Di Balik Mausoleum Cinta untuk Sang Filantrop Tionghoa di Batavia

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 15 Februari 2021 | 02:01 WIB
Patung malaikat di Mausoleum Familie O.G. Khouw, yang diimpor dari Italia. Pembangunannya memakan biaya hingga 500.000 gulden—setara Rp3,5 miliar. Monumen makam ini diresmikan pada 1931. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

“Dia adalah seorang saudara sepupu daripada Mayor Khouw Kim An,” kata Michael. Sang mayor Cina terakhir di Batavia itu yang wafat di kamp interniran Jepang di Cimahi, Jawa Barat. “Kalau kita mendengar gedung Candranaya yang berada di Jalan Gajah Mada 188 itu adalah salah satu peninggalan pada Mayor Khouw Kim An.”

Michael menambahkan bahwa rumah keluarga yang menjadi tempat persemayaman abu O.G. Khouw di Jalan Molenvliet West 211 itu belakangan pernah disewakan kepada Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok. Kini, bangunan itu sudah dibongkar dan menjelma Gajah Mada City Walk.

Mausoleum Familie O.G. Khow, arsitek G. Racina dari perusahaan pembuat monumen makam Ai Marmi Italiani. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Menurut penelusurannya, O.G. Khouw merupakan generasi Tionghoa keempat. Kakek buyutnya datang ke Pulau Jawa sekitar 1769 atau 1770. Leluhurnya itu berasal dari Provinsi Fujian di Kota Longxi. Sekarang kota itu sudah tidak ada lagi karena bergabung bersama kota Haicheng dan menyandang toponimi baru sebagai Kota Longhai.

Semangat Historisme dan Art Deco

Mausoleum O.G. Khow berkubah megah yang disokong delapan pilar. Bangunan monumental setinggi 15 meter ini pengerjaannya selama dua tahun, dan diresmikan pada 1931. Empat patung asal Italia bergaya Neorenaisans mengelilingi bangunan mausoleum, yang melambangkan kehidupan manusia—kanak-kanak, remaja, dewasa, menua. Di bagian tengahnya terdapat sebuah patung malaikat, yang tampaknya menautkan kehidupan setelah wafat.

Material granit hitam dan kristal marmernya didatangkan langsung dari Italia. Arsiteknya pun seorang Italia, bernama Giuseppe Racina dengan kontraktor bangunannya, Ai Marmi Italiani. Kontraktor itu memiliki kantor awal di Surabaya, kemudian berkembang di Malang dan Weltevreden-Batavia. Perusahaan ini sohor sebagai pembuat monument makam dan patung. Jejaknya masih bisa dijumpai dalam nisan-nisan zaman Hindia Belanda di beberapa permakaman kota di Jawa.

Patung malaikat, simbol kehidupan setelah wafat, yang berada dalam mausoleum. Sosok malaikat ini seolah menaungi makam O.G Khouw dan istrinya. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Olivier Johannes Raap, warga Delft yang menggemari arsitektur Hindia, pernah singgah di mausoleum ini. Sederet bukunya telah terbit di Indonesia, yang bersumber dari koleksi kartu posnya dari masa Hindia Belanda. Salah satunya, Kota di Djawa Tempo Doeloe, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia.

Olivier mengatakan kepada National Geographic Indonesia bahwa arsitektur bangunan ini bergaya campuran. “Campuran Historisme dan Art Deco.”

Pada awal abad ke-20 munculnya gaya Historisme dalam arsitektur modern berlanggam Art Deco dilatarbelakangi semangat untuk mengembalikan beberapa elemen gaya Klasik. Perkembangan ini tidak hanya didorong oleh prinsip estetika baru, tetapi juga kemudahan mendapatkan material. Beton, besi, baja, dan kaca telah membebaskan arsitektur dari batasan-batasan material abad silam—seperti batu, kayu dan pasangan bata. Perubahan cara pandang karena ketersediaan material ini didasarkan pada kebutuhan hidup peradaban manusia.

“Mausoleum Khouw menggabungkan struktur oktagon berlengkungan dengan pilar klasik,” ungkap Olivier. “Delapan pilar dipasang pada sisi luar bundaran lengkungan.”

Pilar itu mengikuti ordo klasik Toskana, yang halus tanpa hiasan garis vertikal. Semua badan tiang memiliki kepala yang bertakhtakan hiasan dari ordo klasik Korintus. Kepala tiang itu menggabungkan ornamen motif daunan dan ukiran melingkar. Dia juga menambahkan bahwa pilar itu memanjang ke atas “dengan finial atau hiasan ujung yang berbentuk guci dupa lengkap dengan asapnya.”

Menurut Olivier, konsep ini membentuk konstruksi segi delapan yang terbuka dengan delapan pintu besar. Di atas setiap pintu terdapat sebuah pediment, yaitu ornamen mahkota pada fasad, yang juga merupakan elemen dari repertoar arsitektur Yunani-Romawi. “Pedimen biasanya berbentuk segitiga,” ujarnya, “namun Mausoleum Khouw mengikuti contoh klasik itu dengan bebas.”

Pada bagian tengah terdapat ukiran bernuansa hieroglif Mesir Kuno. Di samping itu kita bisa menyaksikan bentuk ‘tiga tahap’ yang berkarakter gaya Art Deco. Olivier memperhatikan bahwa bentuk ‘tiga tahap’ ini juga muncul pada daun pintu, dan pada dasar kubah.

“Penggunakan elemen modern bergaya Art Deco,” kata Olivier, “menceritakan bahwa pendiri makam ini tidak mau dianggap ketinggalan zaman.” Namun, sebagai lambang keabadian, gaya Art Deco tampaknya kalah pamor dibandingkan gaya Mesir-Yunani-Romawi, demikian paparnya. Dia mengatakan bahwa hal inilah yang menjelaskan “mengapa gaya Klasik tampak lebih berkesan dalam bangunan yang dirancang oleh Giuseppe Racina ini.”

 

Kliping surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 16 Mei 1930, yang menampilkan iklan kontraktor bangunan spesialis monumen makam: Ai MArmi Italiani. (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië )