Rumah Achmad Soebardjo, Penyusun Naskah Teks Proklamasi, Kini Dijual

By Utomo Priyambodo, Rabu, 14 April 2021 | 15:31 WIB
Rumah Achmad Soebardjo, salah satu penyusun naskah teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, di Cikini Raya, Jakarta Pusat. (DOKUMENTASI KEMENLU/ Akun Twitter @Kemlu_RI )

Nationalgeographic.co.id—Rumah Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (1896-1978), salah satu tokoh dalam penyusunan naskah teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, kini sedang dijual. Rumah bergaya Hindia yang dibangun sekitar akhir abad ke-19 ini penuh nilai sejarah awal terbentuknya Republik. Berlokasi di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat.

Rumah ini dijual melalui iklan di akun Instagram Kristo House (@kristohouse), sebuah kantor agen properti di Jakarta. "Sekarang karena beliau (Achmad Soebardjo) sudah meninggal, jatuhnya (hak miliknya) sudah masuk ke ahli waris. Sekarang dari mereka memang mau menjualnya," kata Kristo kepada National Geographic Indonesia pada Rabu, 14 April 2021.

Luas tanahnya 2.915 meter persegi dan luas bangunan 1.676 meter persegi. Harga penawarannya Rp200 miliar. Kristo Hosea, agen properti dari Kristo House, membenarkan bahwa rumah Achmad Soebardjo itu memang sedang dijual. Kini, rumah yang memiliki sertifikat hak milik (SHM) itu menjadi hak ahli waris keluarga Achmad Soebardjo.

"Sejauh ini sih belum ada penawar yang serius via saya. Nggak tahu kalau ke pihak keluarga langsung," ujarnya. Kristo juga menambahkan bahwa sampai sekarang rumah ini masih ditinggali oleh pihak keluarga Achmad Soebardjo.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Kho Ping Hoo, Maestro Cerita Silat Indonesia

Rumah yang berlokasi di Jalan Raya Cikini No.80 itu pernah dikunjungi oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada 2016. Retno Marsudi mengunjunginya karena tahu bahwa rumah tua berarsitektur Belanda itu merupakan kediaman milik Menteri Luar Negeri pertama Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Selain itu, rumah tersebut juga pernah dijadikan tempat kerja Achmad Soebardjo atau kantor Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia di hari-hari awal kemerdekaan Indonesia.

Achmad Soebardjo ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri pada 19 Agustus 1945. Soebardjo harus menghadapi kondisi serba terbatas dalam menjalankan tugasnya karena ia belum mempunyai kantor, pegawai, dan alat-alat kantor. Soebardjo, kata Retno, memulai pekerjaan itu dengan tangan kosong. Ia mengubah rumah pribadinya di kawasan Cikini menjadi kantor pertama Kementerian Luar Negeri dan merekrut 10 orang sebagai pegawainya.

"Jadi memang ini rumah yang sangat bersejarah bagi perjuangan diplomasi Indonesia. Merupakan saksi awal berdirinya Kementerian Luar Negeri," tutur Retno seperti diberitakan Kompas.com beberapa waktu lalu.

Untuk merekrut pegawai, Soebardjo memasang iklan di harian Asia Raya berbunyi “Siapakah yang ingin menjadi pegawai Departemen Luar Negeri?” Dalam hitungan hari sepuluh orang bergabung. Lima orang dia jadikan sekretaris dan lima lainnya dia serahi tugas-tugas administratif.

"Soebardjo melakukan proses rekrutmen untuk mencari staf yang dapat membantu. Dalam satu hari dia mendapatkan 10 orang yang mau mendaftarkan diri sebagai staf," ujar Retno menceritakan sejarah awal Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Baca Juga: Obituari Umbu Landu Paranggi: Presiden Malioboro hingga Mahaguru Puisi

Bambang Eryudhawan, anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta sekaligus kurator dari Yayasan Bung Karno, mengatakan bahwa dirinya sudah tahu sejak lama bahwa rumah Achmad Soebardjo tersebut akan dijual. "Saya sudah tahu akan dijual sejak 10 tahun lalu. Karena keluarga sudah butuh uang. Apalagi sejak Ibu Soebardjo meninggal, dorongan untuk menjualnya jadi lebih kuat karena keluarga nggak bisa ngopeni (mengurus) rumah itu dan memang butuh biaya karena keluarganya kan besar, ya," papar Yudha, sapaan Eryudhawan, kepada National Geographic Indonesia.

Yudha menuturkan Achmad Soebardjo sudah tinggal di rumah itu sejak zaman kolonialisme Belanda. "Pak Soebardjo tinggal di situ sejak zaman perang, sebelum Jepang datang dia sudah tinggal di situ," ucapnya.

Banyak perisitiwa bersejarah yang pernah terjadi di rumah itu. Selain menjadi cikal bakal Kementerian Luar Negeri Indonesia, rumah itu juga pernah jadi tempat pertemuan antara Soekarno dan Tan Malaka.

Dan terlepas dari itu semua, sosok Achmad Soebardjo yang merupakan pahlawan nasional Indonesia juga merupakah tokoh utama kemerdekaan Indonesia. Jadi kehidupannya selama di rumah itu juga pastinya menyimpan nilai sejarah yang besar.

