Visi Baru Viking

By , Senin, 10 April 2017 | 19:59 WIB

Gerimis turun saat kami menggigil di jalan, menunggu pemimpin Viking dan kawanannya. Malam Januari di kota tua Lerwick, Shetland, itu dingin dan lembap, namun penuh euforia.

Di samping saya, seorang lelaki bersama dua anak kecil tertawa saat melihat kabut merah melayang naik di belakang balai kota. “Tampaknya mereka membakar seluruh gedung,” serunya. Untuk melihat kebakaran itulah kami ke mari. Inilah Up Helly Aa, perayaan api besar bangsa Viking kuno di Shetland. Seperti yang lain, saya ke sini untuk melihat kapal Viking dibakar.

Sementara kawanan si pemimpin Viking dan puluhan orang membanjiri jalan, api berkobar dari ratusan obor. Orang bersorak gembira saat melihat kapal panjang dihela penjarah. Bangsa Viking mendarat pertama kali di pesisir berbatu di utara Skotlandia sekitar 1.200 tahun silam, menumpas perlawanan warga dan merebut tanahnya. Selama hampir tujuh abad, pemimpin Norwegia menguasai Shetland, sampai akhirnya menggadaikannya kepada Raja Skotlandia.

Kini, dialek Nordik tua—Norn—hampir terlupakan. Tetapi, warga tetap sangat bangga akan masa lalu Viking mereka. Setiap tahun mereka mempersiapkan Up Helly Aa dengan obsesif, membangun replika kapal papan demi papan.

Kini, sementara orang ramai menyanyikan lagu-lagu tua tentang raja laut dan kapal naga, pembawa obor menghela kapal ke lapangan yang dikelilingi tembok. Saat si pemimpin memberi tanda, hujan obor menyulut kapal. Api berkejaran menaiki tiang kapal, bara melayang ke langit malam. Anak-anak membanting kaki dan menari.

Pada malam itu, sementara orang-orang berpesta ria, saya terkagum-kagum bahwa bangsa Viking masih mampu membuat kita terpesona. Setelah mati selama berabad-abad, kaum pelaut dan petarung abad pertengahan ini terus hidup dalam dunia khayalan para sineas, novelis, dan komikus. Sekarang, sebagian besar orang dapat menggambarkan aspek-aspek kehidupan bangsa Viking khayalan ini dengan mudah—cara mereka bertempur dan berpesta, tempat tinggal mereka, kematian mereka. Namun, seberapa banyak yang sebenarnya kita ketahui tentang bangsa Viking?

Kini, dengan teknologi maju—dari pencitraan satelit hingga kajian DNA dan analisis isotop—arkeolog dan ilmuwan lain menemukan banyak jawaban mengejutkan. Di Estonia, ilmuwan mem-pelajari dua kapal terkubur dipenuhi jasad petarung, menyingkap informasi baru tentang asal usul bangsa Viking yang penuh kekerasan. Di Swedia, peneliti mempelajari jasad komandan Viking perempuan. Dan di Rusia, arkeolog dan sejarawan melacak jalur pedagang budak Viking, memperlihatkan pentingnya perbudakan bagi perekonomian Viking. Kini, mulai bermunculan jendela untuk mengintip dunia Viking yang jauh lebih rumit daripada yang dikira. “Sekarang ini masa yang menggairahkan di bidang penelitian Viking,” kata Jimmy Moncrieff, sejarawan Shetland Amenity Trust di Lerwick.

Semua kajian baru ini mengungkap gambaran baru tentang ambisi dan dampak budaya kaum pelaut pemberani ini. Dari pesisir tanah air mere-ka di Skandinavia, pencari harta ini menaiki pentas dunia pada pertengahan abad kedelapan, menjelajahi sebagian besar Eropa selama 300 tahun berikutnya, berkelana lebih jauh daripada yang diduga para peneliti pada awalnya.

