Merangkum Kisah Pewujudan Kesejahteraan dari Sabang sampai Merauke

By Fathia Yasmine,Nana Triana,Yussy Maulia, Jumat, 11 Desember 2020 | 20:36 WIB
Ana Susianti (27) merawat tanamannya di kebun depan rumahnya di Dusun Bendo, Ngentakrejo, Lendah, Kulonprogo, DI Yogyakarta. (Hendra Nurdiyansyah)

Nationalgeographic.co.id - Harmoni antara aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi adalah rumusan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Dengan premis tersebut, pada 21 Oktober 2015 pemimpin –pemimpin dari 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyepakati 17 tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs).

Indonesia termasuk di dalam 189 negara tersebut. Oleh sebab itu, pemenuhan tujuan-tujuan SDGs menjadi resolusi yang diupayakan.

Harapannya dengan pemenuhan tujuan-tujuan tersebut kemiskinan dapat dientaskan, tak ada lagi krisis pangan, lingkungan dikelola dengan prinsip keberlanjutan, dan kesenjangan digantikan dengan kesetaraan.

Tujuan-tujuan tersebut terus diupayakan untuk dicapai oleh berbagai pihak supaya kesejahteraan dapat dinikmati oleh masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Perjalanan tim National Geographic Indonesia pada 19-23 November 2020 lalu menemukan kisah dan langkah nyata yang telah dilakukan.

Di seberang Pulau Nusakambangan, Cilacap yang lebih dikenal sebagai lokasi berdirinya lembaga pemasyarakatan dengan pengamanan superketat, terdapat Dusun Bondan. Sebuah dusun di wilayah Kecamatan Kampung Laut tersebut istimewa. Sebab, kehidupan warganya telah disokong oleh energi baru dan terbarukan (EBT).

Tenaga surya dan angin dimanfaatkan untuk menggerakkan Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida (PLTH) yang kemudian mengalirkan listrik ke rumah-rumah warga. Anak-anak dapat belajar dengan leluasa. Perekonomian warga desa pun ikut bergerak.

Kondisi ini jauh berbeda dari empat tahun lalu. Lokasi Dusun Bondan yang terpencil dan hanya dapat diakses dengan membelah laguna raksasa Segara Anakan dengan perahu, membuat pemerataan energi listrik sulit menjangkaunya.

Metode polikultur biofilter dimulai dengan menyaring air sebelum masuk ke tambak. Air dialirkan dari sungai ke kolam penampungan. ()

Dulu, pada malam hari dusun ini gelap gulita. Aktivitas warga dusun hanya terbatas sampai matahari terbenam.

Pada 2017, harapan datang. Pertamina membangun PLTH dengan teknologi hybrid energy one pole (HEOP) di dusun tersebut.

PLTH berteknologi HEOP ini sebenarnya merupakan hasil sayembara bagi mahasiswa yang diselenggarakan Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap. 

HEOP mengombinasikan pembangkit listrik tenaga surya dengan kincir angin. Teknologi ini dinilai tepat jika diterapkan di daerah pesisir karena ketersediaan angin dan paparan sinar matahari melimpah.

Melihat besarnya manfaat yang dirasakan warga dusun, Pertamina pun berinisiatif menambah instalasi PLTH di 14 titik. Program pembangunan instalasi tersebut bernama Energi Mandiri Tenaga Surya Angin (E-Mas Bayu). 

“Dahulu saat malam kita hanya menggunakan klenting (lampu minyak—red).  Sekarang, Listrik bukan hanya untuk menyalakan lampu lagi. Warga bisa menonton televisi. Ibu-ibu bisa masak nasi pakai rice cooker,” ujar Mohamad Jamaludin, Ketua Tani Tambak Mandiri Dusun Bondan saat ditemui tim National Geographic Indonesia Rabu, (18/11/2020).

Aliran listrik PLTH ini juga menjadi penggerak ekonomi di Dusun Bondan, terutama dalam pengelolaan tambak. Sebelumnya, tambak dikelola secara tradisional sehingga hasil panennya tidak maksimal.

E-Mas Bayu mendorong kehadiran program energi mandiri tambak ikan (E-Mbak Mina). E-Mbak Mina mewujud dalam bentuk pengelolaan tambak dengan metode silvofishery—budidaya udang sekaligus mangrove dan aktivitas Kelompok Usaha Ibu Mandiri.

Hasil tambak yang tidak habis dijual dapat disimpan di freezer dan diolah menjadi produk yang lebih bernilai ekonomi. Misalnya saja, kerupuk udang, abon ikan, dan terasi.

Ekosistem darat yang berkelanjutan

Kisah mencapai tujuan-tujuan SDGs, terutama pada poin pelestarian ekosistem darat, juga diperoleh dari Kecamatan Sei Pakning, Riau. Di kecamatan tersebut lahan gambut tidak lagi identik dengan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), melainkan identik dengan kelimpahan hasil alam.

Sebagai informasi, rata-rata wilayah di Kecamatan Sei Pakning adalah lahan gambut yang pada musim kemarau rentan terbakar. Oleh sebab itu, warga kecamatan ini nyaris setiap tahun mengalami dampak dari Karhutla.

Kebun nanas menjadi penyekat bakar Karhutla. Nanas dipilih karena merupakan tanaman yang zero waste. (National Geographic Indonesia)

Pertamina tergerak untuk mengubah bara gambut di Sei Pakning menjadi berkah bagi warganya. Di Kecamatan yang bersisian dengan area kerja PT Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai Area Operasi Sei Pakning tersebut Pertamina menginisiasi program Kampung Gambut Berdikari.

Warga desa dididik untuk menjadi masyarakat peduli api (MPA). Pada 2017, program tersebut berkembang menjadi pemberdayaan masyarakat pasca-Karhutla.

Sebuah arboretum seluas 1 hektare dirintis di kecamatan tersebut. Arboretum menyimpan keanekaragaman hayati berupa tumbuh-tumbuhan khas lahan gambut, salah satunya tanaman langka kantong semar. Arboretum ini menjadi media rekreasi dan belajar. Selain itu, menjadi tanda bahwa dari lahan gambut tidak hanya persoalan api yang didapat.

Di Kecamatan Sei Pakning, tepatnya di Kampung Jawa, nanas dibudidayakan sebagai penyekat bakar Karhutla. Budidaya nanas menguntungkan bagi warga. Sebab, nanas memiliki nilai ekonomi mulai dari pucuk mahkotanya, kulit, hingga daging buahnya.

Sementara itu di Desa Pakning Asal, tanaman serai yang dibudidayakan untuk mengembalikan produktivitas lahan.

Sebuah unit kerja dibuat oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk membudidayakan serai wangi sebagai bahan pembuat produk penyanitasi tangan yang sangat dibutuhkan di masa pandemi Covid-19. Masyarakat berhasil kembali menggerakkan perekonomiannya dan turut berkontribusi dalam upaya penanggulangan Covid-19.

General Manager PT Pertamina RU II Dumai Didik Bahagia mengatakan, upaya-upaya tersebut dilakukan dengan menggandeng kelompok tani.

“Kami bekerja sama dengan kelompok tani untuk membuat arboretum,  menanam serai, dan nanas. Kami juga membuat materi ajar tentang lahan gambut yang dibagikan ke 27 sekolah binaan Pertamina melalui Program Cinta Gambut,” ujarnya.

Petani berjalan di antara pohon kopi di Cipaganti, Cisurupan, Kabupaten Garut. (SEPTIANJAR MUHARAM)

Upaya pelestarian ekosistem darat dengan menggandeng masyarakat tani juga dilakukan oleh warga di Desa Cipaganti, Garut. Di desa tersebut ada Yayasan Muka Geni—sebuah yayasan yang melestarikan populasi kukang—merintis merek “Kopi Kang!”.

