Nationalgeographic.co.id—Tujuh tahun silam, ibunda Elly divonis menderita kanker stadium empat oleh dokter. Setelah menjalani kemoterapi selama dua kali, sang ibu menyerah. Ia tak lagi tahan menghadapi efeknya. Elly dan keluarganya pun mencari jalan keluar hingga ke benua Amerika Selatan, untuk berguru kembali kepada alam.
“Terapi yang dijalankan tidak memakai obat,” kenang Elly dengan tutur yang lembut. “Mama harus mengonsumsi jus wortel dan sayuran, makan salad dengan sedikit madu, atau baked potato. Setidaknya enam gelas jus wortel dan empat gelas jus sayur harus dikonsumsi setiap hari.” Ada satu syarat mutlak yang tak bisa ditawar lagi: “Semua bahannya harus berasal dari sayur dan buah organik,” ungkapnya.
Setelah tiga minggu mempelajari Terapi Gerson di Meksiko, Elly kembali ke tanah air dan menghadapi masalah baru: Di mana ia harus mencari wortel organik yang kebutuhannya mencapai angka 30 kilogram setiap minggu? Ia mengaku tak bisa mengandalkan supermarket penjual sayuran dan buah organik, “biayanya berat,” akunya.
Bagaimana tidak? Di bilangan Jakarta Utara, sebuah sajian yang diklaim diolah dari bahan tak tersentuh oleh pestisida dan pupuk kimia ini dihargai dua hingga tiga kali lipat daripada menu serupa yang dijual di tempat lain. Sementara di satu supermarket yang ada di dalam pusat belanja kelas menengah ke atas di kawasan Tangerang, saya menemukan harga brokoli organik yang juga dua hingga tiga kali lebih mahal dibandingkan harga brokoli tak berlabel organik.
Satu hal menarik yang saya dapati selama mengunjungi restoran organik yang tersebar di Jakarta: Pengunjung selalu turun dari kendaraan roda empat sebelum memasuki pintu restoran. Tingkat perekonomian mereka bisa dinilai dari apa yang menempel di tubuh. Di kalangan umum, anggapan bahwa produk organik adalah barang yang berharga tinggi, sudah biasa. Menjadikannya tak dilirik oleh masyarakat tingkat ekonomi bawah, apalagi mereka yang belum memahami efek residu bahan kimia bagi tubuh. Benarkah sayuran yang begitu berharga karena tak mengandung bahan kimiawi ini menjadi tinggi nilainya di pasaran dan hanya milik kaum berpunya?
Saya mulai mencoba mencari jawaban itu di kampus Institut Pertanian Bogor yang dipenuhi oleh pepohonan, di sebuah ruang yang mungil di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). “Pangan organik adalah pangan yang berasal dari sistem pertanian organik. Yaitu sistem yang meminimalkan atau meniadakan penggunakan pupuk sintetis, pupuk kimia, pestisida kimia,” ujar Ahmad Sulaeman, wakil dekan FEMA IPB
“Di dalam organik tidak ada yang namanya limbah. Karena limbah dari satu pertanian, menjadi masukan bagi pertanian berikutnya.” Ahmad mencontohkan tanaman jagung di rumahnya, yang dedaunannya menjadi limbah untuk pakan kambing dan ikan. Setelah itu, kotoran yang dihasilkan kambing diolah menjadi pupuk. “Jadi, tidak ada istilah bahwa petani organik tidak menanam padi karena tidak ada pupuk. Karena, pupuk itu bukan sesuatu yang harus dibeli. Apalagi pestisida.”
“Semestinya harga organik lebih murah. Kenapa mahal? Karena suplai sedikit,” paparnya. Ia melanjutkan bahwa faktor risiko datangnya hama serta perubahan cuaca turut membuat harga melambung. Apalagi hama yang datang dari perkebunan konvensional atau non-organik, yang ada di sekitarnya.
Baca Juga: Iklim yang Tak Kondusif Membuat Peradaban Kuno Tiongkok Kian Hidup
Dua hari kemudian, matahari pagi masih bersembunyi di balik gedung-gedung yang tinggi menjulang di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Namun di Jalan Sunda yang sempit, tepat di samping sebuah pusat perbelanjaan, sekelompok orang sudah menyibukkan diri pagi itu. Mereka menata barang dagangan di atas meja-meja bertenda. Sayuran segar, tumpukan kantung-kantung beras, buah-buahan, makanan siap saji seperti tahu dan tempe serta pecel, juga jus beraneka warna, mulai bermunculan menghiasi pemandangan di sepanjang jalan itu.
Saat ruas Thamrin mulai ramai dengan orang-orang yang beraktivitas saat Car Free Day (CFD) digelar setiap minggu, meja-meja ini mulai dikerubuti banyak orang. Inilah salah satu cara untuk mendapatkan produk organik dengan harga lebih rendah dibandingkan yang ada di supermarket.
Di sini, meja akan ramai dengan para pejalan kaki, para pesepeda, juga keluarga lengkap dengan balita mereka. Saya memperhatikan, harga pepaya, kangkung, sawi, bayam, hanya memiliki perbedaan yang sedikit dibandingkan dengan harga sayuran non-organik, dan jauh di bawah harga yang terpajang di etalase-etalase supermarket yang bermandikan cahaya lampu sorot.
“Pasar organik dimulai saat Hari Ibu bulan Desember tahun lalu. Ide ini berawal dari ibu-ibu penggemar sayuran organik yang ingin bekerja sama,” ungkap Erna Witoelar, selaku salah seorang anggota Pilar Indonesia Hijau, program yang dijalankan oleh Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB). Akhirnya, bersama Sylviana Murni—Deputi Gubernur Bidang Kebudayaan dan Pariwisata DKI, serta Kementerian Pertanian, Pasar Organik ini pun terselenggara. “Kami juga sedang mendorong munculnya pasar organik di kota-kota, juga di wilayah lain di jakarta,” ujar Erna.
Apa tujuan Pasar Organik ini? “Kami ingin mendekatkan produsen dengan konsumen,” ujar Neta, salah seorang panitia yang bertugas saat itu. Di acara inilah penggerak pertanian organik bisa langsung bertemu dengan konsumen yang rajin datang pada acara CFD. “Tidak cuma ibu-ibu, ABG juga senang loh nongkrong di sini,” ujar Neta sambil tertawa. “Biasanya mereka tergoda oleh smoothies berwarna-warni dari buah dan sayuran, di dalam botol.”
“Semua yang berjualan di sini punya kebun dan sertifikasi. Tetapi, kami juga mengizinkan mereka yang belum memiliki sertifikasi untuk ada di sini, dengan modal kepercayaan,” ungkapnya. Secara berkala, petugas melakukan pemeriksaan terkait kandungan bahan kimia pada barang jualan mereka. Jika hal itu terbukti ada, mereka akan didepak langsung dari acara ini.
“Kami pernah mendapatkan kasus seperti itu. Awalnya saat dicek, produk mereka bersih. Ternyata saat mereka berjualan lagi di sini, produknya mengandung formalin. Langsung kita putuskan kerja samanya! Tidak bisa begitu dong! Di sini peraturannya ketat sekali!” ujar Neta dengan nada tinggi. Sebuah meja yang dipenuhi sayur dan buah segar yang terletak paling dekat dengan jalan besar juga tak luput dari pemeriksaan ini. Sayur dan buah yang dibawa dari kaki Gunung Pangrango.
Angin lembah yang berasal dari Gunung Pangrango bertiup sejuk pagi itu, menerpa saya yang tengah berdiri di dasarnya. Kuikan entok terdengar saling bersahut di kejauhan, sementara burung beterbangan di atas lembah. Di sekitar air terjun yang bergemuruh, bilur hijau tanaman berbaris rapi menuju awal lembah, kemudian merayap naik menuju punggungan bukit.
Di lembah kecil di kawasan Tugu Selatan, Cisarua, inilah Pater Agatho Elsener, pria Swiss kelahiran 1933, mewujudkan mimpinya menggerakkan apa yang ia disebut sebagai pertanian organis di Indonesia, tepatnya sejak 31 tahun silam.
