Pala dan Cengkih, Rempah Nusantara yang Menjadi Primadona di Maluku

By Yussy Maulia, Minggu, 27 Desember 2020 | 10:44 WIB
(Shutterstock)

Tercatat dari jurnal Hubert Jacobs berjudul A Treatise on the Moluccas: Probably the Prellminary Version of Antonio Galvao’s Lost, dua orang pelaut bernama Carvalhinho dan Goncalo Gomes tiba di Tidore pada 8 November 1521.

Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh warga Tidore, sekaligus dijadikan tameng perlindungan dari tekanan Portugis. Secara otomatis, Spanyol ikut dalam pertempuran tersebut melawan musuh bangsa adikuasanya, Portugis.

Meski demikian, koalisi Tidore-Spanyol dan Ternate-Portugis tidak bertahan lama. Lambat laun, rakyat mulai menyadari tujuan awal dari orang-orang Eropa itu, yakni mengincar rempah-rempah mereka dengan cara memecah belah penduduk Maluku.

Rakyat Maluku mulai melakukan penyerangan balik. Pada 22 April 1529, kekusaan Spanyol dan Portugis benar-benar runtuh, ditandai dengan keduanya menyetujui Perjanjian Zaragoza.

Baca Juga: Menguak Alasan Migrasi Pelayaran Manusia ke Kepulauan Terpencil

Perjanjian tersebut mengakibatkan Spanyol harus angkat kaki dari Maluku, sementara Portugis kembali memonopoli perdagangan Maluku.

Jejak peninggalan koloni

Kedatangan peradaban barat telah mewariskan jejak pada arsitektur benteng sampai budaya dan bahasa. Bahasa dialek sehari-hari orang Ternate dipengaruhi oleh bahasa Portugis.

Orang Ternate menyebut topi dengan sebutan “capeo”, yang berasal dari kata “chapéu” dalam bahasa Portugis. Selain itu, untuk menyebut buah tomat, mereka menyebutnya “tamate”.

Portugis juga turut meninggalkan jejak kuliner. Beberapa teknik memasak ala Portugis diturunkan ke rakyat Ternate, diantaranya ikan yang dimasak dengan jeruk layaknya hidangan Portugis bernama petisie.

Baca Juga: Jejak Portugis di Kampung Tugu

Peninggalan lainnya adalah teknik pengawetan makanan dengan membuat acar​ atau diberi larutan cuka.​ Selain itu, gorengan renyah seperti pastel, panada, dan risoles pun disebut-sebut makanan yang diperkenalkan oleh bangsa Portugis.

Satu peninggalan lain yang cukup tertera dengan jelas adalah benteng-benteng pertahanan yang dibangun di tanah Maluku. Di pesisir selatan Ternate, terdapat benteng Fort São João Baptista yang diprakarsai Antonio de Brito pada 1522.

Benteng lain yang masih tersisa dan lestari di Ternate adalah Fort Tolluco yang dibangun Portugis pada 1606, remah Fort Santo Pedro atau Benteng Kota Janji yang dibangun pada 1530, dan Fort Oranje tinggalan Belanda sejak 1607.

Pembangunan bertahap yang mewujudkan barak, kapel, sekolah, permukiman, dan menara-menara ala kastel di Eropa menjadikan tempat ini sebagai jantung kota kolonial pertama di Indonesia.

Beringsut sedikit ke Pulau Tidore, pengaruh Spanyol mendominasi tempat ini. Salah satu peninggalannya adalah Fort Tore yang bersarang di bukit sebelah Kesultanan Tidore. Dalam bahasa Spanyol, torre berarti menara.

Sama seperti Ternate, Tidore juga memiliki sederet benteng pertahanan, seperti Fort Tahoela yang dibangun Spanyol pada 1610 dan Fort Roem yang dibangun Portugis pada 1605.

Jejak perburuan rempah-rempah bangsa Eropa hingga ke Nusantara telah menghasilkan sejarah yang cukup panjang, mulai dari kolonialisme hingga berkembangnya kartografi dunia.