"Ada banyak penlitian yang mengalami masalah insomnia dalam menanggapi bencana alam seperti gempa bumi di peru atau taifun di Taiwan. Tetapi [pandemi] adalah tekanan universal," kata penulis utama studi William V. McCall di Eurekalert.
Survei itu diadakan 15 Maret tahun lalu denga ruang lingkup terbatas, agar tidak menambah beban nakes dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Mereka mendata data dasar seperti demografi, kebiasaan kerja, suasana hati dan gejala kecemasan, serta indikator gangguan insomnia akut yang dimiliki.
Responden mereka adalah 72 persen nakes perempuan dengan usia rata-rata 43 tahun, termasuk dokter fakultas dan staf perawat. 25 persen dari responden juga pekerja shift di siang maupun malam hari.
Mereka diminta untuk merefleksikan penugasan mereka selama dua minggu sebelum Covid-19 meningkat di tempat pelyanan mereka. Kemudian para responden disurvei lagi lewat sensus harian.
Baca Juga: Setahun Pagebluk Covid-19. Apa saja yang Bisa Kita Pelajari?
Para peneliti menemukan selama pagebluk yang memengaruhi jam tidur dan tingkat gangguan insomnia nakes, dari 44,5% menjadi 64%. Insomnia terjadi secara keseluruhan, dan para peneliti mengimbau agar nakes menyadari hubungan pekerjaan selama pagebluk mereka.
Gangguan insomnia mempengaruhi 10% dari populasi umum nakes. Para nakes mengakui bahwa insomnia akut yang dialaminya terjadi berlangsung selama berminggu-minggu. Lalu ganggunan kronisnya tetap ada selama berbulan-bulan.
Para peneliti menulis, insomnia akut dapat berkembang menjadi gangguan kronis, bahkan bisa derdampak bertahun-tahub.
Kombinasi insomnia dan kecemasan mental karena pagebluk mewakili risiko kuat untuk keinginan bunuh diri, tulis para peneliti. Konsekuensi yang dilaporkan adalah kelelahan, malaise, rasa inisiatif yang berkurang, hingga masalah sistem pencernaan.