Kontradiksi Pangan Organik: Benarkah Ditakdirkan untuk Orang Kaya

By Titania Febrianti, Minggu, 28 Maret 2021 | 08:00 WIB
Sekelompok anak Afrika menunjukkan beras. Pertanian bisa menjadi salah satu dampak paling mengerikan di Bumi. (Riccardo Lennart Niels Mayer/Thinkstock)

Nationalgeographic.co.id—Tujuh tahun silam, ibunda Elly divonis menderita kanker stadium empat oleh dokter. Setelah menjalani kemoterapi selama dua kali, sang ibu menyerah. Ia tak lagi tahan menghadapi efeknya. Elly dan keluarganya pun mencari jalan keluar hingga ke benua Amerika Selatan, untuk berguru kembali kepada alam.

“Terapi yang dijalankan tidak memakai obat,” kenang Elly dengan tutur yang lembut. “Mama harus mengonsumsi jus wortel dan sayuran, makan salad dengan sedikit madu, atau baked potato. Setidaknya enam gelas jus wortel dan empat gelas jus sayur harus dikonsumsi setiap hari.” Ada satu syarat mutlak yang tak bisa ditawar lagi: “Semua bahannya harus berasal dari sayur dan buah organik,” ungkapnya.

Setelah tiga minggu mempelajari Terapi Gerson di Meksiko, Elly kembali ke tanah air dan menghadapi masalah baru: Di mana ia harus mencari wortel organik yang kebutuhannya mencapai angka 30 kilogram setiap minggu? Ia mengaku tak bisa mengandalkan supermarket penjual sayuran dan buah organik, “biayanya berat,” akunya.

Bagaimana tidak? Di bilangan Jakarta Utara, sebuah sajian yang diklaim diolah dari bahan tak tersentuh oleh pestisida dan pupuk kimia ini dihargai dua hingga tiga kali lipat daripada menu serupa yang dijual di tempat lain. Sementara di satu supermarket yang ada di dalam pusat belanja kelas menengah ke atas di kawasan Tangerang, saya menemukan harga brokoli organik yang juga dua hingga tiga kali lebih mahal dibandingkan harga brokoli tak berlabel organik.