Reis, Adab Orang-orang Manggarai Barat dalam Menyambut Tetamu

By National Geographic Indonesia, Selasa, 5 Januari 2021 | 21:36 WIB
Suasana kebersamaan keluarga di Manggarai Barat dalam sebuah perbincangan adat pernikahan. (Yus Juliadi)

Warga Kampung Naga-Manggarai Barat berbincang santai bersama tamu dari Australia di halaman rumah salah satu warga. (Muhamad Buharto )

Ruis artinya dekat. Suasana yang cair dan hangat karena reis, memungkinkan tamu dan tuan rumah merasa dekat dan akrab. Sang tamu yang awalnya adalah orang asing (stranger), menjadi orang yang dekat, sahabat, dan keluarga. Bila relasi ruis ini sudah terbangun, maka yang muncul selanjutnya adalah keinginan untuk raes, menemani dan menyertai (to accompany).

Tuan rumah dan sang tamu akan ingin saling menemani karena sudah merasa dekat dan akrab. Perasaan dekat dan akrab menciptakan suasana aman dan nyaman (feeling secure). Perasaan aman memungkinkan tuan rumah dan sang tamu sama-sama secara sukarela untuk terus raes.

Selanjutnya, kerelaan untuk terus raes karena sudah merasa dekat dan aman memampukan terjadinya raos, yang artinya keramaian karena keramah-tamahan. Tuan rumah dan tamu pada akhirnya sama-sama saling berbagi keramahan dan menghadirkan tawa lima gantang reges lima leke, yaitu perasaan suka cita yang ramai dan riuh dalam suasana yang akrab, dekat, dan akrab.

Masih Pater Flori, pada tingkat relasi personal, suasana raos ini akan bermuara pada rao, yang artinya memeluk erat sebagai tanda cinta, keakraban, dan perasaan saling berbagi menjadi satu tubuh; persatuan dan kesatuan.  

Sehingga pada konteks lebih luas, reis adalah kearifan lokal Manggarai yang memberikan kontribusi pada terawatnya relasi yang harmoni antar individu dalam komunitas sosial, antar individu, antar manusia. Dari reis kemudian ruis, lalu menjadi raes, lalu terjadinya raos hingga terciptanya rao. Reis, ruis, raes, raos, dan rao.

Baca Juga: Tiga Unsur Pembentuk Kampung Adat di Wilayah Wolotolo-Ende Lio

Catherine Allerton, dosen Antropologi di  London School of Economics Inggris, menulis dalam salah satu halaman dalam bukunya tentang Manggarai (Potent Landscapes, Peace and Mobility in Eastern Indonesia),

“Indeed, these phrases are one of the very everyday ways in which a house is marked as a humble but hospitable place”.

Bahwa reis dan beberapa frase serta kalimat lainnya yang diucapkan oleh tuan rumah kepada tamunya sesaat setelah menyambut dan bersalaman dengan tamu juga menunjukkan relasi yang dekat antara pemilik rumah dengan rumah sebagai tempat tinggalnya.

Dalam keseluruhan rangkaian prosesi penerimaan dan penyambutan tamu, selain mengucapkan kalimat reis, sang tuan rumah juga biasanya akan mengucapkan frase neka rabo (secara leksikal berarti jangan marah), ucapan permohonan maaf kepada tamu atas keadaan rumah yang sederhana atau atas penyambutan yang jauh dari sempurna.

Menariknya, walaupun rumah tergolong mewah, penyambutan sudah sempurna, dan makanan yang disuguhkan lezat-lezat, sang tuan rumah akan tetap mengucapkan neka rabo.

“Neka rabo, ho’o pe bentuk na sekang riang ho’o” (mohon maaf, inilah bentuk dari gubuk kami)

“Neka rabo, hitu ge si ca manga” (mohon maaf, hanya itu yang ada), dan beberapa ucapan lainnya.

Dari kontruksi kalimat dalam reis dan frase neka rabo atau frase serta kalimat lainnya yang diucapkan tuan rumah kepada tamunya dan cara bagaimana itu diucapkan sebenarnya menunjukkan karakter orang Manggarai yang sesungguhnya; orang-orang yang ramah, terbuka, bersahabat, bersahaja, dan rendah hati.

Pun sesaat sebelum tuan rumah melakukan reis, ketika sang tamu masih berada di pintu rumah dan hendak masuk, tuan rumah sudah siap menyambutnya dengan menunjukkan imus isung tawa ranga (hidung tersenyum, wajah tertawa).

Sebuah ungkapan tentang kami orang-orang yang tinggal di Indonesia Timur berkata, “wajah orang Timur memang terlihat sangar-sangar, namun sesungguhnya hati mereka "Hello Kitty”.

Baca Juga: Asal Muasal Misterius Landmark Warna-Warni DI Kota Moskow Rusia 

UNTOLD FLORES merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya memuliakan nilai-nilai kampung halaman. Perjalanan ini merupakan bagian penugasan National Geographic Indonesia, yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.