Dengan kapal layar mulus dan pengetahuan mumpuni tentang sungai dan laut, mereka menempuh perjalanan ke berbagai tempat yang setara dengan 37 negara modern atau lebih, dari Afganistan hingga Kanada, menurut arkeolog Neil Price di Uppsala Universitet. Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan lebih dari 50 budaya dan berdagang dengan antusias untuk memperoleh barang mewah. Mereka me-ngenakan kain kaftan Eurasia, memakai baju sutra Tiongkok, dan mengantongi tumpukan uang perak kaum Muslim. Mereka membangun kota makmur di York dan Kiev, menjajah daerah luas di Britania Raya, Islandia, dan Prancis, serta mendirikan permukiman di Greenland dan Amerika Utara. Tak ada pelaut Eropa lain di masa itu yang menjelajah begitu jauh dari kampung halamannya. “Hanya orang dari Skandinavia yang melakukannya,” kata Price.

Tak ada pelaut Eropa lain di masa itu yang menjelajah begitu jauh dari kampung halamannya. “Hanya orang dari Skandinavia yang melakukannya,” kata Price.

Namun, jalan menuju kekayaan bukan hanya penjelajahan dan perdagangan. Penjarah Viking berkeliaran di pesisir Britania dan Eropa, menyerang mendadak dengan begitu brutal. Di Prancis utara, mereka berlayar di Sungai Seine dan sungai lain, mengisi kapal dengan jarahan. Mereka memeras hampir 14 persen perekonomian Kekaisaran Carolingian di Eropa barat, dengan balasan janji kosong perdamaian. Di seberang selat di Inggris, penjarahan sporadis meluas menjadi peperangan saat pasukan Viking menyerbu dan menaklukkan tiga kerajaan Anglo-Saxon, menyisakan mayat membusuk di medan perang.

Era Viking ini, kata Price, “tidak cocok bagi orang bernyali kecil.”  Tetapi bagaimana prahara ini dimulai? Bagaimana dan mengapa petani abad pertengahan di Skandinavia menjadi momok bagi benua Eropa?

Selama hampir tiga abad sebelum penjarahan di pesisir asing dimulai pada sekitar 750, Skandi-navia dicabik-cabik oleh kemelut, kata Price. Pada masa ini didirikan lebih dari tiga puluh ke-rajaan kecil, yang membangun benteng bukit dengan cepat, serta memperebutkan kekuasaan. Di tengah zaman kisruh ini, malapetaka men-dera. Awan debu besar, yang kemungkinan di-muntahkan ke atmosfer oleh beberapa bencana alam—komet atau meteorit yang menabrak Bumi, juga meletusnya setidaknya satu gunung berapi besar—menggelapkan matahari pada 536, menurunkan suhu musim panas di Belahan Bumi Utara selama 14 tahun berikutnya. Hawa dingin dan kegelapan panjang itu membawa kematian dan kerusakan ke Skandinavia, di tepi utara pertanian abad pertengahan. Di wilayah Uppland di Swedia, misalnya, hampir 75 persen desa ditinggalkan, saat warganya mati akibat kelaparan atau perang.

Begitu parahnya musibah ini, sehingga tampak-nya melahirkan salah satu mitos tergelap di dunia—legenda Ragnarök di budaya Nordik, yaitu kiamat dan pertempuran terakhir, saat semua dewa,  manusia dan makhluk lain mati. Ragnarök konon diawali dengan Fimbulwinter, masa mematikan ketika matahari menghitam dan cuaca memburuk—peristiwa yang mirip dengan kabut debu yang dimulai pada 536, kata Price.

Ketika musim panas kembali dan populasi pulih, masyarakat Skandinavia memperoleh bentuk baru yang lebih bengis. Pemimpin menggalang kawanan perang bersenjata lengkap, mulai merebut dan membela wilayah terbengkalai. Bangkitlah suatu masyarakat militer, yang mengagungkan kemampuan perang—keberanian, keganasan, kepandaian bermuslihat, kekuatan dalam pertempuran. Di Pulau Gotland di Swedia, tempat arkeolog menemukan banyak makam utuh dari periode ini, “hampir separuh orang tampaknya dikuburkan bersama senjata,” kata John Ljungkvist, arkeolog Uppsala Universitet.

Sementara masyarakat bersenjata berangsur terbentuk, ada teknologi baru yang memicu revolusi kemampuan bahari Skandinavia pada abad ketujuh—layar kapal. Tukang kayu terampil mulai membangun kapal mulus bertenaga angin yang mampu mengangkut kawanan petarung bersenjata lebih jauh dan lebih cepat. Di atas kapal ini, para pemimpin utara dan pengikut mereka bisa mengarungi Laut Baltik dan Laut Utara, menjelajahi negeri baru, menjarah kota dan desa, serta memperbudak penduduknya. Dan lelaki yang tidak mendapat jodoh di kampung halaman bisa memperistri tawanan perempuan melalui bujukan atau paksaan.

Semua ini—berabad-abad ambisi para raja, banyaknya petarung muda tak beristri, dan jenis kapal baru—menciptakan malapetaka baru. Bangsa Viking siap membanjir dari utara, membakar sebagian besar Eropa dengan kekerasan khas mereka.

Pada sekitar 750, sekawanan petarung Viking masa awal menyeret dua kapal ke tanjung berpasir di Pulau Saaremaa, di lepas pantai Estonia. Jauh dari kampung halaman di hutan di dekat Uppsala, Swedia, mereka adalah sisa gerombolan pelaku penjarahan yang menelan banyak korban. Di dalam kapal, bergelimpangan mayat lebih dari empat puluh orang Viking, termasuk satu yang mungkin raja. Semuanya masih muda atau ber-usia prima—lelaki jangkung, berotot—dan banyak yang terlibat dalam pertarungan ganas. Ada yang ditikam atau dibacok hingga mati, ada yang kepalanya terpenggal.

Para petarung yang selamat itu memulai pekerjaan mengerikan, menyusun kembali bagian tubuh yang terpisah-pisah dan mengatur sebagian besar mayat itu di lambung kapal terbesar. Lalu, mereka menutupi jenazah dengan kain dan membuat makam darurat dengan menumpuk perisai perang di atas rekan yang gugur.!break!

Pada 2008, sekelompok pekerja yang sedang merentangkan kabel listrik menemukan tulang manusia dan serpih pedang berkarat, lalu pihak berwenang setempat memanggil arkeolog. “Ini pertama kalinya arkeolog menggali sesuatu yang jelas berkaitan dengan penjarahan Viking,” katanya. Lebih luar biasa lagi: Para petarung di Salme, Estonia itu, mati hampir 50 tahun sebelum penjarah Skandinavia menyerang biara Lindisfarne di Inggris pada 793, yang selama ini dianggap sebagai serangan Viking pertama.

Makam kapal di Salme itu menggemparkan spesialis Viking. “Hal yang mengagumkan adalah banyaknya pedang di sana,” kata Price. Sebagian besar peneliti sudah lama berasumsi, kawanan penjarah Viking awal terdiri atas beberapa pe-tarung elite bersenjatakan pedang dan peralatan perang mahal lainnya, serta puluhan anak petani miskin bersenjatakan tombak atau busur murah. Namun, jelas tidak demikian halnya di Salme. Jumlah pedang di makam itu lebih banyak daripada jumlah manusianya, mengonfirmasi setidaknya beberapa ekspedisi awal diikuti banyak petarung berstatus tinggi.

Pada suatu pagi di Januari, di taman industri di sebelah selatan Edinburgh, Skotlandia, sekelompok peneliti berjalan di muka, menuju lab konservasi kecil. Selama setahun lebih, ilmu-wan di sini meneliti harta yang dikumpulkan pe-mimpin Viking dari menjarah dan merampok. Timbunan Galloway yang dikuburkan sekitar 1.100 tahun silam di Skotlandia barat daya, adalah kumpulan benda aneh dan indah, mulai dari batang emas-murni hingga kain samite sutra dari dunia Bizantium atau Islam. Olwyn Owen, arkeolog yang berspesialisasi di era Viking, berkata, “Ini temuan luar biasa,” katanya.

Hari ini seorang konservator mengeluarkan beberapa benda langka. Di atas meja ada jepit emas ramping berbentuk seperti burung. Benda itu mirip aestel, penunjuk kecil yang dulu digunakan anggota kependetaan untuk membaca teks suci. Di dekatnya, liontin emas berhias, mungkin didesain untuk memuat relikui kecil dari santo. Owen memandangi sembilan bros perak, sebagian dihiasi sulur berputar dan makhluk mitos, sebagian wajah aneh yang mirip manusia. Semua kecuali satu, kata Owen, didesain untuk orang Anglo-Saxon. “Dengan kata lain,” dia menyimpulkan, “dulu ada biara atau permukiman Anglo-Saxon yang buruk nasibnya.”

