Dampak Bencana dan Perubahan Iklim terhadap Kaum Perempuan Sejagad

By National Geographic Indonesia, Selasa, 6 April 2021 | 09:00 WIB
Porter perempuan hanya diperbolehkan membawa beban seberat 15 kilogram. (Jeff Heimsath/National Geographic)

Menyadari hal ini, sekarang, pemerintah dan organisasi yang bekerja untuk perubahan iklim secara bertahap mulai memasukkan pendapat perempuan dalam kebijakan dan perencanaannya. Sayangnya, saat ini, keterwakilan perempuan di badan perunding iklim nasional dan global masih berada di bawah 30 persen.

"Wanita sering tidak terlibat dalam keputusan yang dibuat mengenai tanggapan terhadap perubahan ikim," kata Dian Liverman, ilmuwan lingkungan. Sebagai penulis untuk Panel Antarpemerintah tentang Perubahan iklim (IPCC), Liverman telah lama mengamati jumlah perempuan yang terlibat dalam bidang ini.

Baca Juga: Perubahan Iklim Penyebab Punahnya Mamut, Kungkang, dan Megafauna Lain

Seorang perempuan Tibet menggunakan baju tradisional sembari membawa roda doa. (Feri Latief)

"IPCC telah sangat menderima hal ini (perubahan iklim berdampak pada perempuan) dan benar-benar berdiksusi tentang bagaimana mereka bisa mendukung perempuan dengan lebih baik," jelas Liverman. "Wanita separuh dunia Ini penting untuk berpartisipasi dalam semua keputusan besar," tambahnya.

Pakar kemiskinan dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa ratusan juta orang di dunia sedang menghadapi kelaparan, kemiskinan, penyakit, bahkan kematian akibat perubahan iklim. 

 

Para ahli kemiskinan ekstrem dan HAM PBB mengatakan bahwa penting untuk segera mengatasi masalah pemanasan global. Philip Alston, ahli hukum Australia, meramalkan konsekuensi mengerikan dari perubahan iklim bahkan dalam skenario terbaik. 

Alston mengatakan bahwa dunia memerlukan perubahan mendasar terkait bahan bakar fosil yang menjadi sumber efek rumah kaca buatan manusia. Meski dampak perubahan iklim pada hak asasi manusia belum mendapat perhatian "tapi itu mewakili keadaan darurat tanpa preseden."

Maria Loretha, pejuang sorgum yang menginisiasi penanaman sorgum di Likotuden. Sejak panen pertama, warga mulai percaya diri untuk membangun dusunnya, kasus kekurangan gizi pada balita pun menurun. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon