Kecamuk Perang Jawa: Suratan Tragis Sang Pangeran yang Kesepian di Zaman Edan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 17 Januari 2021 | 18:55 WIB
Salah satu dari 14 pasukan gerak cepat Hindia Belanda Timur yang melintasi persawahan kala Perang Jawa. Litografi berdasar sketsa karya mayor-ajudan dan anak menantu De Kock, F.V.H. Antoine ridder de Stuers. (Koninklijk Inst ituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV))

Kali pertama, menurut Carey, pemberontakan pecah di salah satu keraton Jawa Tengah bagian selatan, yang hakikat perkaranya disebabkan oleh problem sosial dan ekonomi ketimbang ambisi berkuasanya suatu wangsa.

Sejak penjarahan akbar di Keraton Yogyakarta oleh Inggris pada Juni 1812, kerajaan itu sebenarnya mulai bernaung dalam masa kolonial baru di Tanah Jawa. Dalam keadaan bangkrut, Belanda akhirnya kembali menguasai Jawa pada pertengahan 1816. Gelombang liberalisme masuk ke Jawa lewat persewaan tanah. Gaya hidup Eropa mulai memasuki Keraton Yogyakarta. Minuman keras, permainan asmara, hingga perselingkuhan antara orang Belanda dan para putri keraton kian marak. Belanda membuat Keraton mirip tempat pelacuran. Pun, hal yang membuat jengkel Dipanagara, seorang asisten residen—yang dikenal buaya darat—ternyata menjadikan istri tak resmi pangeran itu sebagai gundiknya selama berbulan-bulan. 

Belanda juga mengintervensi urusan domestik Keraton. Hubungan antara Dipanagara dan Belanda-Keraton kian tidak harmonis sejak keponakannya yang berusia dua tahun naik takhta menjadi Sultan Kelima pada 1822. Dilema penguasa Jawa, kedekatan dengan Belanda akan menguatkan kedudukannya, namun bakal menyulut perseteruan antarsaudara.

Belanda memperluas penerimaan pajak tak langsung yang dipungut oleh orang-orang Cina. Rakyat kian memikul derita tak terperi karena pajak rumah, pajak ternak, pajak panen, dan pajak gerbang tol. Kebencian terhadap orang Cina dan Belanda pun membuncah. Semua fenomena ini adalah akar dari Perang Jawa.

Baca Juga: Kegelisahan Pecinan Semarang Ketika Menghadapi Geger Dipanagara

Lukisan potret Luitenant-generaal F.D. Cochius karya Augustin Demoussy, sekitar 1850. Dia adalah pemrakarsa benteng-medan dan strategi stelsel benteng sepanjang Perang Jawa. (KITLV)

Perang Jawa pecah pada Rabu, 20 Juli 1825. Awal perang panjang dan melelahkan ini ditandai penyerbuan dan pembakaran kediaman Dipanagara di Tegalrejo oleh pasukan gabung­an Belanda-Keraton. Salah satu pemicunya, rencana pelebaran jalan yang memangkas pagar timur kediaman Sang Pangeran. Seorang serdadu Belanda berkisah, Sang Pangeran lolos dengan mengendarai kudanya.

Namun, sebuah stempel tertinggal di kediaman Dipanagara, bersama sejumlah uang. Stempel itu beraksara Jawa atas nama dirinya “Bendara Pangeran Arya Dipanagara”. Stempel yang siap digunakan itu tampaknya mengindikasikan bahwa Perang Jawa sudah disiagakan sejak lama. Lalu, Dipanagara membuat stempel baru beraksara pegon, “Ingkang jumeneng Kangjeng Sultan Ngabdul Khamid Erucakra Kabirul Mukminin Sayidin Panatagama Rasullahi s.a.w. ing Tanah Jawi”—“Dia yang dinobatkan menjadi Yang Mulia Sultan Ngabdulkamid Ratu Adil, Perdana di antara Kaum Beriman, Pemimpin Iman, Penata Agama, Nabi Allah, semoga damai bagi-Nya di Jawa.” Gelar “Ratu Adil” inilah yang menebarkan pesona dan harapan bagi rakyat dan petani.

“Perang Jawa itu sudah disiapkan selama 12 tahun,” ujar Saleh As’ad Djamhari. “Itu jihad perang suci. Cita-citanya membangun negara Islam atau balad Islam yang berdasarkan Quran. Itu kata Dipanagara sendiri dalam babad.”

Saleh merupakan sejarawan militer, purna­wirawan, dan pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Dia pernah mengkaji Stelsel Benteng dalam pemberontak­an Dipanagara. Buyut dari kakek buyutnya merupakan seorang pengikut Dipanagara yang seusai perang mela­rikan diri ke Malang, Jawa Timur.

Sejak Mei 1827, Belanda menerapkan siasat terbaru dalam sejarah pertempuranya: Pembangunan benteng medan-tempur darurat untuk menjepit gerak Dipanagara. Benteng memakai sumber daya setempat yang melimpah, seperti pohon kelapa dan bambu. Bersifat dinamis, mengikuti gerak pengepungan. Selama 1825-1829 (Saleh Djamhari/ Mahandis Yoanata Thamrin/ National Geographic Indonesia)

Laga Pemungkas Laskar Dipanagaran. Pergerakan cepat laskar Dipanagara dengan kekuatan sekitar 800 orang di Tanah Mataram selama Agustus 1829. Tujuh pasukan gerak cepat Belanda melakukan pengejaran tiada henti. Setidaknya terjadi 12 kali pertempuran di Yogyakarta dalam bulan itu. Kadang Dipanagara dan laskarnya melakukan manuver hingga sekitar 65 kilometer, tanpa makanan selain buah-buahan dan umbi-umbian. Pertempuran terakhir—dan salah satu yang paling berdarah—pecah di Desa Siluk (Sielo), sisi barat perbukitan Selarong, pada 17 September 1829. Sejak kekalahan dalam pertempuran itu, Dipanagara tak pernah lagi menginjakkan kakinya di Tanah Mataram. (Mahandis Yoanata Thamrin/ National Geographic Indonesia)