Si pemimpin Viking yang merampas harta ini menggemari benda indah. Alih-alih melelehkan semua jarahan, ia menyisihkan beberapa buah untuk koleksi pribadi, karya seni asing yang eksotis. Menurut arkeolog Steve Ashby di University of York, bangsa Viking menggemari kemewahan, dan beberapa orang elite senang memiliki dan menggunakan simbol status ini. “Para pemimpin ini pesolek,” kata Ashby. “Masyarakat ini mementingkan pamer kekayaan.”

Para pemimpin Viking ini merias mata, mengenakan busana berwarna mencolok, dan memakai perhiasan berat—cincin leher, bros, gelang lengan, dan cincin. Tetapi, ini memiliki tujuan serius:  Setiap benda mencerminkan kisah petualangan ke negeri asing, kisah keberanian dan kesembronoan yang sukses. Dengan mengenakan hasil jarahan perang pada tubuh, orang Viking menjadi iklan berjalan tentang hebat-nya kehidupan penjarah, memikat kaum muda untuk bersumpah setia demi memperoleh jatah jarahan. “Para pemimpin Viking tidak bisa malu-malu tentang kiprah mereka, kalau ingin mempertahankan kekuasaan,” kata Ashby.

Pada awal era Viking, penjarah terutama mengincar biara pesisir atau pulau—sepertinya dengan berbekal intel canggih. Pedagang Skandinavia sering mengunjungi pesisir Britania dan Eropa, dan mereka cepat menyadari, pasar biasanya digelar di sebelah biara. Saat berkeliling kios, sebagian tentu melihat piala perak dan emas yang menghiasi kapel biara. “Saya kira tak perlu berkhayal jauh-jauh untuk membayangkan, akhirnya ada yang berkata, ‘Bagaimana kalau kita colong saja barang-barang itu?’” kata Price.

“Jika Anda tinggal di Prancis barat laut pada akhir abad kesembilan,” kata Price, “pasti mengira dunia sedang kiamat.”

Penjarah masa awal merencanakan serangan untuk bulan-bulan musim panas. Mereka sering berangkat hanya dengan beberapa kapal dan mungkin seratus petarung. Dengan persenjataan besi berlimpah, penjarah menyerang dan membantai dengan cepat, berlayar kembali sebelum penduduk sempat menyusun pertahanan. Di Prancis, pada abad kesembilan saja, penjarah Viking menyerang lebih dari 120 permukiman, menghabisi, memereteli harta gereja, dan memperbudak korban yang hidup. “Jika Anda tinggal di Prancis barat laut pada akhir abad kesembilan,” kata Price, “pasti mengira dunia sedang kiamat.”

Sementara logam berharga mengalir ke Skandinavia, para pemuda berbondong-bondong ke balai besar pemimpin Viking, bersemangat untuk bersumpah setia. Hal yang berawal sebagai penjarahan kecil dengan dua-tiga kapal, perlahan berevolusi menjadi armada 30 kapal, lalu lebih banyak lagi. Menurut catatan sejarah masa itu, ratusan kapal Viking tiba di pesisir timur Inggris pada 865, membawa kawanan rakus yang disebut oleh penulis sebagai micel here, pasukan besar. Mendesak masuk, para penyerbu ini mulai melibas kerajaan-kerajaan Anglo-Saxon dan merebut tanah-tanah luas untuk dijajah.

Persis di luar kota Lincoln modern, arkeolog Julian D. Richards dari University of York mempelajari salah satu perkemahan musim dingin pasukan besar itu. Perkemahan itu, yang kini ber-nama Torksey, cukup untuk menampung 3.000 hingga 4.000 orang. Tetapi, penemuan di sana menunjukkan bahwa pasukan besar itu bukan sekadar kekuatan militer. Pandai besi melelehkan barang jarahan, dan para saudagar berdagang. Anak-anak berlarian di ladang becek, dan kaum perempuan berkegiatan—mungkin termasuk memimpin pasukan dalam perang di beberapa bagian dunia Viking.

