincang Redaksi: 280 Tahun Geger Pacinan, Singkap Arsip VOC dan Persekutuan Cina-Jawa 1740-1743

Tak hanya berfokus pada pelestarian wayang orang, kolaborasi National Geographic Indonesia dan PT Pertamina (Persero) pun turut mendukung pelestarian Tari Bengkala Bali melalui sanggar Tari Kolok serta Tari Topeng sanggar Mimi Rasinah. Ke depan, berbagai pagelaran serupa juga dapat dinikmati secara online.

Untuk tetap menjaga kelestarian budaya wayang orang di tengah modernisasi, Anda bisa ikut berpartisipasi dengan cara menonton langsung pagelaran seni ini melalui laman pendaftaran Hanoman Duta.

Mari bergabung dan #BerbagiCerita bersama National Geographic Indonesia untuk melestarikan budaya asli Indonesia.