Budaya Panji di Tatar Sunda, Meresap Ranah Islam dan Filosofis

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 23 April 2021 | 09:00 WIB
Tarian dan topeng dari Bali tampil dalam sikuen Mahakarya di pelataran depan Candi Prambanan. (Feri Latief)

"Baru sampai 1950, rame semua [di kalangan] para priyayi. Pelajar harus bisa tari Keuresus, malu rasanya kalau tidak bisa--malu dengan kelompok penari lain.

"Keurseus merupakan gerakan priyayi menari dengan tertib. Sabas Wiranatksumah yang mengatur tarian ini dengan berbagai batasan, patokan, dan strukutr untuk tari," jelasnya.

Dari Keurseus itulah, kemudian seniman bernama Tjetje Soemantri mencampurkannya dengan tari-tari lain dalam tarian topeng.

Baca Juga: Kelana Budaya Panji yang Melintasi Bentuk, Tempat, dan Waktu

Aerli Rasinah, generasi ke-11 penerus Tari Topeng Mimi Rasinah (Dok. Pertamina)

Tarian itu tak mengenal gender laki-laki perempuan, tokoh laki-laki di sana hanyalah Klana yang ditampilkan berkumis. Sisanya, tak menggambarkan kelamin apa-apa, termasuk topeng Panji itu sendiri.

Dalam pentas itu pun memiliki tahapan, yakni Klana, Tumenggung, Rumiang, Pamindo, dan terakhir Panji. Mencapai topeng Panji, Endang menjelaskan, adalah klimaks dari pertunjukkan itu.

"Kalau manusia telah mencapai Panji yang mampu menahan diri, emosi, serta nafsu--yang digambarkan dengan gemuruhnya gemalan, ia akan tetap bergerak tenang. Maka telah mencapai manusia hidayah atau sempurna," ungkapnya.

Rupanya, penggunaan tradisi Panji sudah ada sejak proses Islamisasi di tatar Sunda. Hal itu diungkap oleh Achmad Opan Safari Hasyim, ahli Topeng Cirebon dan Ruwatan.

Ia menyebut beberapa manuskrip menceritakan penggunaan Panji untuk dakwah di masa Sunan Kalijaga, menurut Naskah Babad Cirebon. Pagelarannya diadakan di siang hari, dilanjutkan pentas wayang di malam hari di Bangsal Paringgitan.