Salah satu teks Irlandia awal mencatat, perempuan bernama Inghen Ruaidh—atau Gadis Merah, sesuai warna rambutnya—memimpin armada kapal Viking ke Irlandia pada abad ke-sepuluh. Bio-arkeolog Anna Kjellström dari Stockholms Universitet baru-baru ini menganalisis kerangka tulang petarung Viking yang ditemukan di pusat perdagangan tua Birka, Swedia. Kawan dan kerabatnya melengkapi makam dengan setumpuk senjata mematikan, dan selama puluhan tahun arkeolog berasumsi bahwa petarung elite itu lelaki. Tetapi, saat mempelajari tulang panggul dan rahang bawah petarung itu, Kjellström menemukan bahwa lelaki itu sebenarnya perempuan.

Perempuan Viking tak bernama ini tampaknya dihormati oleh banyak petarung Viking. “Di pangkuannya terdapat pion permainan,” kata arkeolog Charlotte Hedenstierna-Jonson dari Uppsala Universitet. “Ini menandakan dialah penyusun taktik dan bahwa dia pemimpin.”

Armada yang membawa kematian dan kehancuran ke Eropa barat juga mengangkut budak dan komoditas ke pasar yang tersebar dari Turki hingga Rusia barat, dan mungkin Iran. Pejabat Arab dan Bizantium abad pertengahan menggambarkan konvoi saudagar dan pedagang budak Viking bersenjata yang disebut bangsa Rus, yang sering menyusuri jalur sungai ke Laut Hitam dan Laut Kaspia. “Saya belum pernah melihat perawakan yang lebih sempurna daripada mereka,” komentar Ahmad Ibn Fadlan, tentara dan diplomat Arab abad ke-10 dari Baghdad. “Setiap orang membawa kapak, pedang, belati.”

“Saya belum pernah melihat perawakan yang lebih sempurna daripada mereka,” komentar Ahmad Ibn Fadlan, tentara dan diplomat Arab abad ke-10 dari Baghdad. “Setiap orang membawa kapak, pedang, belati.”

Untuk memahami perdagangan selatan ini, kini para arkeolog menggali situs di sepanjang jalur ke dunia Bizantium dan Muslim. Suatu hari menjelang siang saat Juni, sekitar 370 kilometer di barat daya Moskow, Veronika Murasheva, arkeolog Museum Sejarah Negara di Moskow, me-nyusuri tepi Sungai Dnieper yang dulu ditempati kota kecil abad pertengahan. Didirikan oleh pen-jelajah Viking lebih dari 1.100 tahun silam, Gnezdovo terletak di dua jalur dagang besar: Sungai Dnieper-—mengalir ke Laut Hitam, dan kumpul-an kali yang mengalir ke Sungai Volga, yang bermuara ke Laut Kaspia. Gnezdovo jelas diuntungkan oleh geografi ini, tumbuh makmur dengan luas hingga 30 hektare lebih.

Kini, Gnezdovo diliputi hutan dan padang rumput, tetapi selama satu setengah abad ini, para arkeolog Rusia menemukan benteng bukit, timbunan harta, simpanan harta, bengkel, pelabuhan, dan hampir 1.200 makam yang berisi artefak mewah. Mereka menemukan bahwa di Gnezdovo ada seorang elite Viking kaya yang menerima upeti dari penduduk Slavia setempat dan mungkin mengelola aspek perdagangan selatan. Setiap tahun, setelah musim semi me-lelehkan salju, pedagang Viking berangkat dari Gnezdovo dengan kapal penuh barang mewah—kulit bulu, madu, lilin lebah, bongkah ambar, gading walrus—dan kargo budak. Menurut Murasheva, banyak kapal yang menuju Laut Hitam dan Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium dan kota yang berpenduduk 800.000 jiwa lebih pada masa itu. Pedagang Viking berkeliling pasar, menjual kargo dan membeli komoditas yang digemari: amphora anggur dan minyak zaitun, sutra, dan tekstil langka lainnya.!break!

