Dampak Bencana dan Perubahan Iklim terhadap Kaum Perempuan Sejagad

By National Geographic Indonesia, Selasa, 6 April 2021 | 09:00 WIB
Porter perempuan hanya diperbolehkan membawa beban seberat 15 kilogram. (Jeff Heimsath/National Geographic)

Nationalgeographic.co.id—Kehidupan Bumi begitu terdampak perubahan iklim. Kita sebagai manusia turut merasakannya belakangan ini. Situasi ini berdampak serius bagi kehidupan perempuan sejagad.

United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa mengungkapkan bahwa 80 persen pengungsi akibat perubahan iklim adalah perempuan. Perempuan lebih rentan saat terjadi banjir atau kekeringan terutama bagi mereka yang bereran sebagai pengasuh utama dan penyedia makanan dan bahan bakar.

Bukti paling nyata terlihat di Afrika bagian tengah, tepatnya di sekitar Danau Chad. Saat ini, 90 persen Danau tersebut telah menghilang. Hal itu tentu berdampak bagi penduduk asli nomaden. Karena garis danau yang surut, para perempuan asli sekitar harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air.

Salomina Pabika menyelesaikan pembuatan noken di Jalan Anelagak Hotel Jerman, Kampung Yumugima, Distrik Siepkosi, Kabupatten Jayawijaya, Papua. Salomina merupakan salah satu penggerak masyarakat perempuan di Kelompok Kerajinan Noken Humi Soge yang memproduksi noken dan mengembangkannya menjadi produ (Djuli Pamungkas/National Geographic Indonesia)

"Di musim kemarau, para pria pergi ke kota, meninggalkan perempuan untuk menjaga masyarakat," ungkap Hindou Oumaru Ibrahim, koordinator asosiasi perempuan adat dan penduduk Chad (AFPAT) dikutip dari BBC.

Dengan musim kemarau yang lebih panjang seperti sekarang ini, perempuan bekerja lebih keras untuk memberi makan dan merawat keluarga mereka. "Mereka (perempuan) menjadi lebih rentan. Ini pekerjaan yang sangat sulit," sambung Ibrahim.

Jika Anda berpikir yang terkena dampak paling parah dari perubahan iklim, itu tak sepenuhnya benar. Secara global, perempuan cenderung mengalami kemiskinan dan lebih sedikit punya kekuatan sosial-ekonomi dibanding pria. Hal inilah yang membuat perempuan cenderung lebih sulit pulih dari bencana yang mempengaruhi insfrastuktur, lapangan kerja, dan perumahan.

Salah satu contohnya adalah badai Katarina di Amerika Serikat pada 2005. Pihak yang paling merasakan dampaknya adalah perempuan Amerika-Afrika saat terjadi banjir di Louisiana. Saat permukaan laut naik dan menyebabkan banjir, kota-kota dataran rendah seperti New Orleans semakin berisiko.

Asia, ibu berusia 14 tahun, menyeka bayi perempuannya, sementara anaknya yang berusia 2 tahun bermain di sampingnya. (Stephanie Sinclair)

"Di New Orleans, ada kemiskinan yang jauh lebih tinggi di antara populasi Amerika-Afrika sebelum badai Katrina," kata Jacquelyn Litt, profesor kajian perempuan dan gender di Rutgers University, AS.

"Lebih dari separuh keluarga miskin di kota tersebut dikepalai oleh ibu tunggal," imbuhnya. Litt menambahkan, para perempuan tersebut umumnya bergantung pada jaringan masyarakat untuk bertahan hidup. Saat badai datang, kerusakan mengikis jaringan tersebut.

"Ini menempatkan perempuan dan anak-anak mereka pada risiko yang jauh lebih besar," kata Litt. Selain itu, saat terjadi bencana, biasanya tempat penampungan darurat tidak cukup dilengkapi fasilitas pendukung untuk perempuan. Contohnya fasilitas sanitasi.

Ditambah lagi, tempat penampungan yang biasanya tidak terpisah antara laki-laki dan perempuan juga meningkatkan insiden kekerasan terhadap perempuan. Di antaranya adalah kekerasan seksual hingga berebut untuk makanan.

Perubahan iklim juga kita ketahui sebagai salah satu pemicu banyaknya bencana alam yang terjadi. Tenyata, saat bencana alam pun, jumlah perempuan yang bertahan lebih sedikit dibanding laki-laki.

Baca Juga: Bukan Perburuan, Perubahan Iklim Jadi Penyebab Kepunahan Badak Berbulu

Anak-anak perempuan bernyanyi pada pelajaran pertama hari itu di sekolah Ibn al Nafees di lingkungan Al Myassar, Aleppo timur. Sekolah itu memiliki 15.000 murid dan enam gedung saat ditutup lima tahun yang lalu. Pada Oktober, sekolah ini dibuka kembali dengan 1.000 orang siswa. (Sebastian Liste )

Menurut laporan Oxfam, saat terjadi tsunami tahun 2004, jumlah laki-laki yang bertahan hidup tiga kali lebih banyak dibanding perempuan. Ini berlaku untuk negara yang terdampak, yaitu Sri Lanka, Indonesia, dan India. Meski belum diketahui penyebabnya dengan jelas, pola serupa ditemui di seluruh wilayah.

Para peneliti berpendapat hal ini mungkin dikarenakan pria cenderung bisa berenang. Selain itu, perempuan biasanya kehilangan waktu untuk menyelamatkan diri karena fokus untuk memastikan anak-anak dan anggota keluarganya selamat.

Sebuah penelitian yang dilakukan selama 20 tahun pun menunjukkan hasil yang sama. Bedanya, di negara yang wanitanya memiliki kekuatan sosial-ekonomi lebih tinggi, perbandingan tersebut berkurang.

Menyadari hal ini, sekarang, pemerintah dan organisasi yang bekerja untuk perubahan iklim secara bertahap mulai memasukkan pendapat perempuan dalam kebijakan dan perencanaannya. Sayangnya, saat ini, keterwakilan perempuan di badan perunding iklim nasional dan global masih berada di bawah 30 persen.

"Wanita sering tidak terlibat dalam keputusan yang dibuat mengenai tanggapan terhadap perubahan ikim," kata Dian Liverman, ilmuwan lingkungan. Sebagai penulis untuk Panel Antarpemerintah tentang Perubahan iklim (IPCC), Liverman telah lama mengamati jumlah perempuan yang terlibat dalam bidang ini.

Baca Juga: Perubahan Iklim Penyebab Punahnya Mamut, Kungkang, dan Megafauna Lain

Seorang perempuan Tibet menggunakan baju tradisional sembari membawa roda doa. (Feri Latief)

"IPCC telah sangat menderima hal ini (perubahan iklim berdampak pada perempuan) dan benar-benar berdiksusi tentang bagaimana mereka bisa mendukung perempuan dengan lebih baik," jelas Liverman. "Wanita separuh dunia Ini penting untuk berpartisipasi dalam semua keputusan besar," tambahnya.

Pakar kemiskinan dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa ratusan juta orang di dunia sedang menghadapi kelaparan, kemiskinan, penyakit, bahkan kematian akibat perubahan iklim. 

 

Para ahli kemiskinan ekstrem dan HAM PBB mengatakan bahwa penting untuk segera mengatasi masalah pemanasan global. Philip Alston, ahli hukum Australia, meramalkan konsekuensi mengerikan dari perubahan iklim bahkan dalam skenario terbaik. 

Alston mengatakan bahwa dunia memerlukan perubahan mendasar terkait bahan bakar fosil yang menjadi sumber efek rumah kaca buatan manusia. Meski dampak perubahan iklim pada hak asasi manusia belum mendapat perhatian "tapi itu mewakili keadaan darurat tanpa preseden."

Maria Loretha, pejuang sorgum yang menginisiasi penanaman sorgum di Likotuden. Sejak panen pertama, warga mulai percaya diri untuk membangun dusunnya, kasus kekurangan gizi pada balita pun menurun. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon