Cerita Kolong Timah Bangka di Masa Lalu Sampai Masa Sekarang

By Fikri Muhammad, Kamis, 3 Desember 2020 | 10:00 WIB
Salah satu bekas tambang timah di Kampung Menjelang Baru Kecamatan Muntok. Daerah ini menjadi bekas tambang terbesar di Muntok yang ditambang oleh swasta. (Fikri Muhammad)

Produksi timah saat itu tidak besar karena penggalianya masih di permukaan. Wan Akub kemudian memberi usul pada Kesultanan Palembang untuk mendatangkan kuli tambang Tionghoa dari Siam dan Chocin.

Seketika produksi tambang timah meningkat drastis. Sehingga pundi uang Kesultanan Palembang meningkat.

Kesultanan memperkerjakan orang-orang Tionghoa bukan tanpa alasan. Selain lebih disiplin dan bertenaga kuat ketimbang pribumi, mereka mempunyai sistem kolong pada penambangan. Mereka membawa teknologi pacul yang belum dikenal oleh orang-orang pribumi pada 1733.

Baca Juga: Tionghoa Peranakan dalam Bingkai Kebinekaan Indonesia

“Kalau dulu pribumi ambil timah menggunakan linggis ke bawah dengan diameter yang kecil seperti sumur. Tapi Tionghoa beda. Dia bawa alat bernama pacul. Makanya tambang mereka itu besar galianya dan lebar. Yang kita kenal kolong sampai sekarang. Dan dia sudah punya teknologi pompa  sederhana dari kayu yang diputar dengan tenaga air seperti kincir,” kata Fakhrizal.

Karena kesuksesan itu, Kesultanan Palembang mendatangkan lebih banyak kuli kontrak dari Selatan Tiongkok yang didatangkan secara bergelombang. “Terutama orang Khek, yang didatangkan saat bujangan yang akhirnya kawin campur dengan pribumi,” kata Fakhrizal.

Orang yang ditunjuk untuk mendatangkan orang-orang Tiongkok bernama Bong Hu But. Kemudian tugasnya digantikan oleh Kapiten Boen A Siong setelah Bong Hu But purna tugas dan kembali ke Palembang.

Boen A Siong ditempatkan di Belo, sekitar sepuluh kilometer ke arah timur Muntok. Kawasan ini menjadi daerah eksploitasi besar-besaran tambang timah pertama milik Kesultanan Palembang.

“Sebagai buktinya kita bisa temukan puing peninggalan klenteng di Belo. Padahal mayoritas masyarakat Belo bukan orang Tionghoa,” kata Suwito. “Ini salah satu jejak orang Tionghoa yang bermigrasi ke pulau Bangka.”

Menurut Fakhrizal, Sultan Palembang pada masa itu menjadi orang terkaya di timur karena penjualan timah. Timah-timah itu kemudian dijual pada kongsi dagang VOC.

“Jadi Sultan Palembang adalah sultan terkaya di Timur. Waktu itu jual sama VOC. Harganya tidak melebihi emas tapi orang perlu sekali dengan timah. Sultan Palembang juga terlibat perjanjian bahwa timah tidak boleh dijual ke tempat lain. Harus VOC,” katanya.

Pada 1811 Inggris menduduki Bangka. Kesultanan Palembang di bawah Sultan Najamuddin menyerahkan Bangka dan Belitung kepada Inggris.