PENDARAN SULUH TERPANCANG di pelataran Candi Brahu. Sinaran lampu jingga yang temaram telah menampakkan romansa lekuk guratan wajah candi batu bata merah yang cendayam, namun rapuh. Sementara umbra di sisi lainnya seolah sengaja menyembunyikan teka-teki repihan keagungan peradaban masa klasik negeri ini.
Teka-teki repihan Majapahit di Trowulan—tampaknya nama baru dari Trang Wulan—pertama kali diendus oleh insinyur militer Hindia Belanda, Kapten Johannes W.B. Wardenaar pada 1815.
Dia berekspedisi ke desa itu atas perintah Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Misi utamanya, pengamatan reruntuhan kuno dan tinggalan arkeologi di sekitar Mojokerto. Tahun ini tepat kiranya kita memperingati 200 tahun penelitian tentang Majapahit oleh Wardenaar.
Baca Juga: Tiga Kerangka Manusia Ditemukan di Situs Istana Kerajaan Majapahit
Namun, Raffles pun keliru soal Candi Brahu dalam bukunya yang sohor, History of Java yang terbit pertama kali pada 1817. Lelaki Inggris itu jelas-jelas menyebutkan keterangan sebuah sketsa yang mengacu pada bangunan tersebut sebagai “salah satu pintu gerbang Majapahit.”
Wardenaar menyaksikan reruntuhan bangunan di Dusun Kedaton, kemudian membuat petanya yang kini tersimpan di British Museum. Kami meniti jejak Wardenaar di suatu sore, menyaksikan situs yang sama: Sehamparan struktur batu bata yang tumpang tindih dan ruwet. Sulit sekali menerka fungsi bangunan ini pada masanya.
Di seberangnya, kami menyaksikan hasil kerja keras para ahli arkeologi Indonesia yang berhasil menampakkan struktur rumah bangsawan dengan lantai terakota bersegi enam. Mungkin inilah bagian keraton Majapahit, entahlah, kami hanya bisa membayangkannya.