HIRUK PIKUK ITU BERASAL dari anak-anak Pramuka yang berkerumun di tepian kolam kuno, Dusun Dinuk. Mereka menyanyikan “Tepuk Pramuka” yang telah diadaptasi dengan jenaka dan sedikit ngeres sehingga membuat siapa saja yang mengerti bahasa Jawa akan tertawa. Termasuk saya.
Kapten Wardenaar tentu tidak pernah menjumpai kolam kuno ini. Bangunan ini baru ditemukan pada 1914, sekitar seabad setelah Wardenaar berjejak di Trowulan. Awalnya, warga melaporkan kepada Bupati atas temuan miniatur candi di permakaman. Ketika mereka berupaya menggalinya, mereka menjumpai tikus-tikus sawah lari kocar-kacir. Lalu, orang dengan mudahnya menjuluki sebagai “Candi Tikus”.
Sejatinya ini bukan candi, melainkan petirtaan. Kami berdiri di tepian, sembari memandangi sebuah bangunan kolam dari batu bata. Di tengah kolam terdapat pancuran berbentuk kepala makara, satwa air berbelalai mirip gajah dalam mitologi kuno.
Baca Juga: Studi Ikonografi Mengungkap Puncak Keindahan Seni Pahat Majapahit
“Nah, ruangan itu pemandiannya,” ujar Mang Hasan sembari menunjuk sebuah bilik yang berdinding rendah. “Kalau ada yang mandi di situ bisa kelihatan dong, Pak?” tanya seorang kawan seperjalanan. Mang Hasan menjawab sembari berkelakar jenaka, “Itu seni!”
“Diduga ini dibuat pada zaman Sindok—Mataram Kuno,” sambungnya. “Namun masih eksis dan digunakan pada zaman Majapahit.” Pandangan Mang Hasan mengarah pada menara pancuran, lalu dia berkata, “Ini melambangkan Mahameru tempat bersemayamnya para dewata.” Kemudian dia menunjuk dasar kolam yang mengering, “Ini semacam lautan yang berlapis-lapis. Yang mandi di sini adalah para raja ketika ada upacara.”
Kenapa petirtaan kuno perlambang persemayaman suci dewata itu justru menyandang nama satwa pengerat yang menjijikkan? Inilah takdir petirtaan kuno yang kurang beruntung itu.DARI PETIRTAAN KUNO itu kami menuju Museum Majapahit Trowulan. Lokasi museum itu mudah ditemukan lantaran lokasinya tak jauh dari Segaran, sebuah kolam tinggalan zaman Majapahit yang luasnya sekitar enam kali lapangan sepak bola!
Baca Juga: Pesan Teladan Kemajemukan Budaya dari Metropolitan Majapahit
Kami menyimak Mang Hasan yang tengah menerjemahkan satu per satu isi prasasti koleksi museum. Sekonyong-konyong dia memanggil saya seraya menunjuk sebuah studio mungil di tengah koleksi prasasti. Di salah satu dindingnya bergambar kepala Tyranosaurus dengan tulisan “3D Majapahit. Tunjukkan Nyalimu di dunia 3 Dimensi”.
Hal yang membuatnya sangat terpukul adalah sejumlah prasasti yang seharusnya terhormat justru seolah tercampakkan sebagai penghias dinding studio tersebut. Celakanya, sebuah prasasti bersanding mesra bersama sapu lidi dan pengki. “Salah satunya prasasti masa Girindrawardana, raja terakhir Majapahit.”
“Kita kadang prihatin melihat hal seperti itu,” ujarnya kala beranjak dari museum. “Satu sisi Majapahit kerap diagungkan, namun di sisi lain pelestariannya kurang. Yang diawasi saja tidak diperhatikan, apalagi situs yang di luar sana.”
Perusakan terhadap situs Majapahit terjadi setiap hari di Trowulan. Pada musim kemarau, terdapat ribuan linggan, atau gubuk pabrik batu bata tradisonal, yang menggerus temuan tapak leluhur. Namun, itulah mata pencarian utama mereka.
Kami mengunjungi salah satu linggan di Dusun Grogol, menuruni tangga setapak menuju galian penambangan batu bata. Saya menyaksikan remah sederet batu-batu yang merupakan lantai pekarangan rumah zaman Majapahit—yang segera lenyap hari itu juga!
Baca Juga: Dari Editor Juni 2019: Raffles dan Refleksi Kebinekaan di Tengger