Sejarah mencatat, Achmad Soebardjo merupakan tokoh yang membebaskan Soekarno dan Hatta sewaktu diculik oleh para pemuda ke Rengasdengklok di Karawang. Pria kelahiran Kabupaten Karawang 23 Maret 1896 itulah yang berhasil membawa Soekarno dan Hatta ke Jakarta untuk mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Baca Juga: Hajjah Rangkayo Rasuna Said, 'Singa Betina' yang Hidup di Tiga Masa

Pria yang wafat di Jakarta pada 15 Desember 1978 itu jugalah yang kemudian berperan menemukan tempat untuk rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 16 Agustus 1945. Itu merupakan rapat di malam jelang Hari Proklamasi Kemerdakaan 17 Agustus 1945.

"Achmad Soebardjo yang kemudian datang ke rumah Laksamana Maeda untuk minta izin menggunakan rumah Maeda. Karena kebetulan Achmad Soebardjo kan dekat dengan Maeda," ujar Yudha.

Laksamana Muda Tadashi Maeda adalah perwira perwakilan Angkatan Laut Jepang di Batavia. Meski Maeda orang Jepang, dia adalah sosok yang mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Soebardjo dan Maeda dekat karena pernah terlibat pembangunan asrama untuk menjadi tempat kursus bagi para pemuda di Indonesia.

Di rumah Maeda itulah, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebardjo menyusun naskah teks prokalamasi kemerdekaan Indonesia. "Mereka bertiga yang duduk di satu meja, disaksikan oleh Sukarni, Sayuti Melik, dan ada beberapa orang Jepang dari angkatan laut dan angkatan darat yang hadir tapi tak mengganggu acara persiapan kemerdekaan itu kecuali duduk sebagai saksi," kata Yudha.

"Ada tiga orang tokoh utama yang menjadi aktor utama dari proses proklamasi itu, salah satunya Achmad Soebardjo. Jadi dari sisi sejarah Indonesia, rumah (Achamd Soebardjo) itu adalah salah satu jejak penting dalam narasi kemerdekaan indonesia," tegas arsitek pemerhati cagar budaya tersebut.

Baca Juga: Laksamana Malahayati, Pahlawan Perempuan Penumpas Cornelis de Houtman

Yudha mengatakan sebelumnya pihak Kementerian Luar Negeri sudah pernah datang ke rumah Achmad Soebardjo untuk membicarakan nasib rumah tersebut. "Salah satunya membicarakan bagaimana memastikan rumah ini tetap bisa dilestarikan dan adakah gagasan pemerintah pusat untuk membeli melalui Kementerian Luar Negeri. Tapi Kementerian Luar Negeri tidak dalam posisi belanja barang yang nilainya ratusan miliar itu. Karena, kan, anggarannya sudah dipatok untuk diplomasi. Jadi mungkin untuk belanja barang tepatnya ke Setneg (Kementerian Sekretariat Negara), ya."

Yudha berharap rumah tersebut dapat terus dijaga kelestariannya meski belum atau tidak ditetapkan sebagai cagar budaya Indonesia. Sebab, adalah nilai besar sejarah yang terkandung di dalamnya.

Kalaupun seandainya pemerintah akhirnya menetapkan sumah tersebut sebagai cagar budaya, Yudha mengimbau agar keluarga Achmad Soebardjo diberikan kompensasi yang sesuai. "Kalau cuma ditetapkan, kemudian nggak boleh diapa-apain, kan itu membunuh keluarganya juga doang. Nggak fair. harusnya negara ini kemudian memberi kompensasi sesuai kesepakatan bahwa rumah ini akan dirawat terus dan keluarga mendapatkan apa yang diharapkan. Nggak mungkin dong kebutuhan keluarga dibunuh hanya gara-gara cagar budaya. Jadi harus berimbang dan adil," sarannya.

Sebagai contoh, Yudha menyebut, rumah M.T. Haryono pernah dibeli langsung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun lalu. "Rp 70 miliar kalau nggak salah. Sekarang katanya mau jadi museum."

Baca Juga: Nasib Kapal-Kapal Kuno yang Tenggelam di Jalur Rempah Nusantara

Yudha juga menyarankan, bilapun nantinya rumah Achmad Soebardjo dibeli pemerintah pusat atau daerah, bangunan tersebut harus dikembangkan agar ramai dikunjungi banyak orang dan memberikan manfaat lebih besar. Misalnya, di sekitar bangunan utama yang masih dipertahankan keasilannya, bisa didirikan juga bangunan lainnya misalnya kafe dan coworking space sebagai tempat inkubator para penggerak startup di Jakarta. Bangunan utamanya juga perlu menjadi tempat kegiatan rutin agar ramai dikunjungi, misalnya jadi tempat pameran.

Sebagai contoh, Yudha menyebut bekas rumah dinas Dr. Saleh Mangundiningrat --dokter pribadi Paku Buwono X dan Paku Buwono XI—yang juga merupakan rumah cagar budaya di Solo, Jawa Tengah. Rumah itu kini telah disulap menjadi Bentara Budaya Balai Soedjatmoko.

Nama Sudjatmoko diambil dari dari nama salah satu putra Dr. Saleh. Sudjatomoko pernah jadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Ameria Serikat pada tahun 1968-1971.

Balai Sudjatmoko tersebut kini bersebelahan persis dengan Toko Buku Gramedia Solo yang baru dibangun belakangan. Balai itu kemudian jadi sering dikunjungi banyak orang karena kerap dijadikan tempat pameran seni dan bersebelahan dengan toko buku besar.

Rumah Achamd Soebardjo tentu saja perlu dirawat dan dilestarikan. "Tapi Tapi dia harus memberikan manfaat seoptimal mungkin juga bagi generasi muda. Bikinlah program-program atau kegiatan yang lebih prograsif di bangunan atau tanah itu," pungkas Yudha.

Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon