Cerita Kolong Timah Bangka di Masa Lalu Sampai Masa Sekarang

By Fikri Muhammad, Kamis, 3 Desember 2020 | 10:00 WIB
Salah satu bekas tambang timah di Kampung Menjelang Baru Kecamatan Muntok. Daerah ini menjadi bekas tambang terbesar di Muntok yang ditambang oleh swasta. (Fikri Muhammad)

“Banyak yang liar juga. Seharusnya kan dapat izin usaha, daerah mana yang bisa ditambang. Tapi sekarang ini susah. Cari yang benar benar sesuai izin sesuai izin tambang. Harusnya reklamasi kolong itu tutup. Ini PT. Timah sudah reklamasi dibuka lagi karena alasan perut,” kata Fachrizal.

Saat ini, sungai-sungai di Muntok tercemar limbah bekas timah. Warnanya kecoklatan karena endapan pasir dan membuat volume air naik. Sehingga di musim hujan, Muntok menjadi langganan banjir. Sebaliknya pada musim kemarau, masyarakat kekurangan air bersih karena aktivitas penambangan yang masif.

Aktivitas penambangan dari awal reformasi hingga saat ini membuat nyaris tidak ada lahan-lahan timah baru. Kalaupun ada tambang baru pun belum tentu memproduksi banyak timah.

Banyak para penambang mengalami masa sulit saat ini. Karena lahan tambang yang dimilikinya sudah tidak berproduksi kembali.  “menambang timah ini cepat dapat cepat miskin, cepat kaya cepat miskin,” ucap Fakhrizal yang menjelaskan bahwa bekerja di sektor penambangan timah sudah tidak diminati seperti era jaya di awal reformasi.

Karena lahan di darat sudah sulit, bermunculan fenomena baru di Muntok yaitu penambang laut alias TI apung. Kebanyakan dari mereka adalah pendatang dari Palembang yang memiliki kemampuan menyelam untuk mencari lokasi-lokasi timah di lautan. Namun kegiatan ini ditentang oleh para nelayan karena mengganggu mata pencahariaan mereka.

Para penambang-penambang lama sadar akan masa sulit ini. Beberapa diantaranya mengalihkan bekas tambangnya menjadi pariwisata, perkebunan, pertanian, restoran, dan tambak ikan. Selain berupaya untuk melakukan usaha alternatif, beberapa penambang yakin bahwa cara itu adalah solusi untuk melestarikan lingkungan yang telah dirusak olehnya.

Baca Juga: Sejarah Lagu Indonesia Raya, Pertama Kali Dikumandangkan Pada Kongres Pemuda II

Solusi lain untuk mengatasi permasalahan penambangan timah di Muntok saat ini adalah mengambil mineral lanjutan yang dibuang pada limbah timah (tailing). Fakhrizal yang sebelumnya bekerja di PT. Timah Tbk di bagian metalurgi yakin bahwa harga mineral ikutan jauh lebih mahal dibanding timah.

Mineral lanjutan ini diantaranya seperti Quatz, Zircon, Rutile, Ilmenit, Siderite, Xenotime, Monazite, dan Tourmaline. Disebut mineral ikutan (associated minerals) karena mineral-mineral tersebut terbentuk bersamaan dengan proses geologi terbentuknya cassiterite (SnO2).

Di dalam proses pencucian (dressing) dilakukan pemisahan berdasarkan berat jenis. Maka, mineral ikutan tersebut ikut tertangkap dalam kelompok sesuai dengan berat jenisnya.

Mineral Monazite, misalnya, sebuah mineral coklat kemerahan yang terdiri dari fosfat yang mengandung logam tanah jarang sebagai sumber cerium dan thorium. Mineral ini, menurut Fakhrizal mengandung radioaktif yang dapat dimanfaatkan untuk baterai mobil listrik.

“Kalau Monazite itu mengandung bahan radioaktif. Itukan bisa diproses untuk baterai mobil listrik, pesawat ruang angkasa. Itu bisa laku kan. Tapi siapa yang bikin pabriknya pengolahanya belum ada. Karena dijual bahan mentahnya kan tidak boleh juga,” katanya.

Kehadiran investor dengan teknologi terbarukan dipercaya Fakhrizal untuk menampung mineral-mineral ikutan tersebut. Jika hal ini diberlakukan, Fachrizal yakin akan membawa dampak baik bagi lingkungan karena limbah timah tidak terbuang sia-sia. Dia berharap, kelak masyarakat pun akan memiliki pekerjaan baru sebagai pencari mineral ikutan tersebut.

"Harusnya ini sudah terpikir," kata Fachrizal. "Menggantikan timah dengan industri lain."