Pedagang Viking lain pergi lebih ke timur dari Gnezdovo, mengikuti kali yang berkelok melintasi Rusia bagian barat ke Sungai Volga. Di pasar di sepanjang sungai dan di sekeliling Laut Kaspia, pembeli Muslim membayar mahal untuk membeli budak asing. Para pembeli timur mem-bayar dengan tumpukan uang perak yang disebut dirham, sumber kekayaan penting bagi Viking.

Dengan menelusuri laporan dan basis data arkeologi, Marek Jankowiak, sejarawan abad pertengahan dari Oxford University, menemukan catatan tentang seribuan timbunan dirham yang dikubur pedagang Viking dan orang Viking lain di seluruh Eropa. Jankowiak memperkirakan bahwa pedagang budak Viking mungkin menjual puluhan ribu tawanan Eropa timur, sebagian besar orang Slavia, sebagai budak pada abad ke-10 saja. Mereka memperoleh jutaan dirham perak—harta yang sangat banyak pada masa itu. Di dunia Viking, tempat para pemimpin sering mengganjar petarung dengan hadiah perak, jalan ke selatan adalah jalan menuju kekuasaan.

Di aula yang diterangi api milik pemimpin Nordik, para pendongeng juga bercerita ten-tang perjalanan awal ke barat. Pendongeng me-nuturkan kisah seorang pedagang, Bjarni Herjólfsson, yang tersesat dalam kabut tebal saat berlayar dari Islandia ke Greenland.

Saat kabut terangkat, Herjólfsson dan anak buahnya melihat tanah baru yang tak mirip Greenland. Tanah itu berselimut hutan. Namun, Herjólfsson tidak berminat menjelajahinya, jadi dia mengarahkan kapal ke laut. Orang Viking yang tersesat itu tak sengaja sampai di Dunia Baru—tampaknya orang Eropa pertama yang memandang pesisirnya. Itulah awal perjalanan Viking ke Amerika Utara.

Kini, penjelajahan pelaut Viking di Dunia Baru termasuk salah satu kiprah mereka yang paling misterius dan kontroversial. Menurut saga Nordik, pelaut Viking berlayar ke barat dari Greenland dalam empat ekspedisi besar, mencari kayu dan sumber daya lain. Mereka sudah memperhatikan keadaan pesisir timur laut Kanada sejak 985, lalu bermusim dingin di perkemahan kecil, memotong kayu, memetik anggur liar di tempat yang mereka sebut sebagai Vinland, melahirkan, serta berdagang dan berkelahi dengan penduduk pribumi.

Pada 1960, penjelajah Norwegia bernama Helge Ingstad mencari perkemahan Viking. Di ujung utara Newfoundland, di L’Anse aux Meadows, tuan tanah mengantarnya ke bukit yang konturnya mirip rumah panjang. Di dekatnya, terdapat rawa gambut yang mengandung bijih besi rawa, sumber bijih besi penting bagi bangsa Viking. Penggalian menyingkapkan tiga balai besar, beberapa gubuk, tungku pengolah bijih besi rawa, dan butternut (semacam labu kecil) dari pohon yang tumbuh ratusan kilometer di selatan. Jika digabungkan, penemuan ini dan petunjuk saga menyiratkan dengan kuat, kaum penjelajah Viking tak hanya mendarat di Newfoundland, namun menjelajah lebih ke selatan.

Belakangan, arkeolog Kanada menemukan jejak pedagang Viking di Arktika Kanada. Patricia Sutherland, adjunct professor di Carleton University di Ottawa, sedang menelusuri koleksi lama di Canadian Museum of History di dekat Ottawa ketika menemukan beberapa potong benang Viking. Dipintal oleh penenun terampil, benang ini berasal dari situs yang dihuni oleh suku Dorset, suku Paleo-Eskimo yang tinggal di Arktika hingga abad ke-15. “Waktu itu saya berpikir, ini mustahil,” kata Sutherland, jadi dia memperluas pencarian di museum dan menemu-kan kumpulan artefak Viking, dari batu asah untuk pisau logam hingga tongkat hitung untuk mencatat transaksi dagang.