Produk kopi khas Gunung Papandayan ini menjadi upaya penyelamatan hewan dilindungi tersebut dari tangan-tangan manusia yang kerap menangkap dan menjualnya di pasar satwa.

“Kukang akan terdistraksi saat mau masuk ke permukiman dengan adanya tanaman kopi. Mereka lebih tertarik memakan hama dari pohon-pohon kopi. Kukang juga membantu proses penyemaian biji. Jadi, ada simbiosis mutualisme antara kukang dengan warga Desa Cipaganti,” ujar Dendy Hartandi salah satu pengurus Yayasan Muka Geni saat ditemui National Geographic Indonesia, Kamis (19/11/2020).

Upaya Yayasan Muka Geni didukung oleh Pertamina. Melalui PT Pertamina (Persero) Fuel Terminal (FT) Bandung, pelatihan diberikan mulai dari proses penanaman bibit kopi hingga proses pengemasan produk dan pemasarannya.

Membantu masyarakat berdikari

Di wilayah Timur Indonesia upaya untuk menciptakan masyarakat yang berdikari dilakukan Pertamina. Dua di antaranya adalah mendukung kewirausahaan penyandang disabilitas yang bernaung dalam Yayasan Garuda Rinjani di Nusa Tenggara Barat dan Kobek Millenial di Papua.

Yayasan Garuda Rinjani menjadi tempat bernaung para penyandang disabilitas di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Yayasan ini memberdayakan masyarakat difabel dengan merangkul mereka untuk memproduksi alat-alat kebersihan, seperti sapu, kemoceng, dan kain pel. Total, ada 40 penyandang disabilitas yang tergabung dalam yayasan ini.

Sunardi, Ketua Yayasan Garuda Rinjani mengatakan, misinya menginisiasi yayasan tersebut adalah untuk membuktikan bahwa penyandang disabilitas berdaya dan berdikari.

“Sebagai warga minoritas, sulit untuk memenuhi kebutuhan harian untuk kesejahteraan. Di sisi lain, kami juga ingin mandiri dan tidak hanya bergantung pada bantuan pemerintah atau santunan lainnya,” ujar Sunardi.

Komunitas difabel Garuda Rinjani di Kota Mataram, Lombok ()

Pertamina membantu upaya Sunardi dengan mendukung workshop-workshop yang diberikan bagi anggota yayasan. Selain itu, menyediakan sarana dan prasarana berupa pondok untuk berkarya.

Saat ini Garuda Rinjani tak hanya jadi tempat mendulang rezeki bagi penyandang disabilitas, tetapi juga bagi warga di sekitar pondokan yang perekonomiannya terdampak pandemi Covid-19.

Sementara itu, Kobek Millenial menggerakkan masyarakat untuk mengubah sampah batok kelapa menjadi “emas”. 

Kobek Millenial dirintis oleh Mama Yane Maria Nari, seorang pengrajin yang karya-karyanya memanfaatkan sampah sisa konsumsi. Mama Yane memperoleh kesempatan untuk mengikuti pelatihan di Bantul, Yogyakarta.

Sekembalinya dari Yogyakarta, Mama Yane mendirikan rumah produksi Kobek Millenial Papua. Pertamina mendukung Mama Yane dengan memberikan mesin produksi.

“Pulang dari Yogya, Pertamina bangun rumah produksi dan datangkan mesin-mesin ini. Baru kita mulai duduk kerja-kerja. Anak-anak buka saja di Youtube. Oh, ini bikin begini-begini. Mereka tidak pergi belajar, Mama yang pergi belajar untuk dapat mesin. Mereka tinggal buka-buka saja di Youtube dan kerjakan barang-barang ini,” ujar Mama Yane.

Tempurung kelapa yang tidak berharga diubah menjadi kerajinan yang harganya berkisar antara Rp 25.000 hingga Rp 2 juta.

Upaya-upaya tersebut merupakan wujud energi untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan demi Indonesia yang unggul dan sejahtera.