Kecamuk Perang Jawa: Suratan Tragis Sang Pangeran yang Kesepian di Zaman Edan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 17 Januari 2021 | 18:55 WIB
Salah satu dari 14 pasukan gerak cepat Hindia Belanda Timur yang melintasi persawahan kala Perang Jawa. Litografi berdasar sketsa karya mayor-ajudan dan anak menantu De Kock, F.V.H. Antoine ridder de Stuers. (Koninklijk Inst ituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV))

Akhir Juli 1825, Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock menjadi panglima tertinggi Nederlandsch-Oost-Indische Leger (Tentara Hindia Belanda Timur). Lelaki itu berusia 46 tahun, asal Heusden, Belanda. Istrinya, Luise Fredericke W.G. Baroness von Bilfinger tinggal di Batavia, menyusul ke Magelang dan wafat karena disentri pada November 1828. !break!

Perang Jawa memaksa Belanda melakukan gencatan senjata dalam Perang Padri—yang meletus pada 1821—di Sumatra Barat. Menurut Saleh, De Kock tak hanya memanggil pasukan yang sedang memerangi Padri di Sumatra Barat, tetapi juga berbagai pasukan di Sulawesi, Kalimantan, Palembang, dan Bangka. Kelak, Selepas Perang Jawa, Belanda kembali dalam Perang Padri ronde kedua hingga 1837.

“Tentaranya bukan orang Belanda asli,” ujar Saleh. Pasukan tentara reguler—infanteri, kavaleri, artileri, dan pionir—terdiri atas orang Eropa dan pribumi. Diperkuat Hulptroepen yang merupakan kesatuan tentara pribumi dari Legiun Mangkunagara, barisan Mangkudiningrat, barisan Natapraja, Sumenep, Madura, Pamekasan, Bali, Manado, Gorontalo, Buton, dan Kepulauan Maluku. Kemudian, Jayeng Sekar, polisi berkuda yang direkrut dari setiap karesidenan. Lainnya: spion, petugas rohani Islam, kuli, pelayan, koki, dan tukang cuci.

Lukisan bertajuk "Vue de Magellang" karya François Vincent Henri Antoine de Stuers sekitar 1825-1830. Pemandangan Magelang dengan Sungai Progo dan Gunung Soembing. (KITLV)

Berbagai operasi militer tidak memberikan kemajuan bagi Belanda, karenanya De Kock mengambil strategi baru. Sejak Mei 1827, Stelsel Benteng diterapkan yang diperkuat pasukan ge­rak cepat. Arsiteknya adalah Kolonel Frans David Cochius, perwira zeni se­nior. Usai Perang Jawa, namanya diabadikan sebagai benteng bersegi delapan di Gombong, Jawa Tengah. Seperti apa purwarupa Stelsel Benteng?

“Benteng yang dimaksud adalah benteng medan,” ujar Saleh, “Bukan fort.” Pertahanan itu cukup ekonomis karena menggunakan sumber daya setempat. Sebuah bangunan persegi dan berpagar batang pohon kelapa setinggi 2,5 meter. Dua sudutnya dibangun bantalan tempat meriam. Hanya gudang mesiu yang dibangun berbatu bata. Sifatnya darurat, benteng-benteng itu bisa ditinggalkan kapan saja, mengikuti gerak pengepungan. “Benteng tidak terpaku dalam satu wilayah statis, tetapi dinamis.”

Selain biayanya besar, Benteng Stelsel membuat durasi perang kian lama, lantaran para penghuni benteng itu bukan hanya tentara. Para serdadu pribumi membawa anak-istri­nya yang melambatkan laju militer Hindia Belanda.

Perang ini juga telah membuktikan ketang­guhan orang Jawa dalam bertahan hidup. Saleh mengatakan, santapan mereka adalah jadah (penganan dari ketan), umbi-umbian, labu-labuan, buah, dan ikan asin. “Belanda mencegah pembuatan garam,” ujar Saleh. “Coba saja Anda sehari tidak pakai garam. Lemas dan kram!”

Jadah juga menjadi menu serdadu Hindia Belanda Timur, ujarnya, selain ternak warga. Para serdadu juga wajib menanam umbi-umbian di desa taklukan. Sumber lain menyebutkan, mereka menyantap roti, sup, sagu, nasi, sambal, juga merpati yang mudah ditemui di Jawa. Pelepas hausnya: kopi, teh, dan anggur merah.

Manuver De Kock untuk menjepit Dipanagara di hutan Kulonprogo, justru membuat Pangeran dapat menghimpun kekuatannya kembali. Kawasan itu ternyata memberikan pasokan pangan yang melimpah dan rakyat yang loyal. “Rakyat sebelah barat Bogowonto itu sudah berpihak kepada Dipanagara,” ujar Saleh. “Bagi mereka, Sultan adalah Dipanagara.”

Sang Pangeran mendeklarasikan diri sebagai “Sultan Ngabdulkamid Erucakra Sayidin Panatagama Khalifat Rasulullah” pada Agustus 1825. Sejak saat itu dia memilih disapa dengan Ngabdulkamid. Dia menyerukan untuk membinasakan orang Belanda dan Cina di Tanah Jawa, jika mereka tidak bersedia menganut Islam. Dia selalu melihat bahwa orang Cina merupakan sumber penindasan perekonomian Jawa, dan pendapat ini berlaku sampai akhir perang. Pembantaian warga pecinan yang dilakukan laskar­nya bukan hal garib pada awal perang.

Politik segregasi menjadi karakter Perang Jawa. Salah satu pembantaian sadis dilakukan oleh Raden Ayu Yudakusuma, anak perempuan dari Sultan Kedua. Dia merupakan komandan pembantaian warga Cina—termasuk perempuan dan anak-anak—di Ngawi pada September 1826. Akhir tahun berikutnya, Raden Tumenggung Aria Sasradilaga, ipar Dipanagara, membantai warga pecinan di Lasem dan menjamahi perempuan Cina secara paksa—pemerkosaan.