Selama Pagebluk Tenaga Kesehatan Rentan Insomnia. Apa Bahayanya?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 27 April 2021 | 19:00 WIB
Pada 17 April 2020, tenaga kesehatan di Kepulauan Sangihe memulihkan tenaga sebelum memindahkan jenazah akibat Covid-19. Kacamata penuh embun adalah salah satu hal yang sering dihadapi oleh mereka, di balik alat pelindung diri yang mereka kenakan. (Stenly Pontolawokang)

Nationalgeographic.co.id—Januari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lewat surat Nomor S-65/MK.02/2021 meresmikan tunjangan insentif untuk para tenaga kesehatan (nakes) Covid-19.

Tunjangan itu, dilansir dari Kompas.com berkurang sebesar 50% dari tahun sebelumnya. Padahal nakes sangat penting untuk mengatasi yang mengintai dunia, mereka harus memberikan tenaga ekstra, dan waktu mereka untuk tugas ini.

Selama nakes bertugas, ternyata berdasarkan studi terbaru dilakukan para peneliti Medical College of Georgia at Augusta University, insomnia meningkat pada mereka ketika memasuki musim pagebluk.

Lewat laporan di Journal of Clinical Sleep Medicine (Vol. 17, Issue 4) , peningkatan itu terjadi sekitar 44,5% pada para nakes yang berafiliasi dengan kampus kedokteran.

Melalui hasil survei, mereka menemukan 10% dari 679 dokter fakultas, perawat, praktisi lainnya mengakui bahwa insomnia sangat terasa di bulan-bulan awal pagebluk.

Baca Juga: Kisah Scammer asal Indonesia Curi 60 Juta Dolar Dana Bansos AS

"Ada banyak penlitian yang mengalami masalah insomnia dalam menanggapi bencana alam seperti gempa bumi di peru atau taifun di Taiwan. Tetapi [pandemi] adalah tekanan universal," kata penulis utama studi William V. McCall di Eurekalert.

Survei itu diadakan 15 Maret tahun lalu denga ruang lingkup terbatas, agar tidak menambah beban nakes dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Mereka mendata data dasar seperti demografi, kebiasaan kerja, suasana hati dan gejala kecemasan, serta indikator gangguan insomnia akut yang dimiliki.

Responden mereka adalah 72 persen nakes perempuan dengan usia rata-rata 43 tahun, termasuk dokter fakultas dan staf perawat. 25 persen dari responden juga pekerja shift di siang maupun malam hari.

Mereka diminta untuk merefleksikan penugasan mereka selama dua minggu sebelum Covid-19 meningkat di tempat pelyanan mereka. Kemudian para responden disurvei lagi lewat sensus harian.

Baca Juga: Setahun Pagebluk Covid-19. Apa saja yang Bisa Kita Pelajari?

 

Para peneliti menemukan selama pagebluk yang memengaruhi jam tidur dan tingkat gangguan insomnia nakes, dari 44,5% menjadi 64%. Insomnia terjadi secara keseluruhan, dan para peneliti mengimbau agar nakes menyadari hubungan pekerjaan selama pagebluk mereka.

Gangguan insomnia mempengaruhi 10% dari populasi umum nakes. Para nakes mengakui bahwa insomnia akut yang dialaminya terjadi berlangsung selama berminggu-minggu. Lalu ganggunan kronisnya tetap ada selama berbulan-bulan.

Para peneliti menulis, insomnia akut dapat berkembang menjadi gangguan kronis, bahkan bisa derdampak bertahun-tahub.

Kombinasi insomnia dan kecemasan mental karena pagebluk mewakili risiko kuat untuk keinginan bunuh diri, tulis para peneliti. Konsekuensi yang dilaporkan adalah kelelahan, malaise, rasa inisiatif yang berkurang, hingga masalah sistem pencernaan.

"Kami melihat banyak orang yang bekerja terlalu banyak pada satu pekerjaan, atau mereka memiliki dua pekerjaan dan tidak ada cukup waktu untuk tidur," ujar McCall.

"Mereka tidak menderita insomnia, jika ada yang sebaliknya, yaitu kurang tidur. Gangguan insomnia mengharuskan Anda setidaknya punya kesempatan untuk tidur."

Laporan itu mengungkapkan, semakin sering perawat mengatasi pasien, mereka berada dalam risiko dan merasa khawatir tertular Covid-19. Kecemasan ini membuat mereka insomnia.

Baca Juga: Jumlah Orang Hikikomori Diprediksi Meningkat Pasca Pandemi COVID-19

 

Hal itu diungkap oleh para responden yang pekerjaan mereka dapat dilakukan dari rumah. 10 persen dari responden mengakui insomnianya membaik saat timbul Covid, karena merasa lebih aman.

"Isolasi bagi kebanyakan orang memang buruk, tapi ada juga yang suka," McCall menanggapi.

Ada pula yang menganggap penugasan dari rumah justru memicu stres yang signifikan dan berisiko insomnia. Menurut para peenliti, hal itu karena mungkin lingkungan rumah dirasa tidak cocok untuk bkerja, dan tuntutan sekolah daring anak-anak mereka.

Para peneliti menulis, secara umum insomnia lebih sering terjadi pada wanita, seperti yang terjadi dalam survei mereka. Risiko ini mengancam kesehatan mental seperti depresi, penurunan risiko pikiran dan perilaku bunuh diri, dan kualitas hidup yang memburuk secara keseluruhan.

Peristiwa kehidupan pribadi yang baik dan buruk, seperti pernikahan atau perceraian yang akan datang, masing-masing, dapat memicu gangguan insomnia akut, tulis para peneliti.