Visi Baru Viking

By , Senin, 10 April 2017 | 19:59 WIB

Gerimis turun saat kami menggigil di jalan, menunggu pemimpin Viking dan kawanannya. Malam Januari di kota tua Lerwick, Shetland, itu dingin dan lembap, namun penuh euforia.

Di samping saya, seorang lelaki bersama dua anak kecil tertawa saat melihat kabut merah melayang naik di belakang balai kota. “Tampaknya mereka membakar seluruh gedung,” serunya. Untuk melihat kebakaran itulah kami ke mari. Inilah Up Helly Aa, perayaan api besar bangsa Viking kuno di Shetland. Seperti yang lain, saya ke sini untuk melihat kapal Viking dibakar.

Sementara kawanan si pemimpin Viking dan puluhan orang membanjiri jalan, api berkobar dari ratusan obor. Orang bersorak gembira saat melihat kapal panjang dihela penjarah. Bangsa Viking mendarat pertama kali di pesisir berbatu di utara Skotlandia sekitar 1.200 tahun silam, menumpas perlawanan warga dan merebut tanahnya. Selama hampir tujuh abad, pemimpin Norwegia menguasai Shetland, sampai akhirnya menggadaikannya kepada Raja Skotlandia.

Kini, dialek Nordik tua—Norn—hampir terlupakan. Tetapi, warga tetap sangat bangga akan masa lalu Viking mereka. Setiap tahun mereka mempersiapkan Up Helly Aa dengan obsesif, membangun replika kapal papan demi papan.

Kini, sementara orang ramai menyanyikan lagu-lagu tua tentang raja laut dan kapal naga, pembawa obor menghela kapal ke lapangan yang dikelilingi tembok. Saat si pemimpin memberi tanda, hujan obor menyulut kapal. Api berkejaran menaiki tiang kapal, bara melayang ke langit malam. Anak-anak membanting kaki dan menari.

Pada malam itu, sementara orang-orang berpesta ria, saya terkagum-kagum bahwa bangsa Viking masih mampu membuat kita terpesona. Setelah mati selama berabad-abad, kaum pelaut dan petarung abad pertengahan ini terus hidup dalam dunia khayalan para sineas, novelis, dan komikus. Sekarang, sebagian besar orang dapat menggambarkan aspek-aspek kehidupan bangsa Viking khayalan ini dengan mudah—cara mereka bertempur dan berpesta, tempat tinggal mereka, kematian mereka. Namun, seberapa banyak yang sebenarnya kita ketahui tentang bangsa Viking?

Kini, dengan teknologi maju—dari pencitraan satelit hingga kajian DNA dan analisis isotop—arkeolog dan ilmuwan lain menemukan banyak jawaban mengejutkan. Di Estonia, ilmuwan mem-pelajari dua kapal terkubur dipenuhi jasad petarung, menyingkap informasi baru tentang asal usul bangsa Viking yang penuh kekerasan. Di Swedia, peneliti mempelajari jasad komandan Viking perempuan. Dan di Rusia, arkeolog dan sejarawan melacak jalur pedagang budak Viking, memperlihatkan pentingnya perbudakan bagi perekonomian Viking. Kini, mulai bermunculan jendela untuk mengintip dunia Viking yang jauh lebih rumit daripada yang dikira. “Sekarang ini masa yang menggairahkan di bidang penelitian Viking,” kata Jimmy Moncrieff, sejarawan Shetland Amenity Trust di Lerwick.

Semua kajian baru ini mengungkap gambaran baru tentang ambisi dan dampak budaya kaum pelaut pemberani ini. Dari pesisir tanah air mere-ka di Skandinavia, pencari harta ini menaiki pentas dunia pada pertengahan abad kedelapan, menjelajahi sebagian besar Eropa selama 300 tahun berikutnya, berkelana lebih jauh daripada yang diduga para peneliti pada awalnya.

Dengan kapal layar mulus dan pengetahuan mumpuni tentang sungai dan laut, mereka menempuh perjalanan ke berbagai tempat yang setara dengan 37 negara modern atau lebih, dari Afganistan hingga Kanada, menurut arkeolog Neil Price di Uppsala Universitet. Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan lebih dari 50 budaya dan berdagang dengan antusias untuk memperoleh barang mewah. Mereka me-ngenakan kain kaftan Eurasia, memakai baju sutra Tiongkok, dan mengantongi tumpukan uang perak kaum Muslim. Mereka membangun kota makmur di York dan Kiev, menjajah daerah luas di Britania Raya, Islandia, dan Prancis, serta mendirikan permukiman di Greenland dan Amerika Utara. Tak ada pelaut Eropa lain di masa itu yang menjelajah begitu jauh dari kampung halamannya. “Hanya orang dari Skandinavia yang melakukannya,” kata Price.

Tak ada pelaut Eropa lain di masa itu yang menjelajah begitu jauh dari kampung halamannya. “Hanya orang dari Skandinavia yang melakukannya,” kata Price.

Namun, jalan menuju kekayaan bukan hanya penjelajahan dan perdagangan. Penjarah Viking berkeliaran di pesisir Britania dan Eropa, menyerang mendadak dengan begitu brutal. Di Prancis utara, mereka berlayar di Sungai Seine dan sungai lain, mengisi kapal dengan jarahan. Mereka memeras hampir 14 persen perekonomian Kekaisaran Carolingian di Eropa barat, dengan balasan janji kosong perdamaian. Di seberang selat di Inggris, penjarahan sporadis meluas menjadi peperangan saat pasukan Viking menyerbu dan menaklukkan tiga kerajaan Anglo-Saxon, menyisakan mayat membusuk di medan perang.

Era Viking ini, kata Price, “tidak cocok bagi orang bernyali kecil.”  Tetapi bagaimana prahara ini dimulai? Bagaimana dan mengapa petani abad pertengahan di Skandinavia menjadi momok bagi benua Eropa?

Selama hampir tiga abad sebelum penjarahan di pesisir asing dimulai pada sekitar 750, Skandi-navia dicabik-cabik oleh kemelut, kata Price. Pada masa ini didirikan lebih dari tiga puluh ke-rajaan kecil, yang membangun benteng bukit dengan cepat, serta memperebutkan kekuasaan. Di tengah zaman kisruh ini, malapetaka men-dera. Awan debu besar, yang kemungkinan di-muntahkan ke atmosfer oleh beberapa bencana alam—komet atau meteorit yang menabrak Bumi, juga meletusnya setidaknya satu gunung berapi besar—menggelapkan matahari pada 536, menurunkan suhu musim panas di Belahan Bumi Utara selama 14 tahun berikutnya. Hawa dingin dan kegelapan panjang itu membawa kematian dan kerusakan ke Skandinavia, di tepi utara pertanian abad pertengahan. Di wilayah Uppland di Swedia, misalnya, hampir 75 persen desa ditinggalkan, saat warganya mati akibat kelaparan atau perang.

Begitu parahnya musibah ini, sehingga tampak-nya melahirkan salah satu mitos tergelap di dunia—legenda Ragnarök di budaya Nordik, yaitu kiamat dan pertempuran terakhir, saat semua dewa,  manusia dan makhluk lain mati. Ragnarök konon diawali dengan Fimbulwinter, masa mematikan ketika matahari menghitam dan cuaca memburuk—peristiwa yang mirip dengan kabut debu yang dimulai pada 536, kata Price.