Temuan paling menarik adalah wadah batu kecil untuk melelehkan logam. Ia menelitinya dengan le-bih saksama dengan mikroskop pemin-dai elektron. Di permukaan wadah bagian dalam, mereka mendeteksi sisa perunggu dan bola kaca kecil yang terbentuk saat mineral dilelehkan pada suhu tinggi—bukti menggiurkan tentang peng-olahan logam gaya Viking. Sutherland menduga, pelaut Viking dari Greenland berlayar ke Arktika Kanada untuk berdagang dengan pemburu pribumi, membarter pisau logam dan asahan dengan kulit bulu rubah arktika tebal dan gading walrus—barang mewah untuk pasar Eropa.

“Ini mencengangkan,” dia terkagum-kagum, “sisa kecil tembok gambut ini diidentifikasi dari 770 kilometer di luar angkasa.”

Namun, melacak ekspedisi Viking lain yang disebut di dalam saga, tetap merupakan tantangan besar. Untuk menemukan situs poten-sial, arkeolog harus menyisir ribuan kilometer pesisir terpencil. Tiga tahun silam, arkeolog Sarah Parcak dari University of Alabama at Birmingham mencoba pendekatan baru.

Parcak, penerima hibah National Geographic, menggunakan pencitraan satelit untuk men-deteksi situs arkeologi potensial. Di Islandia, dia mendeteksi hal yang sepertinya tembok lem-peng gambut. Saat arkeolog Douglas Bolender dari University of Massachusetts Boston menyelidikinya, dia menemukan sisa bangunan dan tembok lempeng gambut setinggi 15 sentimeter, yang terkubur—persis di tempat yang disarankan Parcak. “Ini mencengangkan,” dia terkagum-kagum, “sisa kecil tembok gambut ini diidentifikasi dari 770 kilometer di luar angkasa.”

Parcak dan timnya pun mulai menilik citra satelit Kanada Atlantik. Di Newfoundland bagian barat daya, mereka menemukan kumpulan mirip tembok gambut di semenanjung bernama Point Rosee. Point Rosee terletak di jalur laut menuju tanah yang ditumbuhi pohon butternut dan anggur liar. Seperti L’Anse aux Meadows, tempat ini terletak di sebelah rawa gambut luas tempat pelaut Viking dapat mengumpulkan bijih besi.

Dalam penggalian kecil pada 2015, Parcak menemukan sesuatu mirip tembok lempeng gambut, juga lubang besar yang tampaknya digunakan untuk mengumpulkan bijih rawa. Tetapi, penggalian lebih besar pada musim panas silam menimbulkan keraguan tentang penafsiran ini, yang menyiratkan bahwa tembok lempeng gambut dan akumulasi bijih rawa itu adalah hasil proses alami. Kini, Parcak menunggu hasil uji tambahan untuk memperjelas situasinya.

“Mencari bangsa Nordik di sini ibarat mencari jarum di tumpukan jerami,” kata Milek. Citra satelit adalah salah satu cara terbaik untuk melakukannya.”

Parcak merasa, ia dan timnya  sedang me-ngembang-kan cara ilmiah yang akurat, untuk mencari situs Viking di Amerika Utara. Rekannya Karen Milek, arkeolog University of Aberdeen, sepakat. “Mencari bangsa Nordik di sini ibarat mencari jarum di tumpukan jerami,” kata Milek. Citra satelit adalah salah satu cara terbaik untuk melakukannya.”

Di hari musim dingin yang berangin, saya naik taksi ke Bandara Sumburgh di Shetland. Saat itu pagi hari setelah Up Helly Aa. Tak banyak warga Shetland yang sudah bangun setelah semalaman bersuka ria. Pedang dan helm sudah disimpan, anak-anak sedang tidur, bermimpi tentang raja laut. Kapal kayu, kini tinggal abu di lapangan.

Namun, bayangan akan bangsa Viking, romansa kaum utara pemberani yang membuat kapal besar dan mengarungi laut es ke dunia baru, serta sungai berkelok ke pasar di Timur, tak akan pernah usang. Mereka akan terus hidup di sini dan di wilayah utara, semangat zaman yang tak akan lekang oleh waktu.