Guido Quiko (46), warga keturunan Portugis, memainkan gitar kecil berdawai tiga di depan rumahnya di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Di antara semilir angin, debu beterbangan, dan suara bising truk peti kemas yang melintas, Guido menyanyikan lagu berjudul ”Gatu Du Matu”.
”Yao la teng unga gatu
Swa kabelu pretu pretu dretu
Yo su ulu nungku bergonya
Buska filu, filu burnit
Teng Unga gatu anda ronda
Yo uni unga ratu kaba
Korsangnu yo kere intra
Buska filu yo kere kaja”
(Saya melihat ada seekor kucing/Dengan bulu lebat yang hitam/Saya melihat kucing itu tanpa terhalang apa pun/Bagaikan pemuda, pemuda yang tampan sekali/Seekor kucing yang terlihat sedang berkeliling/Siap menangkap tikus yang mau menggali (masuk)/Dalam hati, saya ingin masuk/Pemuda ini, saya ingin nikahi).
Itulah sepenggal lirik ”Gatu Du Matu” atau Kucing Hitam. ”Selama puluhan tahun menyanyikan lagu-lagu Portugis, saya tidak tahu apa artinya. Setelah ada mahasiswa dari Universitas Indonesia datang meneliti bahasa Kreol Tugu, saya baru tahu arti lagu itu,” kata Guido.
Pemimpin kelompok musik Orkes Keroncong Cafrinho Tugu itu berdiri di hadapan belasan pelajar SMP yang mengikuti acara ”Pelatihan Dokumentasi Kebudayaan Tugu melalui Penulisan Populer”. Kegiatan diselenggarakan Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi FIB UI.
Guido menuturkan, keberadaan komunitas masyarakat Kampung Tugu tak lepas dari sejarah kota perdagangan di Malaka, Malaysia. Selama periode 1511-1641, Malaka berada di bawah kendali pasukan Portugis.!break!
Pada 1648, Belanda menguasai Malaka. Tentara Portugis yang berasal dari Goa, Bengal, Malabar, dan daerah-daerah jajahan lainnya dijadikan tawanan perang. Mereka lalu dibawa ke Batavia untuk dijadikan pekerja atau serdadu VOC.
Sejumlah pekerja yang sudah dibebaskan dari perbudakan (disebut Mardijkers) dipaksa memeluk agama Kristen Protestan. ”Kami diasingkan ke daerah tenggara Batavia yang waktu itu sangat terpencil dan jauh dari keramaian kota,” katanya.
Kampung Tugu berasal dari kata por-tugu-ese. Kampung Tugu yang dulunya berupa hutan lebat dan tempat bersarangnya nyamuk malaria, kini berubah menjadi kawasan bisnis yang sibuk.
Setiap hari truk melintas dari dan menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Kampung Tugu yang menyimpan sejarah seolah dikepung puluhan terminal truk peti kemas.
Kreol Tugu
Di Kampung Tugu, orang-orang keturunan Portugis (mestizo) hidup dan berkembang. Mereka mempertahankan bahasa Kreol Portugis atau Kreol Tugu yang banyak dipakai keturunan Portugis di Melaka. Setelah perang kemerdekaan Indonesia, masyarakat Tugu keturunan Portugis mulai tercerai-berai.
”Saya tidak tahu mereka pindah ke mana saja. Ada yang tetap tinggal di Jakarta, mungkin tinggal di daerah Kota, ada yang pindah ke Belanda,” kata Guido.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR