Reis, Adab Orang-orang Manggarai Barat dalam Menyambut Tetamu

By National Geographic Indonesia, Selasa, 5 Januari 2021 | 21:36 WIB
Suasana kebersamaan keluarga di Manggarai Barat dalam sebuah perbincangan adat pernikahan. (Yus Juliadi)

Sebagaimana Callum, setiap orang yang baru pertama kali datang ke Manggarai dan bertamu ke rumah warga Manggarai mungkin juga akan mengalami kebingungan yang sama bila tak dapat mendapatkan penjelasan sebelumnya.

Dalam keseharian kami orang Manggarai, setiap tamu (meka) yang datang berkunjung ke rumah akan disambut dengan penuh keramahan dan suka cita. Setelah tamu dipersilakan masuk ke dalam rumah dan telah duduk sempurna, sang tuan rumah (ata ngara sekang) akan menyalami setiap tamu. Setelah salaman, sang tuan rumah akan melakukan reis, menyapa sang tamu dalam Bahasa Manggarai,

ngger ce’e rong go ite?”

“mai ce’e rong go ite?

asa, hitu kin bao?”

“mai ce’e bao?”, dan beberapa lagi yang lainnya.

Beberapa kalimat yang lain mengalami perbedaan dialek untuk beberapa wilayah di tiga Kabupaten di Manggarai; Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Manggarai Timur.  Namun secara leksikal, kalimat-kalimat reis dalam Bahasa Manggarai seperti beberapa contoh di atas bisa diterjemahkan sebagai, “Anda datang?” atau “Baru saja tiba?”.

Konstruksi kalimatnya berupa kalimat tanya. Namun ia bermaksud lebih dari sekedar bertanya. Ia juga bermakna sebagai ucapan selamat datang yang menyiratkan bahwa sang tuan rumah menyambut sang tamu dengan penuh kegembiraan dan hati yang terbuka. Sehingga mengapa, dalam melakukan reis, sang tuan rumah mengucapkannya dengan penuh kelemah-lembutan, keramah-tamahan dengan memakai tutur kata yang halus dan sopan.

Bapak Yosep, sesepuh adat di Kampung Melo-Manggarai Barat Flores, ketika menerima kunjungan tamu dari Jakarta, sesaat setelah prosesi reis dilakukan. (Muhamad Buharto)

Setelah tuan rumah melakukan reis, sang tamu akan menjawab (wale), “io…”, juga sebisa mungkin dengan penuh kelembutan dan wajah penuh senyuman. Setelah reis dari tuan rumah dan wale dari tamu, barulah Kopi bisa disuguhkan dan obrolan atau urusan lainnya bisa dilakukan.

Almarhum Pater Flori Laot OFM, salah satu Imam Katolik yang secara serius menggali nilai-nilai kearifan dalam budaya Manggarai, sebagaimana dikutip oleh Dr Fransiskus Borgias MA, menjelaskan bahwa sesungguhnya dalam kalimat reis terungkap keinginan manusia Manggarai untuk membangun relasi dan komunikasi. Ketika seorang tuan rumah melakukan reis kepada tamunya dan sang tamu melakukan wale (menjawab), maka di sana secara otomatis terbangun sebuah relasi yang cair dan hangat. Bahwa sang tamu yang datang bertandang sudah diterima di rumah itu bahkan diterima dalam hati sang tuan rumah.

Dari reis ini, relasi antara tamu (meka) dan tuan rumah (ngara sekang) kemudian diniscayakan berkembang lebih jauh dan intim. Dalam bahasa Pater Flori, relasi selanjutnya disebut ruis, raes, dan raos.