Di Balik Mausoleum Cinta untuk Sang Filantrop Tionghoa di Batavia

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 15 Februari 2021 | 02:01 WIB
Patung malaikat di Mausoleum Familie O.G. Khouw, yang diimpor dari Italia. Pembangunannya memakan biaya hingga 500.000 gulden—setara Rp3,5 miliar. Monumen makam ini diresmikan pada 1931. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Patung malaikat pada sisi makam ini merupakan lambang agama Kristen. Patung ini sebagai simbol kehidupan setelah wafat. “Alkitab menceritakan tentang malaikat pada sisi makam Yesus,” pungkas Olivier, “yang membawa pesan untuk para pengunjung: Yang Anda cari tidak ada di sini. Ia telah bangkit.”

Namun, dia menemukan keunikan patung malaikat perempuan di mausoleum itu. Kendati bergaya Neorenaisans, rambut sang malaikat itu mengikuti tren gaya rambut perempuan 1920-an.

Sebuah kapel dengan altar berada di rubanah mausoleum itu, tempat para peziarah memanjatkan doa. Ruangan altar ini berhias wajah Khouw dan istrinya. Biasa disebut Chapelle Ardente—ruangan tempat jenazah disemayamkan dengan lilin-lilin di altarnya.

Tengara Kebanggaan Batavia

Pesona mausoleum ini menyeruak di permakaman yang sunyi. Surat kabar Soerabaiasch Handelsblad terbitan 6 Oktober 1932 merilis bahwa Gubernur Jenderal, perwakilan Susuhunan Pakubuwana, bersama lebih dari 42.000 pihak berkepentingan lainnya telah mengunjungi dan mengagumi karya ini.  Boleh dikata, bangunan ini telah menjadi tengara dan kebanggaan warga Batavia. Michael menambahkan pada 1930-an film pendek tentang keindahan mausoleum ini ditayangkan sebelum bioskop-bioskop memutar film utamanya.“Bioskop Capitol itu pernah memutar bagian awal daripada mausoleum itu sendiri.”

Makam O.G. Khouw di sebelah kanan, sementara istrinya di sebelah kiri, yang berada dalam mausoleum. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

“Dari hasil penelitian saya selama beberapa tahun itu,” kata Michael, “saya mendapat sebuah kesimpulan kalau mausoleum ini dibangun memang oleh istrinya sendiri.”

Inilah bangunan penanda zaman berupa mausoleum cinta. Nyonya Khouw telah membangun makam megah yang didirikan untuk menunjukkan rasa cinta yang mendalam terhadap pasangan hidupnya.

“Hal ini sangat jelas dalam batu nisannya pun tertulis dalam bahasa Belanda dalam kata gewijd, artinya didedikasikan atau dipersembahkan untuk Khouw Oen Giok […],” demikian paparnya. “Jadi saya bilang mausoleum ini adalah suatu rasa wujud cinta kasih sayang istrinya pada suaminya.”

Michael membuka catatan arsipnya tentag surat kabar Utrechtsch Nieuwsblad yang terbit 24 September 1932. Beritanya, sebuah mausoleum Tionghoa yang dibangun di Batavia berbiaya 500.000 gulden. “Sekitar tiga koma lima milliar rupiah untuk abad 21,” ujarnya. Demikian sejumlah uang yang dibelanjakan Nyonya Khouw untuk membangun mausoleum ini.

Pindah status kewarganegaraan

Permohonannya naturalisasi Khouw sebagai warga Negara Belanda dikabulkan pada Juli 1908. Saat itu usianya 34 tahun. Sejatinya tidak mudah bagi seorang penduduk Tionghoa di Hindia Belanda untuk menjadi seorang warga negara Belanda.

Selain Khouw, terdapat dua nama lainnya yang bersamaan mendapat naturalisasi sebagai warga Negara Belanda. Mas Asmaoen, seorang dokter Jawa asal Surakarta dan bumiputra pertama yang menerima gelar dokter Belanda dari Universiteit van Amsterdam. Kemudian, seorang asal Batavia bernama Oey Tiang Hoei. Mereka merupakan sederet orang paling awal dari Hindia Belanda yang diterima sebagai warga negara Kerajaan Belanda.

Relief yang melukiskan potret Khouw Oen Giok atau O.G. Khouw di ruangan altar rubanah mausoleum yang dibangun istrinya. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

“Saya rasa bukan hanya pertimbangan uang saja,” kata Michael, “tapi juga ada pertimbangan bagaimana dia punya kebaikan lalu dia punya jasanya untuk Kerajaan Belanda itu bagaimana? Lalu apakah dia punya jasanya untuk Hindia Belanda itu bagaimana?”

Sejak saat itu dia menggunakan nama O.G. Khouw, alih-alih Khouw Oen Giok. “Untuk membedakan dirinya dengan Vreemde Oosterlingen ,” ujarnya, “maka dia menuliskan namanya O.G.Khouw begitu pula isterinya yaitu Mevrouw O.G.Khouw atau Mevrouw S.N.Lim. Mereka dipanggil Meneer Khouw & Mevrouw Khouw.”

Jejak sang filantrop

Khouw dikenal sebagai seorang dermawan, baik di Hindia Belanda maupun Negeri Belanda. Namun, sedikit catatan tentangnya yang sampai pada kita.

Ketika Tiong Hoa Hwee Koan lahir di Batavia pada Maret 1900, Phoa Keng Hek menjabat sebagai Presiden pertamanya. Perkumpulan ini bertujuan mengembalikan identitas orang Tionghoa melalui ajaran Konfusianisme dan mempromosikan budaya Tionghoa. Pada tahun berikutnya sosok Khouw dipercaya sebagai Wakil Presiden pertamanya mendampingi Phoa.

Michael mengisahkan salah satu jiwa filantropi O.G. Khouw untuk anak-anak Tionghoa di Batavia. Dia menyediakan rumahnya yang berada di daerah Pinangsia untuk digunakan sebagai Hollandsch-Chineesche School (HCS) pertama di Batavia pada1908. Inilah pendidikan sekolah dasar untuk anak-anak Tionghoa yang pengantar lisan maupun tulisannya berbahasa Belanda. Sekolah ini selevel pada tingkat sekolah dasar pada zaman sekarang.

Relief yang melukiskan potret Nyonya O.G. Khouw atau Lim Sha Nio di ruangan altar rubanah mausoleum. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Pendirian HCS ini sejatinya memiliki implikasi politik terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap komunitas Tionghoa. Mona Lohanda dalam Growing Pains: The Chinese and the Dutch in Colonial Java, 1890-1942, mengungkapkan keberhasilan orang Tionghoa dalam mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan memaksa pemerintah kolonial membalikkan kebijakan awal, yang memandang bahwa orang Tionghoa adalah sumber masalah. Mulai berubahnya sikap pemerintah Hindia Belanda ini ditunjukkan dalam pembukaan HCS yang disponsori pemerintah. “Pembalikan sikap seperti itu bukti kebijakan Belanda yang ambigu,” tulis Mona. “Orang Tionghoa selalu menghadapi inkonsistensi ini sepanjang masa.”

Upaya Khouw dalam bidang pendidikan itu selaras dengan program pemerintah Hindia Belanda yang memulai politik etis atau politik balas budi kepada rakyat di jajahannya. Salah satunya, perbaikan bidang pendidikan melalui pembangunan sekolah-sekolah. “HCS ini adalah semacam sekolah untuk anak anak Tionghoa tapi bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda,” ujar Michael. “Karena guru-gurunya pun orang-orang Belanda.”

Pintu menuju rubanah pada Mausoleum Familie O.G. Khouw. Di dalam rubanah terdapat altar yang berhias wajah Khouw dan istrinya. Namanya, Chapel A Dente. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Dia mengungkapkan bahwa Khouw “tercatat pernah sebagai donatur Roode Kruis (Palang Merah Belanda) sebesar 40.000 gulden pada tahun 1915 pada saat terjadi Perang Dunia Pertama (1914-1918) yang terjadi di Benua Eropa.”

Beberapa sumber mengatakan bahwa Khouw terlibat sebagai ketua penggalangan dana Jang Seng Ie, sebuah poliklinik yang melayani masyarakat Batavia sejak 1924. Perihal informasi ini Michael berkomentar, “Saya belum menemukan data, apakah O.G. Khouw juga sebagai donatur atau ketua dana [Jang Seng Ie].” Dia menambahkan, “O.G. Khouw sudah tidak diberitakan berada di Batavia sejak tahun 1908 menerima naturalisasi.”

Masa kanak-kanak

Michael berkisah tentang masa kecil sang filantrop yang jarang terungkap. Sebagai anak seorang letnan titulair dan tuan tanah di Tambun, Khow berkesempatan mendapatkan pendidikan yang baik. Ayahnya mendatangkan guru-guru senior Belanda ke kediaman—semacam sekolah rumahan, yang tentu saja berbiaya mahal. Pada saat itu belum ada sekolah dasar resmi yang didirikan pemerintah Hindia Belanda.

Dia mendapat pengajaran ala Eropa dengan bahasa Belanda, ilmu matematika, geografi, dan hitung dagang. Sampai pada akhir abad ke-19, metoda pengajaran ini hanya dinikmati oleh keluarga opsir-opsir Tionghoa—bukan kelas anak pedagang.

 

“Itu tidak mudah mendapat pendidikan [dengan] bayaran mahal pada guru-guru belanda,” kata Michael, “karena yang bisa menikmati pendidikan pada masa itu hanyalah Chinese officers.” Dia juga menambahkan bahwa kelak O.G. Khouw pun turut andil sebagai wakil presiden untuk THHK. “Ini ada hubungannya dengan pendidikan Tionghoa.”

Mausoleum kini

Setelah kepergian Khouw selama 30 tahun, jandanya wafat pada 18 Desember 1957. Nyonya Khouw telah mempersiapkan makamnya sendiri di sisi kiri suaminya. Sampai sejauh ini kita belum menemukan catatan apakah prosesi pemakamannya semewah suaminya.

Jelang satu abad usia Mausoleum Khouw, kemegahan itu masih menyala-nyala di Taman Pemakaman Umum Petamburan. Keberadaannya bersanding dengan makam-makam Eropa pada abad yang silam.

Beberapa marmer sengaja dipecahkan oleh perilaku manusia, diduga upaya pencurian nisan marmer yang marak pada 1970-an. Namun, ancaman kerusakan mulai muncul kembali, yakni marmer yang mulai pecah-pecah karena indikasi penurunanan tanah. Satu hal lagi, mungkin ada sistem drainase yang tak lagi berfungsi karena setiap hujan deras, rubanah selalu tergenang air hujan.

Khow mewariskan kisah di balik kemegahan mausoleumnya kepada kita. Namun, sebuah penanda zaman yang megah ini seolah terabaikan perlindungan cagar budaya. Akankah ia lestari sebagai bagian riwayat jejak peranakan Tionghoa di Jakarta?

Mausoleum Familie O.G Khouw di bentang alam Taman Pemakaman Umum Petamburan. Kompleks makam ini diresmikan pada 1920, sementara bangunan mausoleum diresmikan pada 1931. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)