Di Balik Mausoleum Cinta untuk Sang Filantrop Tionghoa di Batavia

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 15 Februari 2021 | 02:01 WIB
Patung malaikat di Mausoleum Familie O.G. Khouw, yang diimpor dari Italia. Pembangunannya memakan biaya hingga 500.000 gulden—setara Rp3,5 miliar. Monumen makam ini diresmikan pada 1931. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Di tengah gelumat Metropolitan Jakarta, sebuah bangunan makam berkubah tampak menjulang megah. Inilah mausoleum termegah di negeri ini. Siapa yang dimakamkan di sana? Mengapa persemayaman akhirnya begitu glamor?

Surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie menerbitkan serangkaian berita pemakaman seorang Tionghoa kaya di Batavia. Surat kabar berbahasa Belanda itu melukiskan iring-iringan pemakaman Khouw Oen Giok atau lebih dikenal sebagai O.G Khouw.

“Nama O.G. Khouw ini memang tidak begitu dikenal pada masa sekarang ini,” ujar Michael Hadi yang dihubungi National Geographic Indonesia di kediamannya di Bojong Indah, Jakarta Barat. Beberapa tahun belakangan, dia meneliti seluk beluk tentang keluarga Khouw.

“Mengapa saya tertarik pada mausoleum ini? Ternyata mausoleum ini ada hubungan juga dengan keluarga saya.”

Pada awal abad ke-20 sosok O.G. Khouw begitu terpandang. Dia merupakan anak dari Liutenant Titulair Cina Khouw Tjeng Kee (1832 -1883), yang memiliki tanah-tanah partikelir di Tambun, Bekasi. Sampai hari ini kediaman sang letnan itu masih menjadi tengara di dekat Stasiun Tambun.

O.G. Khouw tidak menjabat sebagai opsir Cina layaknya sang ayah. Namun, ketiga saudaranya meneruskan tradisi itu. Khouw Oen Djioe menjabat Luitenant der Chinezen di Parung, Khouw Oen Tek menjabat Luitenant di Buitenzorg, dan Khouw Oen Hoey menjabat Luitenant di Batavia.

Kapal uap SS Prins der Nederlanden pada 1914. Kapal ini milik N.V. Stoomvaart Maatschappij Nederland. Abu jenazah O.G. Khouw dikirim menggunakan ini ke Batavia. (Stoomvaart Maatschappij Nederland)

Michael mengungkapkan bahwa Khouw Oen Giok bersama istri dan dua anak perempuan mereka tinggal di sebuah rumah di Museumplaats 12, Amsterdam, Belanda. Dia lahir di Batavia pada 13 Maret 1874. Wafat sebagai warga negara Belanda di Ragaz, Swiss, pada 1 Juni 1927. Usianya, 53 tahun.

“Beliau dikremasi di Belanda, lalu abu jenazah dibawa pulang ke Batavia menggunakan kapal laut SS Prins Der Nederlander,” ujar Michael.

Abu jenazah Khouw tiba di Batavia pada 4 September 1927, kemudian disemayamkan di ruang altar rumah keluarganya di Molenvliet selama 14 hari. Upacara pemakamannya begitu sensasional, yang digelar pada 19 September 1927. Prosesi bermula pada pukul delapan pagi dari sebuah rumah keluarga berarsitektur Tiongkok di Molenvliet West 211. Di rumah berhalaman luas itulah Khouw tumbuh sedari kanak-kanak.

Iringan resimen musik mendampingi mobil yang membawa abu jenazah Khouw menuju Laanhof, sebutan untuk permakaman di Petamburan. Di sepanjang jalan, warga Tionghoa, warga Eropa, dan warga sekitar berdiri di tepian jalan untuk memberi penghormatan. Sementara itu sekitar dua gerbong karangan bunga berada di pekarangan rumah dan permakaman.

Kediaman keluarga Khouw Oen Kiam di Molenvliet West 211. Abu jenazah O.K.Khouw disemayamkan di rumah ini pada 4 September sampai pemakamannya pada 19 September 1927. Rumah ini pernah disewakan kepada Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok. Kini, bangunan itu sudah dibongkar dan menjelma Gajah Mada City Walk. (KITLV)