Tak ada tanah yang tidak tergantikan oleh tumbuhan hijau di sini. Bahkan, di atas bangunan yang disebut sebagai Gedung Pemasaran, beragam sayuran memenuhi lantainya yang bertingkat-tingkat, dirancang dengan apik untuk menggantikan tanah yang telah tertutup beton. Bangunan itu ternyata juga menyembunyikan bak tandon air di salah satu sisinya.
Baca Juga: Di Kulonprogo, Mereka yang Muda Upayakan Ketahanan Pangan
Di lembah seberang, dilatari oleh perbukitan yang disaput kabut tipis, kotak-kotak pengolah pupuk kompos serta bangunan-bangunan persemaian berdiri kokoh, melindungi benih-benih mungil yang dedaunannya malu-malu mencuat dari balik gumpalan kotak tanah berukuran sekitar lima sentimeter.
“Pater Agatho dulu menggerakkan pertanian organis dengan semangat bukan untuk berbisnis. Dengan melihat data-data geografis atau iklim, ia tahu bahwa Indonesia sangat berpotensi besar, cocok dengan pertanian organis,” ujar Sudaryanto, Wakil Ketua Pengurus Yayasan Bina Sarana Bakti (disingkat BSB). Yayasan ini mengelola pertanian dengan sistem organik, pada lahan tanam di tengah perbukitan, yang luasnya lebih dari 10 hektare ini.
Menurut Sudaryanto, Pater memiliki pemikiran bahwa pertanian seharusnya memberikan kehidupan, bukan kehancuran dengan kandungan bahan kimia yang digunakan manusia. “Semestinya pertanian itu menghidupi, dan bermanfaat. Dua alasan itu menimbulkan satu kesadaran yang kuat bahwa pertanian organis lah yang semestinya diterapkan di Indonesia, kalau kita memang akan membangun negara agraris,” tegasnya.
“Karena itu, jika produk pertanian organis lalu menjadi mahal, sebenarnya kurang pas menurut saya,” lanjutnya. “Boleh saja ada semacam segmen. Kalau orang minta kualitas yang hebat, tentu harus menggunakan harga yang lebih baik. Tetapi, pasti ada segmen tertentu tak memerlukan harga begitu mahal,” papar lelaki paruh baya ini.
Ia pun berkisah bahwa selain melayani kebutuhan supermarket, Yayasan BSB juga melakukan pemasaran ke agen-agen yang mereka miliki, dengan harga relatif tak terlalu mahal. BSB tak sungkan menghentikan kerja samanya, jika supermarket yang dipasok mematok harga jual terlalu mahal. Ini dianggap tak sesuai dengan visi dan misi Pater. Hal itu pernah terjadi dengan salah satu supermarket besar yang ada di Jakarta.
Hari itu hari panen di kebun. Di lantai paling dasar gedung pemasaran, kesibukan terjadi. Keranjang kotak berwarna hijau, biru, dan kuning bertumpukan di atas lantai, berisi beragam hasil perkebunan. Di atas meja, seorang pegawai sibuk menimbang jamur dan memasukkannya ke kantung berlabel bulat bergambar wajah kakek berjanggut dan berambut putih bertuliskan Group Agatho Organics. Semua pekerja hari itu mengenakan kaus biru berkerah yang di belakangnya tercantum The Organic Way All in Harmony.
Sayuran ini akan beredar ke seluruh penjuru Jakarta, menuju ke agen-agen yang jumlahnya sekitar 28. “Pelanggan perorangan juga ada beberapa. Mereka membeli langsung ke kami karena tak ada agen penjualan di dekat mereka. Tetapi, kalau konsumen lokasinya dekat dengan agen, kami anjurkan untuk datang ke agen,” ujar Dini Dianing, bagian riset dan bisnis BSB. Dalam sistem penjualan, BSB menetapkan harga untuk petani, agen, dan konsumen. Dan ternyata, di sini pula pencarian Elly akan sayuran organik untuk konsumsi sang bunda yang terkena kanker, bermuara. Pada yayasan, ia bisa memesan puluhan kilogram wortel dan sayuran lainnya dengan harga terjangkau.
Di lantai, di antara sayur-mayur yang bertebaran dengan rapi, ada satu kotak berwarna biru yang menarik perhatian saya. Kotak yang dipenuhi selada itu dilengkapi secarik kertas berwarna putih kusam, tanda keranjang itu sudah sering kali digunakan. Sebuah tulisan tangan bertinta merah masih terbaca di kertas yang hampir terbelah di bagian tengahnya: Carolus.
Baca Juga: Ibu-ibu 'Flamboyan' Bertanam Sayur Demi Kelestarian Bandung
Setelah dipermainkan sorot mentari yang menari-nari di atas kawasan Salemba, Jakarta Pusat, tubuh saya tiba-tiba agak menggigil saat Albertus Setiawan, seorang penata gizi, menunjukkan sayur-mayur yang ada di dalam keranjang. Keranjang yang sama yang saya jumpai di Cisarua. Kini, saya berada di ruangan berpendingin berpintu logam, serupa lemari es raksasa, dikelilingi rak-rak untuk menyimpan sayur-mayur kebutuhan pasien yang berjumlah hingga 300 orang, di Rumah Sakit St. Carolus.
Saya tak lagi perlu bertanya, mengapa sejak 1996 rumah sakit ini menggunakan sayuran organik bagi seluruh pasien yang ada di sana, tanpa membedakan kelas tempat mereka berasal. “Sayuran dari Cisarua ini daya tahannya lebih lama, berbeda dengan sayuran di pasar,” ungkap pria yang biasa disapa Albert ini dengan ramah. Ia berpendapat, sayuran dari pasar bisa jadi telah melalui perjalanan panjang sebelum dibeli oleh pihak rumah sakit, membuatnya tidak segar.
Selain itu, “dari segi efektivitas, sayuran Cisarua bisa lebih banyak kita gunakan. Wortel-wortel ini hanya perlu dikupas tipis, sementara kalau dari pasar, wortelnya banyak yang berlubang dan berair, jadi terpaksa harus kita buang. Labu dari pasar juga banyak luka hitamnya,” ujar Albert sambil menyodorkan wortel-wortel gendut sedikit kusam namun bersih, kiriman dari BSB. Ia pernah membandingkan berat kotor dan berat bersih yang mereka dapatkan, saat berbelanja sayur organik dan non-organik. “Jauh lebih hemat jika menggunakan sayur organik,” terangnya.
Pihak rumah sakit tak hanya memikirkan pasiennya. Sebagian kecil pasokan sayur organik ini masuk ke koperasi karyawan. “Karyawan bisa memesan, dan saat pulang bekerja, tinggal mengambil pesanan mereka,” papar Albert.
Dari balik kisi-kisi, saya melihat dapur yang dipenuhi panci-panci raksasa yang berkilau di bawah sinar lampu. Wadah makanan pasien yang ditempeli lembaran notes beraneka warna: kuning tua, kuning muda serta hijau muda tertempel dengan rapi di sisi luar, siap menuju ruang pasien untuk santapan siang.
Sebenarnya, pangan organik hanya sejauh beberapa langkah dari pintu rumah. Karena ternyata, di sela hutan beton yang menjulang, masih ada warga ibu kota yang bisa memenuhi sendiri kebutuhan pangan mereka sehari-hari, dari hasil kebun sendiri.
“Silakan duduk, Mpok,” ujar Ramin Saaman dengan hangat, saat saya berkunjung ke rumahnya yang terletak tidak jauh dari Pasar Induk Kramat Jati. Angin berkejaran di sela dedaunan yang memenuhi teras dan pekarangannya. Tak lama kemudian, ditemani segelas teh hangat serta kecipak ikan yang sesekali terdengar dari kolam, saya pun duduk terkantuk-kantuk di atas kursi rotan, mendengarnya berkisah.
“Saya sejak kecil senang menanam, jadi banyak pola tanam yang sekarang saya angkat dari cara menanam orang tua dahulu,” paparnya perlahan. Pada 1995, dua tahun sebelum berhenti bekerja, ia mulai membuat pupuk secara tradisional di waktu luang. Pupuk itu berasal dari kotoran kambing. “Dulu kan masih banyak tetangga memelihara kambing, kotorannya dibuang begitu saja. Ya saya kumpulkan.” Kotoran ini ia gunakan untuk memupuki pohon cabainya. “Hasilnya luar biasa, hingga tiga setengah tahun, cabai itu masih berproduksi,” lanjut pria berkaos haji dengan kantung di bagian dadanya ini.
Cabai ini pun menjadi incaran ibu-ibu sepulang mengaji, yang lewat di depan rumahnya. “Saya mulai berpikir, bahwa semua orang perlu cabai. Kalau orang menanam cabai di rumah masing-masing, tentu mereka tak perlu membelinya,” tutur Ramin sambil mengenang masa lalu.
Ia pun mulai memelihara antara lain sawi, kangkung, dan selada, hingga seluruh pekarangannya dipenuhi tumbuhan hijau. Sejak saat itu, “tak hanya ibu-ibu pengajian saja yang datang, tapi juga tetangga. Mereka meminta sawi. Ya saya persilakan saja, karena saya senang menanam kalau itu hasilnya baik, menjadi hiburan untuk saya,” ujarnya sambil tersenyum dan menempelkan telapak tangan di dada. Kini, untuk memupuki tanamannya yang semakin beragam, ia tak lagi menggunakan kotoran kambing yang mulai sulit dicari di sekitarnya. Sasarannya kini berbeda: Limbah kulit bawang dari para wanita yang bekerja sebagai pengupas bawang untuk dijual di pasar.
Baca Juga: Plastik dari Limbah Organik, Jawaban Permasalahan Sampah Dunia
Bau bawang yang tajam meyeruak saat saya tiba di bak pengomposan. Ramin yang dulu bekerja di bagian farmasi ini butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa mengakali hingga akhirnya kompos yang ia hasilkan dalam skala yang tak kecil ini tidak mengeluarkan bau yang mengganggu tetangga. “Kalau bau, mereka sudah teriak-teriak,” canda pria yang mengenakan peci hitam untuk menutupi rambut putihnya ini. Tidak jauh dari kami, tampak kantong-kantong pupuk bertumpukan menuju langit-langit.
Selain untuk memupuki tanamannya sendiri, pengelolaan limbah memberinya penghasilan. Sebelum saya tiba, dua orang dari komunitas gereja lebih dulu bertamu di rumah Ramin yang dipanggil Pak Haji ini. Mereka hendak memesan kantong-kantong pupuk, seribu buah banyaknya.
Saya mengikuti Ramin menuju tempat lain: sebuah bangunan tersangga rangka bambu tertutup jalinan plastik serupa kawat nyamuk, serta paranet beratap plastik. Di dalamnya terdapat bibit antara lain cabai rawit, terong hijau, terong lalap, terong ungu, sawi sendok, kucai, wortel, buncis, pare, kacang merah, dan tomat. Ramin tampaknya menanam semua yang bisa ditanam. Lilitan oyong terlihat merambat ke mana-mana: pergola teras, juga dinding pembatas dengan rumah tetangga. Di sana, saya melihat oyong, “Yang itu, satu meter panjangnya,” pungkas Ramin.
“Ada 10,3 juta hektare pekarangan yang siap ditanam di Indonesia. Bandingkan dengan padi yang luasannya hanya delapan juta hektare,” tegas Haryono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, di ruang kerjanya di kawasan Pasar Minggu, tepat pada pukul tujuh pagi itu. Menurutnya, karena angka itulah program Kawasan Rumah Pangan Lestari yang disingkat KRPL ini dimunculkan, dengan salah satu prinsip utama ketahanan dan kemandirian pangan keluarga.
“KRPL diharapkan berjalan dengan terdiri dari minimal 30 rumah tangga,” tutur Etty Herawati, Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta. “Di lingkungan ini, ditanam tanaman siap konsumsi. Untuk mempermudah masyarakat, kebun bibit inti ada di sini. Sementara untuk di KRPL, tersedia kebun bibit desa,” lanjutnya sambil mengajak saya menyambangi kantornya.
Saat melewati pintu pagar BPTP yang letaknya tak jauh dari tempat Haryono bertugas, tiba-tiba riuhnya jalan seolah hilang ditelan indahnya tata tanaman yang menghiasi halaman. Beragam teknik penanaman, pembibitan, kolam ikan, hingga tempat pembiakan cacing, tertata baik mengelilingi gedung kantor itu.
Menurut Etty, ini merupakan model bagi 20 KRPL yang tersebar di Jakarta. “Kami uji coba dulu di sini, baru diterapkan di lapangan,” ujarnya. Awalnya saya curiga bahwa tanaman sebagus ini dipelihara dengan sentuhan bahan kimia. Saya pun bertanya, “apakah ini semua pengelolaan ini dilakukan dengan sistem organik?” Etty mengiyakan dengan tegas dan membawa saya ke kandang berisi puluhan kelinci yang air seni serta kotorannya menyuburkan tanaman yang ada di sana.
Di akhir kunjungan, ia menyuguhi saya dengan minuman sari wortel nanas serta sari rosela dicampur jahe, yang keduanya dikemas di dalam botol plastik kecil, juga kue-kue yang terbuat dari campuran bayam. Semuanya berasal dari kebun. Hal inilah yang diajarkan kepada ibu-ibu yang menjalankan program KRPL. “Supaya ada motivasi untuk melestarikan. Kalau ada produk bernilai tambah, kan ada motivasi untuk menanam,” ujarnya bersemangat.
Tak hanya Kementerian Pertanian yang berusaha menyadarkan masyarakat dengan programnya. Sebuah mobil boks besar dengan dinding yang bisa dibuka, selalu hadir di Pasar Organik Jakarta. Di dalamnya terdapat peralatan lengkap untuk mengedukasi masyarakat, mulai dari televisi, proyektor, buku dan alat permainan anak, juga alat peraga metode penanaman. Semua listrik yang menghidupi bagian dalam mobil berasal dari panel surya di atap si Mohi atau Mobil Hijau, milik SIKIB.
Di suatu pagi yang riuh, saat saya berada di atas mobil itu, seorang wanita paruh baya mendekati staf Mohi. Ia berkata bahwa halamannya terlalu sempit, dan ia takut tanamannya tak akan tumbuh. “Pasti bisa,” ujar Deasy Kindrawati Tuwo, tiba-tiba. Ia adalah kepala sekretariat Mohi Jakarta yang saat itu sedang berbincang dengan saya. Ia pun mencontohkan kepada sang pengunjung, bahwa ia yang tinggal di apartemen pun bisa menanam bayam, tomat, cabai, dan jeruk.
Baca Juga: Menilik Sejarah Kompos, Emas Hitam Solusi Mengatasi Limbah Makanan
“Di pasar organik, kami mengajarkan tentang pertanian organik, memberi mereka benih yang gampang tumbuh. Kangkung dan bayam kan tinggal tabur saja, sudah bisa panen,” paparnya. “Mereka pun sering datang kembali dan melaporkan, tanaman mereka sudah tumbuh.”
“Kegiatan Mohi yang utama ialah menyosialisasikan hidup ramah lingkungan. Organik, salah satunya,” ungkap Deasy setelah berhasil meyakinkan si ibu pengunjung untuk membawa pulang bibit kangkung dan cabai. Target utama mereka adalah ibu dan anak-anak. “Pertanian rumah tangga artinya memberdayakan ibu-ibu rumah tangga, karena semuanya dimulai dari keluarga,” lanjut Deasy. Inilah salah satu cara SIKIB dalam mengadopsi program KRPL yang dimiliki oleh Kementerian Pertanian.
Sembari duduk di bangku piknik yang diletakkan di atas mobil hijau, Deasy bercerita, “Ada ibu-ibu yang menghitung, dengan menanam sayur sendiri mereka bisa menghemat 400 ribu rupiah sebulan.”
Beberapa hari setelah mengunjungi Mohi, saya duduk di lantai yang dingin, menikmati suara gemericik air dari sistem akuaponik—air dari kolam, yang dipompa untuk mengairi tanaman yang ada di atasnya. Air yang mengandung kotoran ikan itu akan tersaring dan meluncur turun kembali ke kolam ikan patin yang ada di halaman keluarga Kartiyo di area Kampung Batas, Pondok Betung. Kampung ini terletak tepat di perbatasan Tangerang Selatan dan Jakarta Selatan.
Hanya kendaraan roda dua yang bisa menelusuri gang-gang sempit ibu kota ini. Namun, inilah perumahan padat terasri yang pernah saya temui. Jauh dari kesan kumuh, beragam tanaman menghiasi pagar dan bagian atas selokan. Juntaian sawi menenggelamkan pagar di balkon lantai dua sebuah rumah.
Di bagian depan rumah yang hanya seluas tiga kali tujuh meter dan tertutup semen serta keramik, keluarga Kartiyo bagai memiliki segalanya: puluhan tanaman dalam pot, dua kolam ikan—patin dan nila, bak pembuatan kompos, bahkan satu kandang ayam. Tak ada lahan yang tak berguna untuk keluarga ini.
“Dulu kami senang menanam tanaman hias, agar tak terlihat kumuh,” ujar Uci, panggilan ibu Kartiyo. Namun, saat program Mobil Hijau masuk ke daerah ini, Uci pun mendapatkan banyak pembinaan. “Bu Erna Witoelar saat berkunjung ke sini berkata kepada saya, kalau bisa, lebih baik menanam sayuran agar dikonsumsi sendiri.”
“Sekarang, kalau mau bikin sayur bayam, ya tinggal ambil saja di depan,” ujarnya senang. Selain untuk kebutuhan masak sehari-hari, jahe merah yang ditanam Uci di dalam pot-pot yang berjejeran di dekat pagar, ia olah menjadi bubuk jahe siap seduh, untuk mendapatkan penghasilan lebih. “Bubuk jahe milik saya tidak pakai bahan pengawet. Tetapi belum saya pasarkan ke mana-mana, soalnya izinnya belum ada,” ungkapnya. Ia dan para ibu lainnya semakin rajin memproduksi jahe bubuk, guna memenuhi pesanan rekan mereka.
Tak hanya Uci dan para tetangganya yang berhasil mendapatkan manfaat dari pekarangan sendiri. Beberapa perumahan di Bekasi juga berhasil menghijaukan lingkungan mereka, melalui program yang dijalankan oleh Mobil Hijau.
Empat hari sebelum tulisan ini selesai, saya berbincang dengan Elly melalui telepon. Kini, selain mengandalkan produk Pater Agatho, ia sudah mulai mencoba menanam sayur sendiri di pekarangannya. Setelah sang ibu mengonsumsi makanan organik selama empat tahun, dokternya terkaget-kaget. Ternyata, perkembangan kankernya tak sepesat perkiraan sebelumnya. “Rambut mama jadi berkilau-kilau dan telapak kaki yang tadinya pecah-pecah, tertutup seperti tumbuh sel baru,” Elly mengenang.
Sang ibu telah tiada akibat usia. Namun, Elly dan keluarganya masih terus mengonsumsi makanan organik. Kini, semakin banyak teman yang ia tulari kebiasaannya. Mereka pun saling bertukar resep. Selain sayur dan buah, sesekali Elly menyantap daging ayam atau ikan. Selama tujuh tahun sejak mengonsumsi sayuran bebas bahan kimia, keluarganya tak pernah minum obat jika sakit dan jarang sekali pergi ke dokter. “Kami belajar, bahwa ternyata tubuh kita bisa menyembuhkan diri dengan makanan yang baik.”
Feature "Kontradiksi Pangan Organik" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2014