Selidik Kampong Cina Ternate, Kampung Tua di Jantung Kepulauan Rempah

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 12 Februari 2021 | 13:35 WIB
Pemandangan Pulau Ternate dengan Gunung Gamalama, Maluku Utara. Fort Oranje di Ternate pernah menajdi kantor pejabat tertinggi VOC, bahkan sebelum Jan Pieterzoon Coen mendirikan Kota Batavia di Sunda Kelapa. Andai saja VOC tidak mendapat kapling tanah di Sunda Kelapa, wajah Ternate mungkin akan sehiruk-pikuk Jakarta sekarang. (M. Reza)

Baca Juga: Sumbangan Sains dari Pelukis-pelukis Cina pada Zaman Kompeni

Sebelum kedatangan orang-orang Eropa, Ternate merupakan pelabuhan bebas dalam perdagangan rempah, demikian menurut Maulana. Orang-orang Cina diberikan kepercayaan sebagai syahbandar (kepala pelabuhan) oleh Sultan Ternate.

Namun, setelah datangnya VOC, orang-orang Cina dibatasi dalam perdagangan rempah. bahkan, kongsi dagang itu menempatkan mereka dalam satu kampong atau kompleks perumahan.

“Sampai saat ini, warga Cina peranakan masih berperan dalam perdagangan cengkih dan pala di Ternate,” kata Maulana, “meski tidak menjadi unggulan sebagaimana di masa lalu.”

Kampong Cina di Ternate memiliki keunikan karena di dalamnya terdapat Kampong Arab dan Kampong Palembang, serta tidak jauh dari Kampong Makassar. Perjalanan menyusuri lorong-lorong kampung tua ini menjadi menarik karena kita tidak hanya melihat pecinan dan berbagai peninggalannya, tetapi kita juga akan menyaksikan bagaimana komunitas antaretnis dan antaragama dapat hidup bertetangga dengan rukun dan saling menguatkan.

Klenteng Thian Ho Kiong menajdi salah satu tengara arsitektur di Kampong Cina Ternate. Di kampung ini jabatan Kapita Cina masih lestari di bawah naungan Sultan Ternate. (Maulana Ibrahim/Ternate Heritage Society)

Baca Juga: Melodrama Para Pionir Penjelajah Samudra di Kepulauan Rempah

Maulana menambahkan bahwa sebutan “Ko” dan “Ci” pun sangat akrab digunakan, bukan hanya dalam komunitas Cina, tetapi juga oleh semua warga Ternate—meskipun bukan keturunan Cina.

Salah satu tengara di Kampong Cina adalah Klenteng Thian Ho Kiong. Kendati dalam catatan sejarah klenteng ini baru disebut pada abad ke-17, barangkali keberadaan klenteng sudah ada sebelumnya. Maulana mengatakan bahwa ruang utamanya sebagai tempat altar pemujaan Dewa Bumi, Dewi Laut, dan Dewa Perang Kuan Kong. Sementara ruangan belakang untuk Nabi Konghucu dan Dewi Kuan Im. Setiap perayaan Imlek, klenteng ini tampak semarak merona berhias lampion-lampion merah.

“Melalui tinggalan arsitektur, toponimi kampung dan tradisinya,” kata Maulana, “kita juga belajar bagaimana kehidupan saling membantu, toleransi dan menghargai antaragama di pusat kota Ternate.” Setidaknya, pengakuan kebinekaan ini masih berlanjut hingga kini dengan lestarinya perangkat adat: Kapita Cina, Kapita Arab, dan Kapita Makassar.

Klik di sini untuk pendaftaran Avontur Daring Merapah Rempah: Ron Kampung Cina Ternate dan Sekitarnya