Sekarang, keluarga besar Kampung Tugu keturunan Portugis yang masih hidup merupakan generasi kedelapan. Lebih kurang saat ini ada 300 keluarga keturunan Portugis yang masih tinggal di Kampung Tugu.
Buku berjudul Keroncong Tugu yang diterbitkan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta (2000) mencatat, orang keturunan Portugis masih memakai nama-nama leluhur mereka, seperti Abraham, Andreas, Cornelis, Michiels, Salomons, Saymons, Quiko, dan Browne.
Di Kampung Tugu, kini masyarakat hidup membaur dengan warga lain yang berasal dari berbagai komunitas. Karena orang-orang lanjut usia yang bisa menggunakan bahasa Kreol Tugu sudah meninggal, sekarang tidak ada lagi generasi keturunan Portugis yang bisa menggunakan bahasa itu sehari-hari.!break!
Gereja Tugu
Peninggalan Portugis yang masih tersisa di Kampung Tugu adalah Gereja Tugu yang merupakan pemberian tuan tanah Belanda, Justinus van der Vinch, yang dibangun pada 1747. Vinch juga memberikan sebidang tanah untuk pemakaman.
Gereja Tugu (GPIB Tugu) yang ada sekarang adalah gereja ketiga. Gereja sebelumnya yang dari papan kayu dan bilik telah rusak. ”Gereja ketiga ini pernah nyaris musnah diamuk massa saat kami menjadi korban Gedoran Tugu,” kata Johan Sopaheluwakan, anggota Ikatan Keluarga Besar Tugu, Yayasan Calouste Gulbenkian (Fundação Calouste Gulbenkian).
Gedoran Tugu terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Saat itu, warga lokal menyita semua barang orang keturunan Portugis karena dianggap warga asing.
Gereja Tugu dibuat dengan jendela-jendela besar khas arsitektur Eropa. Di bagian depan bangunan ada teras dengan empat tiang penyangga yang dikelilingi pagar kayu berwarna coklat. Atap Gereja Tugu dibuat meruncing ke atas sebagai simbol surga di atas langit. Gereja Tugu dibuat menghadap Sungai Cakung yang dulu jadi jalur transportasi utama warga lokal.
Selain bangunan gereja yang merupakan peninggalan sejarah, benda-benda yang ada di dalamnya juga memiliki nilai historis tinggi. Salib dan mimbar pendeta, misalnya, terbuat dari kayu yang sudah ada sejak Gereja Tugu berdiri.
Di kanan dan kiri mimbar terdapat kursi kayu berwarna coklat untuk tempat duduk anggota majelis gereja dan kelompok paduan suara. Di depan gereja ada lonceng (slavenbel) yang masih berfungsi.
”Slaff berarti ’budak’, bel berarti ’lonceng’. Slavenbel dulu dipakai untuk memberi tanda kepada para pekerja Portugis kapan harus berkumpul untuk makan, berdoa, dan lainnya,” tutur ahli bahasa dan sejarah Belanda UI, Lilie Suratminto.!break!
Keroncong
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR