Mulus, Senandung Kehidupan Urban Jakarta dalam Semangkuk Soto

By National Geographic Indonesia, Rabu, 14 April 2021 | 14:23 WIB
Dua tukang ojek sepeda menanti pelanggan di depan pintu selatan Stasiun Jakarta Kota. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Soto berasal dari kuliner Cina peranakan di Semarang yang dikenal dengan nama “caudo”. Ketika masuk ke Betawi, soto kemudian mendapat pengaruh lain dari berbagai bangsa yang datang ke kota ini untuk berdagang.

“Itu sudah risiko. Karena Bapak itu lebih mentingin rasa. Kalo pake susu, rasanya lebih enak, nggak bosan. Lagian, lebih sehat karena nggak kolesterol.”

Semangkuk soto  terhidang di dalam nasi putih. Wangi susu menguar di udara. Segera setelah ia tiba di meja, pikiran menggila dan air liur membuncah. Rupanya, syaraf pada lambung dan usus ngebut mengirimkan informasi ke otak. Artinya, nafsu makan langsung tinggi.

Baca Juga: Mencerna Kembali Pesan Banjir dari Leluhur Jakarta

Lukisan cat minyak karya Andries Beeckman yang menggambarkan Kastil Batavia dilihat dari Kali Besar. (Tropenmuseum/Wikimedia)

Kuliner Betawi, termasuk soto, adalah bukti nyata hasil perpaduan berbagai budaya, seperti Tiongkok, Arab, Melayu, dan Portugis. Perpaduan ini mempengaruhi pemilihan bahan-bahan dan bumbu-bumbu dalam sebuah hidangan Betawi menjadi seperti yang saat ini kita kenal, seperti soto betawi.

Beberapa literatur, seperti Nusa Jawa: Silang Budaya karya Dennys Lombard, menyatakan, soto berasal dari kuliner Cina peranakan di Semarang yang dikenal dengan nama “caudo”. Ketika masuk ke Betawi, soto kemudian mendapat pengaruh lain dari berbagai bangsa yang datang ke kota ini untuk berdagang.

Seperti, kuah soto betawi merupakan pengaruh dari India, karena serupa dengan hidangan kari khas negeri tersebut. Lalu, pengaruh minyak samin yang berasal dari Arab.