Kontradiksi Pangan Organik: Benarkah Ditakdirkan untuk Orang Kaya

By Titania Febrianti, Minggu, 28 Maret 2021 | 08:00 WIB
Sekelompok anak Afrika menunjukkan beras. Pertanian bisa menjadi salah satu dampak paling mengerikan di Bumi. (Riccardo Lennart Niels Mayer/Thinkstock)

Satu hal menarik yang saya dapati selama mengunjungi restoran organik yang tersebar di Jakarta: Pengunjung selalu turun dari kendaraan roda empat sebelum memasuki pintu restoran. Tingkat perekonomian mereka bisa dinilai dari apa yang menempel di tubuh. Di kalangan umum, anggapan bahwa produk organik adalah barang yang berharga tinggi, sudah biasa. Menjadikannya tak dilirik oleh masyarakat tingkat ekonomi bawah, apalagi mereka yang belum memahami efek residu bahan kimia bagi tubuh. Benarkah sayuran yang begitu berharga karena tak mengandung bahan kimiawi ini menjadi tinggi nilainya di pasaran dan hanya milik kaum berpunya?

Saya mulai mencoba mencari jawaban itu di kampus Institut Pertanian Bogor yang dipenuhi  oleh pepohonan, di sebuah ruang yang mungil di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). “Pangan organik adalah pangan yang berasal dari sistem pertanian organik. Yaitu sistem yang meminimalkan atau meniadakan penggunakan pupuk sintetis, pupuk kimia, pestisida kimia,” ujar Ahmad Sulaeman, wakil dekan FEMA IPB

“Di dalam organik tidak ada yang namanya limbah. Karena limbah dari satu pertanian, menjadi masukan bagi pertanian berikutnya.” Ahmad mencontohkan tanaman jagung di rumahnya, yang dedaunannya menjadi limbah untuk pakan kambing dan ikan. Setelah itu, kotoran yang dihasilkan kambing diolah menjadi pupuk.  “Jadi, tidak ada istilah bahwa petani organik tidak menanam padi karena tidak ada pupuk. Karena, pupuk itu bukan sesuatu yang harus dibeli. Apalagi pestisida.”

“Semestinya harga organik lebih murah. Kenapa mahal? Karena suplai sedikit,” paparnya. Ia melanjutkan bahwa faktor risiko datangnya hama serta perubahan cuaca turut membuat harga melambung. Apalagi hama yang datang dari perkebunan konvensional atau non-organik, yang ada di sekitarnya.

Baca Juga: Iklim yang Tak Kondusif Membuat Peradaban Kuno Tiongkok Kian Hidup

Konsumen memilih sayuran organik di salah satu pasar modern di Jakarta Selatan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Dua hari kemudian, matahari pagi masih bersembunyi di balik gedung-gedung yang tinggi menjulang di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Namun di Jalan Sunda yang sempit, tepat di samping sebuah pusat perbelanjaan, sekelompok orang sudah menyibukkan diri pagi itu. Mereka menata barang dagangan di atas meja-meja bertenda. Sayuran segar, tumpukan kantung-kantung beras, buah-buahan, makanan siap saji seperti tahu dan tempe serta pecel, juga jus beraneka warna, mulai bermunculan menghiasi pemandangan di sepanjang jalan itu.

Saat ruas Thamrin mulai ramai dengan orang-orang yang beraktivitas saat Car Free Day (CFD) digelar setiap minggu, meja-meja ini mulai dikerubuti banyak orang. Inilah salah satu cara untuk mendapatkan produk organik dengan harga lebih rendah dibandingkan yang ada di supermarket.

Di sini, meja akan ramai dengan para pejalan kaki, para pesepeda, juga keluarga lengkap dengan balita mereka. Saya memperhatikan, harga pepaya, kangkung, sawi, bayam, hanya memiliki perbedaan yang sedikit dibandingkan dengan harga sayuran non-organik, dan jauh di bawah harga yang terpajang di etalase-etalase supermarket yang bermandikan cahaya lampu sorot.

“Pasar organik dimulai saat Hari Ibu bulan Desember tahun lalu. Ide ini berawal dari ibu-ibu penggemar sayuran organik yang ingin bekerja sama,” ungkap Erna Witoelar, selaku salah seorang anggota Pilar Indonesia Hijau, program yang dijalankan oleh Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB). Akhirnya, bersama Sylviana Murni—Deputi Gubernur Bidang Kebudayaan dan Pariwisata DKI, serta Kementerian Pertanian, Pasar Organik ini pun terselenggara. “Kami juga sedang mendorong munculnya pasar organik di kota-kota, juga di wilayah lain di jakarta,” ujar Erna.