Penjelasan PLTA Batang Toru Terkait Ancaman Orangutan Tapanuli

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 16 April 2021 | 09:00 WIB
Orangutan tapanuli jantan, Pongo tapanuliensis, yang menghuni kawasan hutan Batang Toru. Status konservasi IUCN adalah kritis. (Tim Laman/The MorphoBank Project)

Nationalgeographic.co.id—Akhir Maret lalu Erik Meijaard, salah satu peneliti yang menulis di jurnal PLOS One, mengungkap sub-populasi orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) mendekati masa kepunahannya lewat pembatasan gerak akibat aktivitas PLTA di Batang Toru.

Dalam Current Biology (Vol. 28, Issue. 11 tahun 2018), aktivitas PLTA itu dapat menggenangi 8% habitat, sehingga orangutan yang tersisa kurang dari 800 ekor itu terisolasi.

Isolasi itu, menurut para peneliti, bisa menyebabkan kecacatan genetik lewat perkawinan sedarah pada orangutan. Ancaman kepunahan akan menghantui mereka 100 hingga 500 tahun lagi.

Temuan itu dibantah oleh Agus Djoko Ismanto, Senior Advisor on Environtment PT NSHE yang terlibat dalam proyek PLTA itu.

Proyek PLTA, menurutnya, tak mengganggu aktivitas orangutan Tapanuli karena sudah diteliti dampak lingkungannya. Proyek itu sendiri merupakan komitmen penyelamatan masa depan lingkungan yang beriringan dengan pembangunan.

Baca Juga: Orangutan Tapanuli Menuju Jurang Kepunahan Akibat PLTA dan Perburuan

Proses penggenangan yang dilakukan proyek itu pun juga sudah direncanakan agar tak mengenai Areal Penggunaan Lain (APL) di lahan konservasi. APL itu merupakan tempat warga melakukan aktivitas, dan kadang menjadi tempat aktivitas orangutan.

"[Genangan] kita itu enggak ada tempat penduduk di sana. Kosong," ujarnya kepada National Geographic Indonesia, Senin (12/04/2021). "Ini konturnya [penampung air PLTA], ini curam banget. Jadi menggenangi bawah saja. Kita pakai apa adanya, 1/3 kontur itu tenggelam."

Apabila ada proyeksi bahwa PLTA ini akan menghilangkan 9.600 hektare pada 2022, ungkap Ismanto, proyeksi itu tidak berdasar karena pada kenyataannya areal genangan totalnya 90 hektare termasuk "areal genangan baru 66 hektare, bukan 9.600 hektare."

PLTA Batang Toru adalah PLTA Run-of River, yang mengandalkan keteraturan suplai air sehingga membutuhkan daerah aliran sungai yang bagus. Kawasan proyek pun dibangun tanpa merelokasi warga. Kemudian, ia merujuk pada diagram pemetaan dari publikasi di Current Biology yang terbit pada 2018. "Jadi bukan yang [area] cokelat tadi yang diblok," imbuhnya merujuk Area Penggunaan Lain.

Dalam laporan itu, para ilmuwan (Sloan et al., 2018) menyarankan agar jalan yang membagi sub-populasi orangutan bisa saling berbaur. Jalan yang dimaksud itu berada Jalan Trans-Sumatra di sekitar Desa Hutaimbaru.

Baca Juga: Teknologi Machine Learning Bantu Selamatkan Pelestarian Orangutan

Cara itu menurut Ismanto, tak bisa diterapkan karena jalanan di sana sudah lama untuk menghubungkan kota, dan di dalam rutenya ada perkampungan warga.

Ia menyarankan, supaya orangutan Tapanuli tidak punah karena genetik, ada cara yang bisa dilakukan dengan pertemuan buatan seperti: pemindahan beberapa individu ke kelompok lain agar bisa kawin, atau dibuatkan jembatan penyeberangan orangutan.

Pembagian lahan di sekitar kawasan konservasi orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) di Sumatera Utara. (Sean Sloan et al/Current Biology)

Perburuan orangutan Tapanuli juga diungkap sebagai sumber kepunahan oleh para ilmuwan. Aktivitas manusia lainnya juga kerap mempersekusi kepada mereka setiap bertemunya orangutan dan masyarakat.

Ismanto menyebut perburuan biasanya dilakukan oleh orang luar daerah sana, atau pendatang. Sebab masyarakat di perkampungan sekitar konservasi memegang teguh tradisi yang menganggap orangutan keramat.

Ia menyayangkan bila terdapat penolakan oleh para ilmuwan kepada PLTA lewat penyuratan kepada presiden untuk menutup proyek itu.

Sebab, PLTA adalah upaya untuk memberi pasokan listrik ramah lingkungan di Sumatera Utara yang permintaannya tertinggi. Berbeda dengan pemasok listrik dengan tenaga fosil batubara yang memicu perubahan iklim, PLTA bergantung pada alam sekitar.

Ismanto mengatakan bahwa PLTA Batang Toru berkontribusi memikul 15 persen beban puncak di Sumatra Utara, menggantikan 15 persen penggunaan bahan bakar fosil. Selain itu pembangkit listrik ini juga menjadi bagian dari pelaksanaan pengurangan emisi karbon sesuai dengan Paris Agreement, sekaligus upaya melestarikan hutan dan biodiversitas.

"Inilah yang absen dari hasil kajian para ilmuwan bahwa PLTA tak menyebabkan perubahan iklim," demikian ungkap Ismanto. "Padahal itu variabel besar, semua terdampak di dunia. Apalagi orangutan."

Baca Juga: Hutan di Rawa Tripa Berkurang, Kehidupan Orangutan Sumatra Terancam

Orangutan tapanuli betina, Pongo tapanuliensis, di hutan Batang Toru. (Tim Laman/The MorphoBank Project,)

 

Sementara itu berkait dampak potensial terhadap orangutan, proyek PLTA Batang Toru memberikan sederet rekomendasi. Permasalahan habitat yang terfragmentasi dikurangi dengan mempertahankan kanopi penghubung, membangun jembatan arboreal, dan pengelolaan habitat. Untuk kasus meredam konflik manusia dan satwa, PLTA Batang Toru memberikan pendidikan konservasi dan menghimpun partisipasi masyarakat dalam pemantauan lingkungan melalui patroli.

Ia menyebut, semestinya pembahasan para ilmuwan berfokus pada lingkungan, tanpa harus melibatkan pembahasan investor proyek ini yang didanai oleh perusahaan di Tiongkok.

"Itu di setiap publikasi selalu soal Chinese. Kalau murni soal isu biodiversity enggak usah ngomongin soal investment," protesnya. "Itu kan di sekitar area konservasi kan enggak cuma kami, tetapi kenapa kami yang diserang?"

Ia menambahkan bahwa di kawasan Batang Toru sudah lama dilakukan eksplorasi oleh sawit, dan tambang emas. Berdasarkan pengamatan lewat citra satelit, kawasan konservasi orangutan Tapanuli itu berdekatan dengan lokasi pertambangan emas. "Dia lebih luas loh itu, dan dia industri extracted, enggak bisa diperbarui," Ismanto menambahkan.