Nationalgeographic.co.id—Di tengah gelumat Metropolitan Jakarta, sebuah bangunan makam berkubah tampak menjulang megah. Inilah mausoleum termegah di negeri ini. Siapa yang dimakamkan di sana? Mengapa persemayaman akhirnya begitu glamor?
Surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie menerbitkan serangkaian berita pemakaman seorang Tionghoa kaya di Batavia. Surat kabar berbahasa Belanda itu melukiskan iring-iringan pemakaman Khouw Oen Giok atau lebih dikenal sebagai O.G Khouw.
“Nama O.G. Khouw ini memang tidak begitu dikenal pada masa sekarang ini,” ujar Michael Hadi yang dihubungi National Geographic Indonesia di kediamannya di Bojong Indah, Jakarta Barat. Beberapa tahun belakangan, dia meneliti seluk beluk tentang keluarga Khouw.
“Mengapa saya tertarik pada mausoleum ini? Ternyata mausoleum ini ada hubungan juga dengan keluarga saya.”
Pada awal abad ke-20 sosok O.G. Khouw begitu terpandang. Dia merupakan anak dari Liutenant Titulair Cina Khouw Tjeng Kee (1832 -1883), yang memiliki tanah-tanah partikelir di Tambun, Bekasi. Sampai hari ini kediaman sang letnan itu masih menjadi tengara di dekat Stasiun Tambun.
O.G. Khouw tidak menjabat sebagai opsir Cina layaknya sang ayah. Namun, ketiga saudaranya meneruskan tradisi itu. Khouw Oen Djioe menjabat Luitenant der Chinezen di Parung, Khouw Oen Tek menjabat Luitenant di Buitenzorg, dan Khouw Oen Hoey menjabat Luitenant di Batavia.
Michael mengungkapkan bahwa Khouw Oen Giok bersama istri dan dua anak perempuan mereka tinggal di sebuah rumah di Museumplaats 12, Amsterdam, Belanda. Dia lahir di Batavia pada 13 Maret 1874. Wafat sebagai warga negara Belanda di Ragaz, Swiss, pada 1 Juni 1927. Usianya, 53 tahun.
“Beliau dikremasi di Belanda, lalu abu jenazah dibawa pulang ke Batavia menggunakan kapal laut SS Prins Der Nederlander,” ujar Michael.
Abu jenazah Khouw tiba di Batavia pada 4 September 1927, kemudian disemayamkan di ruang altar rumah keluarganya di Molenvliet selama 14 hari. Upacara pemakamannya begitu sensasional, yang digelar pada 19 September 1927. Prosesi bermula pada pukul delapan pagi dari sebuah rumah keluarga berarsitektur Tiongkok di Molenvliet West 211. Di rumah berhalaman luas itulah Khouw tumbuh sedari kanak-kanak.
Iringan resimen musik mendampingi mobil yang membawa abu jenazah Khouw menuju Laanhof, sebutan untuk permakaman di Petamburan. Di sepanjang jalan, warga Tionghoa, warga Eropa, dan warga sekitar berdiri di tepian jalan untuk memberi penghormatan. Sementara itu sekitar dua gerbong karangan bunga berada di pekarangan rumah dan permakaman.
“Dia adalah seorang saudara sepupu daripada Mayor Khouw Kim An,” kata Michael. Sang mayor Cina terakhir di Batavia itu yang wafat di kamp interniran Jepang di Cimahi, Jawa Barat. “Kalau kita mendengar gedung Candranaya yang berada di Jalan Gajah Mada 188 itu adalah salah satu peninggalan pada Mayor Khouw Kim An.”
Michael menambahkan bahwa rumah keluarga yang menjadi tempat persemayaman abu O.G. Khouw di Jalan Molenvliet West 211 itu belakangan pernah disewakan kepada Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok. Kini, bangunan itu sudah dibongkar dan menjelma Gajah Mada City Walk.
Menurut penelusurannya, O.G. Khouw merupakan generasi Tionghoa keempat. Kakek buyutnya datang ke Pulau Jawa sekitar 1769 atau 1770. Leluhurnya itu berasal dari Provinsi Fujian di Kota Longxi. Sekarang kota itu sudah tidak ada lagi karena bergabung bersama kota Haicheng dan menyandang toponimi baru sebagai Kota Longhai.
Semangat Historisme dan Art Deco
Mausoleum O.G. Khow berkubah megah yang disokong delapan pilar. Bangunan monumental setinggi 15 meter ini pengerjaannya selama dua tahun, dan diresmikan pada 1931. Empat patung asal Italia bergaya Neorenaisans mengelilingi bangunan mausoleum, yang melambangkan kehidupan manusia—kanak-kanak, remaja, dewasa, menua. Di bagian tengahnya terdapat sebuah patung malaikat, yang tampaknya menautkan kehidupan setelah wafat.
Material granit hitam dan kristal marmernya didatangkan langsung dari Italia. Arsiteknya pun seorang Italia, bernama Giuseppe Racina dengan kontraktor bangunannya, Ai Marmi Italiani. Kontraktor itu memiliki kantor awal di Surabaya, kemudian berkembang di Malang dan Weltevreden-Batavia. Perusahaan ini sohor sebagai pembuat monument makam dan patung. Jejaknya masih bisa dijumpai dalam nisan-nisan zaman Hindia Belanda di beberapa permakaman kota di Jawa.
Olivier Johannes Raap, warga Delft yang menggemari arsitektur Hindia, pernah singgah di mausoleum ini. Sederet bukunya telah terbit di Indonesia, yang bersumber dari koleksi kartu posnya dari masa Hindia Belanda. Salah satunya, Kota di Djawa Tempo Doeloe, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia.
Olivier mengatakan kepada National Geographic Indonesia bahwa arsitektur bangunan ini bergaya campuran. “Campuran Historisme dan Art Deco.”
Pada awal abad ke-20 munculnya gaya Historisme dalam arsitektur modern berlanggam Art Deco dilatarbelakangi semangat untuk mengembalikan beberapa elemen gaya Klasik. Perkembangan ini tidak hanya didorong oleh prinsip estetika baru, tetapi juga kemudahan mendapatkan material. Beton, besi, baja, dan kaca telah membebaskan arsitektur dari batasan-batasan material abad silam—seperti batu, kayu dan pasangan bata. Perubahan cara pandang karena ketersediaan material ini didasarkan pada kebutuhan hidup peradaban manusia.
“Mausoleum Khouw menggabungkan struktur oktagon berlengkungan dengan pilar klasik,” ungkap Olivier. “Delapan pilar dipasang pada sisi luar bundaran lengkungan.”
Pilar itu mengikuti ordo klasik Toskana, yang halus tanpa hiasan garis vertikal. Semua badan tiang memiliki kepala yang bertakhtakan hiasan dari ordo klasik Korintus. Kepala tiang itu menggabungkan ornamen motif daunan dan ukiran melingkar. Dia juga menambahkan bahwa pilar itu memanjang ke atas “dengan finial atau hiasan ujung yang berbentuk guci dupa lengkap dengan asapnya.”
Menurut Olivier, konsep ini membentuk konstruksi segi delapan yang terbuka dengan delapan pintu besar. Di atas setiap pintu terdapat sebuah pediment, yaitu ornamen mahkota pada fasad, yang juga merupakan elemen dari repertoar arsitektur Yunani-Romawi. “Pedimen biasanya berbentuk segitiga,” ujarnya, “namun Mausoleum Khouw mengikuti contoh klasik itu dengan bebas.”
Pada bagian tengah terdapat ukiran bernuansa hieroglif Mesir Kuno. Di samping itu kita bisa menyaksikan bentuk ‘tiga tahap’ yang berkarakter gaya Art Deco. Olivier memperhatikan bahwa bentuk ‘tiga tahap’ ini juga muncul pada daun pintu, dan pada dasar kubah.
“Penggunakan elemen modern bergaya Art Deco,” kata Olivier, “menceritakan bahwa pendiri makam ini tidak mau dianggap ketinggalan zaman.” Namun, sebagai lambang keabadian, gaya Art Deco tampaknya kalah pamor dibandingkan gaya Mesir-Yunani-Romawi, demikian paparnya. Dia mengatakan bahwa hal inilah yang menjelaskan “mengapa gaya Klasik tampak lebih berkesan dalam bangunan yang dirancang oleh Giuseppe Racina ini.”
Patung malaikat pada sisi makam ini merupakan lambang agama Kristen. Patung ini sebagai simbol kehidupan setelah wafat. “Alkitab menceritakan tentang malaikat pada sisi makam Yesus,” pungkas Olivier, “yang membawa pesan untuk para pengunjung: Yang Anda cari tidak ada di sini. Ia telah bangkit.”
Namun, dia menemukan keunikan patung malaikat perempuan di mausoleum itu. Kendati bergaya Neorenaisans, rambut sang malaikat itu mengikuti tren gaya rambut perempuan 1920-an.
Sebuah kapel dengan altar berada di rubanah mausoleum itu, tempat para peziarah memanjatkan doa. Ruangan altar ini berhias wajah Khouw dan istrinya. Biasa disebut Chapelle Ardente—ruangan tempat jenazah disemayamkan dengan lilin-lilin di altarnya.
Tengara Kebanggaan Batavia
Pesona mausoleum ini menyeruak di permakaman yang sunyi. Surat kabar Soerabaiasch Handelsblad terbitan 6 Oktober 1932 merilis bahwa Gubernur Jenderal, perwakilan Susuhunan Pakubuwana, bersama lebih dari 42.000 pihak berkepentingan lainnya telah mengunjungi dan mengagumi karya ini. Boleh dikata, bangunan ini telah menjadi tengara dan kebanggaan warga Batavia. Michael menambahkan pada 1930-an film pendek tentang keindahan mausoleum ini ditayangkan sebelum bioskop-bioskop memutar film utamanya.“Bioskop Capitol itu pernah memutar bagian awal daripada mausoleum itu sendiri.”
“Dari hasil penelitian saya selama beberapa tahun itu,” kata Michael, “saya mendapat sebuah kesimpulan kalau mausoleum ini dibangun memang oleh istrinya sendiri.”
Inilah bangunan penanda zaman berupa mausoleum cinta. Nyonya Khouw telah membangun makam megah yang didirikan untuk menunjukkan rasa cinta yang mendalam terhadap pasangan hidupnya.
“Hal ini sangat jelas dalam batu nisannya pun tertulis dalam bahasa Belanda dalam kata gewijd, artinya didedikasikan atau dipersembahkan untuk Khouw Oen Giok […],” demikian paparnya. “Jadi saya bilang mausoleum ini adalah suatu rasa wujud cinta kasih sayang istrinya pada suaminya.”
Michael membuka catatan arsipnya tentag surat kabar Utrechtsch Nieuwsblad yang terbit 24 September 1932. Beritanya, sebuah mausoleum Tionghoa yang dibangun di Batavia berbiaya 500.000 gulden. “Sekitar tiga koma lima milliar rupiah untuk abad 21,” ujarnya. Demikian sejumlah uang yang dibelanjakan Nyonya Khouw untuk membangun mausoleum ini.
Pindah status kewarganegaraan
Permohonannya naturalisasi Khouw sebagai warga Negara Belanda dikabulkan pada Juli 1908. Saat itu usianya 34 tahun. Sejatinya tidak mudah bagi seorang penduduk Tionghoa di Hindia Belanda untuk menjadi seorang warga negara Belanda.
Selain Khouw, terdapat dua nama lainnya yang bersamaan mendapat naturalisasi sebagai warga Negara Belanda. Mas Asmaoen, seorang dokter Jawa asal Surakarta dan bumiputra pertama yang menerima gelar dokter Belanda dari Universiteit van Amsterdam. Kemudian, seorang asal Batavia bernama Oey Tiang Hoei. Mereka merupakan sederet orang paling awal dari Hindia Belanda yang diterima sebagai warga negara Kerajaan Belanda.
“Saya rasa bukan hanya pertimbangan uang saja,” kata Michael, “tapi juga ada pertimbangan bagaimana dia punya kebaikan lalu dia punya jasanya untuk Kerajaan Belanda itu bagaimana? Lalu apakah dia punya jasanya untuk Hindia Belanda itu bagaimana?”
Sejak saat itu dia menggunakan nama O.G. Khouw, alih-alih Khouw Oen Giok. “Untuk membedakan dirinya dengan Vreemde Oosterlingen ,” ujarnya, “maka dia menuliskan namanya O.G.Khouw begitu pula isterinya yaitu Mevrouw O.G.Khouw atau Mevrouw S.N.Lim. Mereka dipanggil Meneer Khouw & Mevrouw Khouw.”
Jejak sang filantrop
Khouw dikenal sebagai seorang dermawan, baik di Hindia Belanda maupun Negeri Belanda. Namun, sedikit catatan tentangnya yang sampai pada kita.
Ketika Tiong Hoa Hwee Koan lahir di Batavia pada Maret 1900, Phoa Keng Hek menjabat sebagai Presiden pertamanya. Perkumpulan ini bertujuan mengembalikan identitas orang Tionghoa melalui ajaran Konfusianisme dan mempromosikan budaya Tionghoa. Pada tahun berikutnya sosok Khouw dipercaya sebagai Wakil Presiden pertamanya mendampingi Phoa.
Michael mengisahkan salah satu jiwa filantropi O.G. Khouw untuk anak-anak Tionghoa di Batavia. Dia menyediakan rumahnya yang berada di daerah Pinangsia untuk digunakan sebagai Hollandsch-Chineesche School (HCS) pertama di Batavia pada1908. Inilah pendidikan sekolah dasar untuk anak-anak Tionghoa yang pengantar lisan maupun tulisannya berbahasa Belanda. Sekolah ini selevel pada tingkat sekolah dasar pada zaman sekarang.
Pendirian HCS ini sejatinya memiliki implikasi politik terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap komunitas Tionghoa. Mona Lohanda dalam Growing Pains: The Chinese and the Dutch in Colonial Java, 1890-1942, mengungkapkan keberhasilan orang Tionghoa dalam mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan memaksa pemerintah kolonial membalikkan kebijakan awal, yang memandang bahwa orang Tionghoa adalah sumber masalah. Mulai berubahnya sikap pemerintah Hindia Belanda ini ditunjukkan dalam pembukaan HCS yang disponsori pemerintah. “Pembalikan sikap seperti itu bukti kebijakan Belanda yang ambigu,” tulis Mona. “Orang Tionghoa selalu menghadapi inkonsistensi ini sepanjang masa.”
Upaya Khouw dalam bidang pendidikan itu selaras dengan program pemerintah Hindia Belanda yang memulai politik etis atau politik balas budi kepada rakyat di jajahannya. Salah satunya, perbaikan bidang pendidikan melalui pembangunan sekolah-sekolah. “HCS ini adalah semacam sekolah untuk anak anak Tionghoa tapi bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda,” ujar Michael. “Karena guru-gurunya pun orang-orang Belanda.”
Dia mengungkapkan bahwa Khouw “tercatat pernah sebagai donatur Roode Kruis (Palang Merah Belanda) sebesar 40.000 gulden pada tahun 1915 pada saat terjadi Perang Dunia Pertama (1914-1918) yang terjadi di Benua Eropa.”
Beberapa sumber mengatakan bahwa Khouw terlibat sebagai ketua penggalangan dana Jang Seng Ie, sebuah poliklinik yang melayani masyarakat Batavia sejak 1924. Perihal informasi ini Michael berkomentar, “Saya belum menemukan data, apakah O.G. Khouw juga sebagai donatur atau ketua dana [Jang Seng Ie].” Dia menambahkan, “O.G. Khouw sudah tidak diberitakan berada di Batavia sejak tahun 1908 menerima naturalisasi.”
Masa kanak-kanak
Michael berkisah tentang masa kecil sang filantrop yang jarang terungkap. Sebagai anak seorang letnan titulair dan tuan tanah di Tambun, Khow berkesempatan mendapatkan pendidikan yang baik. Ayahnya mendatangkan guru-guru senior Belanda ke kediaman—semacam sekolah rumahan, yang tentu saja berbiaya mahal. Pada saat itu belum ada sekolah dasar resmi yang didirikan pemerintah Hindia Belanda.
Dia mendapat pengajaran ala Eropa dengan bahasa Belanda, ilmu matematika, geografi, dan hitung dagang. Sampai pada akhir abad ke-19, metoda pengajaran ini hanya dinikmati oleh keluarga opsir-opsir Tionghoa—bukan kelas anak pedagang.
“Itu tidak mudah mendapat pendidikan [dengan] bayaran mahal pada guru-guru belanda,” kata Michael, “karena yang bisa menikmati pendidikan pada masa itu hanyalah Chinese officers.” Dia juga menambahkan bahwa kelak O.G. Khouw pun turut andil sebagai wakil presiden untuk THHK. “Ini ada hubungannya dengan pendidikan Tionghoa.”
Mausoleum kini
Setelah kepergian Khouw selama 30 tahun, jandanya wafat pada 18 Desember 1957. Nyonya Khouw telah mempersiapkan makamnya sendiri di sisi kiri suaminya. Sampai sejauh ini kita belum menemukan catatan apakah prosesi pemakamannya semewah suaminya.
Jelang satu abad usia Mausoleum Khouw, kemegahan itu masih menyala-nyala di Taman Pemakaman Umum Petamburan. Keberadaannya bersanding dengan makam-makam Eropa pada abad yang silam.
Beberapa marmer sengaja dipecahkan oleh perilaku manusia, diduga upaya pencurian nisan marmer yang marak pada 1970-an. Namun, ancaman kerusakan mulai muncul kembali, yakni marmer yang mulai pecah-pecah karena indikasi penurunanan tanah. Satu hal lagi, mungkin ada sistem drainase yang tak lagi berfungsi karena setiap hujan deras, rubanah selalu tergenang air hujan.
Khow mewariskan kisah di balik kemegahan mausoleumnya kepada kita. Namun, sebuah penanda zaman yang megah ini seolah terabaikan perlindungan cagar budaya. Akankah ia lestari sebagai bagian riwayat jejak peranakan Tionghoa di Jakarta?