Nationalgeographic.co.id—Jauh sebelum orang-orang Eropa menjelajahi Bumi demi sebutir cengkih, orang-orang Cina telah sampai di jantung kepulauan rempah. Sekitar abad ketiga Sebelum Masehi, orang-orang Cina dari Dinasti Han telah menggunakan cengkih. Mereka mengunyah cengkih untuk menhilangkan bau napas, terutama saat menghadap kaisar.
Pastilah cengkih itu berasal dari pulau-pulau gunung api di Kepulauan Maluku. Saat itu Tuhan hanya menumbuhkan cengkih di gugusan lima pulau di Bumi—kita mengenalnya sebagai Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan.
Pedagang Cina menjadi perintis perdagangan cengkih di kepulauan ini. Setidaknya, orang-orang Cina telah menengarai pulau-pulau penghasil cengkih itu dengan “Mi-li-Ku”. Artinya, “negeri asal tanaman rempah”. Bahkan, orang-orng Portugis yang datang berabad-abad setelahnya menjumpai toponimi “Batu Cina de Moro”. Artinya, “kepulauan milik orang-orang Cina”.
Pulau Gapi adalah nama otentik untuk pulau ini. Entah sejak kapan sebutan Pulau Gapi berubah menjadi Pulau Ternate.
Sampul National Geographic Indonesia Edisi Khusus Jalur Rempah yang terbit Januari silam, menampilkan bagian peta Cosmographia goresan kartografer Sebastian Münster, yang terbit pada 1550. Peta itu sudah menyebutkan toponimi “Taranate”—meski lokasinya agak mengawur. Münster mendapat rujukan dari peta Ptolomeus, catatan Marco Polo, dan kabar tersegar dari orang-orang Portugal yang menjelajahi Maluku pada awal abad ke-16. Barangkali, orang-orang Portugal-lah yang harus bertanggung jawab soal penggantian toponimi tanpa kenduri ini.
Maulana Ibrahim, dosen arsitektur di Universitas Khairun dan pendiri Ternate Heritage Society, mengungkapkan asal-usul toponimi Ternate dalam esainya bertajuk “Merawat Ingatan, Menjaga Pusaka” di National Geographic Indonesia Edisi Khusus Jalur Rempah.
Dia mengungkapkan bahwa perintah tara no ate—asal sebutan Ternate—berarti “turun dan perbaiki”. Perintah ini menyebabkan pindahnya ibu kota kerajaan dari Foramadiahi ke Sampalo, area pesisir. “Perintah tara no ate menjadi bukiti bagaimana Kerajaan Ternate begitu terbuka kepada pendatang dan pedagang asing,” ungkapnya. “Semua itu bertujuan untuk menata kehidupan agar jadi baik.”
Kesultanan Ternate menunjukkan sikap sebagai tuan rumah yang baik atas berbagai komunitas etnis yang hadir sejak ratusan tahun, sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Beberapa tahun silam, Maulana dan National Geographic Indonesia menjelajahi permakaman Eropa yang terabaikan di Bentengbatu. Lewat toponimi lawasnya, dia menduga, dahulu di kawasan permakaman ini terdapat benteng. Biasanya, permakaman Eropa memang tak jauh dari benteng. “Makam Belanda ini berbatasan dengan makam Cina,” ujarnya. “Makam Cina berbatasan dengan makam Muslim.”
Baca Juga: Sumbangan Sains dari Pelukis-pelukis Cina pada Zaman Kompeni
Sebelum kedatangan orang-orang Eropa, Ternate merupakan pelabuhan bebas dalam perdagangan rempah, demikian menurut Maulana. Orang-orang Cina diberikan kepercayaan sebagai syahbandar (kepala pelabuhan) oleh Sultan Ternate.
Namun, setelah datangnya VOC, orang-orang Cina dibatasi dalam perdagangan rempah. bahkan, kongsi dagang itu menempatkan mereka dalam satu kampong atau kompleks perumahan.
“Sampai saat ini, warga Cina peranakan masih berperan dalam perdagangan cengkih dan pala di Ternate,” kata Maulana, “meski tidak menjadi unggulan sebagaimana di masa lalu.”
Kampong Cina di Ternate memiliki keunikan karena di dalamnya terdapat Kampong Arab dan Kampong Palembang, serta tidak jauh dari Kampong Makassar. Perjalanan menyusuri lorong-lorong kampung tua ini menjadi menarik karena kita tidak hanya melihat pecinan dan berbagai peninggalannya, tetapi kita juga akan menyaksikan bagaimana komunitas antaretnis dan antaragama dapat hidup bertetangga dengan rukun dan saling menguatkan.
Baca Juga: Melodrama Para Pionir Penjelajah Samudra di Kepulauan Rempah
Maulana menambahkan bahwa sebutan “Ko” dan “Ci” pun sangat akrab digunakan, bukan hanya dalam komunitas Cina, tetapi juga oleh semua warga Ternate—meskipun bukan keturunan Cina.
Salah satu tengara di Kampong Cina adalah Klenteng Thian Ho Kiong. Kendati dalam catatan sejarah klenteng ini baru disebut pada abad ke-17, barangkali keberadaan klenteng sudah ada sebelumnya. Maulana mengatakan bahwa ruang utamanya sebagai tempat altar pemujaan Dewa Bumi, Dewi Laut, dan Dewa Perang Kuan Kong. Sementara ruangan belakang untuk Nabi Konghucu dan Dewi Kuan Im. Setiap perayaan Imlek, klenteng ini tampak semarak merona berhias lampion-lampion merah.
“Melalui tinggalan arsitektur, toponimi kampung dan tradisinya,” kata Maulana, “kita juga belajar bagaimana kehidupan saling membantu, toleransi dan menghargai antaragama di pusat kota Ternate.” Setidaknya, pengakuan kebinekaan ini masih berlanjut hingga kini dengan lestarinya perangkat adat: Kapita Cina, Kapita Arab, dan Kapita Makassar.