Budaya Panji di Tatar Sunda, Meresap Ranah Islam dan Filosofis

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 23 April 2021 | 09:00 WIB
Tarian dan topeng dari Bali tampil dalam sikuen Mahakarya di pelataran depan Candi Prambanan. (Feri Latief)

"Bangsal ini masih berguna untuk pertnujukkan topeng dan wayang. Sampai sekarang pertnujukkan itu masih dilakukan, terutama sekitar November, ketika diadakan pesta laut," Hasyim menjelaskan.

Kemudian tradisi topeng disebarkan oleh murid-muridnya, seperti Ki Nurkalam dan Pangeran Angkwaijaya atau Pangeran Losari. Karena terbagi dua, tradisi Panji memiliki dua jenis yakni, Slangit dan Palimanan yang hanya berbeda pada urutan tingkatan menuju Panji.

Dalam salah satu naskah Suluk Pesisiran, memiliki cerita tentang Panji dalam riwayat penyebaran Islam di Cirebon. Suluk ini memiliki empat jenis yang memiliki nilai filosofis keagamaan.

Suluk pertama berisi pengajaran syariat dan bersifat terpisah antara dalang dan wayangnya, mirip seperti penuturan isi.

Ada pula suluk kedua yang dikenal sebagai Barokan, yang mengajarkan thoriqot agama yang membuat wayang dan dalang menyatu dalam berdakwah.

 

Baca Juga: Kesenian Ketoprak: Dari Surakarta ke Yogyakarta untuk Semua Warga

Ki Pono Wiguno sedang membuat topeng tokoh Prabu Klono di kediamannya di Desa Diru Bantul, Yogyakarta. Dia seniman yang membuat topeng lakon khas Panji sejak 1971. Berawal dari kesenangannya mengikuti kakeknya bernama Ki Warso Waskito, keahlian membuat topeng diwariskan kepada Pono. Misinya begitu b (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Suluk ketiga menjelaskan hakikat yang menghubungkan diri manusia dengan Tuhan. Memiliki pemaknaan bahwa manusia tak memiliki hijab (penutup/sekat) untuk menghadap Tuhan, selain topeng.

Dan yang terakhir, Suluk Ronggeng, yang menjelaskan ma'rifat Islam. Hasyim menjelaskan, "Artinya, di situ ada kebebasan menari dalam Ronggeng, kebebasan menari kemudian juga meminum minuman nikmat dari serbat atau sari-sari buah-buahan, jahe, dan menghangatkan."

"Ronggng tidak sejelek apa yang dipengaruhi Belanda—menganggap Ronggeng sebagai roh yang melanggeng," tambahnya. "Ketika zaman Belanda sering salah kaprah soal minuman yang dijadikan minuman keras, padahal ini pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala."