Nationalgeographic.co.id—Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa rokok adalah penyebab utama kematian dan penyakit di dunia. Tiga juta orang mengalami kematian dini setiap tahunnya terkait konsumsi tembakau yang menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke, penyebab kematian utama di dunia, demikian bunyi pernyataan tersebut seperti dilansir di web Kementerian Kesehatan. Kematian tersebut termasuk 890.000 kematian para perokok pasif.
Di Amerikat Serikat, merokok juga merupakan penyebab utama kematian yang dapat dicegah. Di negeri Abang Sam itu, merokok juga tercatat sebagai pernyabab sekitar 30 persen dari semua kematian akibat kanker. Itulah mengapa para peneliti dari UC Davis Comprehensive Cancer Center ingin mempelajari dampak undang-undang California yang disahkan pada tahun 2016 yang menaikkan batas usia minimal target penjualan tembakau dari 18 tahun menjadi 21 tahun.
Mereka meneliti perilaku merokok di negara bagian California setelah pemerintah di sana menerapkan salah satu dari kebijakan tembakau pertama 21 (T21). Laporan hasil studi baru mereka ini telah terbit di jurnal Preventive Medicine.
Studi yang dilakukan oleh peneliti UC Davis, yakni Melanie Dove, Susan Stewart dan Elisa Tong, ini mengamati pola merokok sebelum dan sesudah undang-undang tersebut disahkan. Studi mereka juga mencoba membandingkan California dan negara-negara bagian lain di AS yang tak menerapkan kebijakan T21. Data untuk studi ini berasal dari Sistem Surveilans Faktor Risiko Perilaku 2012-2019 di Amerika Serikat (2012-2019 Behavioral Risk Factor Surveillance System).
Baca Juga: Kehilangan Anaknya, Ibu Ini Berjuang Supaya MK Melegalkan Ganja Medis
"Sebagian besar pengguna tembakau dewasa mulai merokok sebelum usia 18 tahun, ketika otak masih berkembang dan sangat rentan terhadap nikotin dan kecanduan," kata Dove, asisten profesor dari Divisi Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat UC Davis, seperti dikutip dari Eurekalert.
"Undang-undang T21 yang baru ini memiliki potensi, dari waktu ke waktu, secara dramatis mengurangi jumlah remaja yang mulai merokok secara teratur dan itulah mengapa penting untuk melacak dampaknya." ujar Dove lagi yang merupakan penulis utama dalam studi ini.
Studi tersebut menunjukkan bahwa undang-undang T21 yang baru terkait dengan penurunan yang lebih besar dalam merokok pada anak-anak muda berusia 18-20 tahun dibandingkan pada mereka yang berusia 21-23 tahun di California. Penurunan ini setidaknya teramati pada orang-orang yang memiliki perilaku merokok setiap hari (daily smoking).
"Kabar baiknya adalah prevalensi merokok 'setiap hari' di antara anak usia 18-20 tahun naik dari 2,2% pada 2016 menjadi hampir nol pada 2019,” kata Stewart, profesor dari Divisi Biostatistik di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat UC Davis.
"Kemungkinan alasan bahwa kami mungkin telah melihat penurunan dalam merokok 'setiap hari', tetapi bukan perokok 'non-harian', adalah karena perokok 'harian' lebih cenderung membeli rokok mereka sendiri --sehingga mereka lebih mungkin terkena dampak dari aturan pembatasan penjualan itu."
Tidak ada penurunan yang ditemukan pada perokok non-harian dan itu kemungkinan karena para pengguna ini tidak merokok secara teratur dan sering mendapatkan rokok dari teman atau anggota keluarga.
Para peneliti menggarisbawahi bahwa perubahan jumlah perokok harian di California tak hanya dipengaruhi oleh tantangan atau pembatasan dari penegakan hukum baru di tingkat negara bagian. Namun bisa juga dipengaruhi juga oleh peningkatan penggunaan produk lain (rokok elektrik), penjualan di luar toko ritel, dan kebijakan pengendalian tembakau lainnya.
"Penelitian di masa depan harus memeriksa peran penggunaan rokok elektrik, penegakan kebijakan, serta penjualan online," kata Tong, ahli penyakit dalam dan profesor yang mengarahkan inisiatif penghentian tembakau di UC Davis Comprehensive Cancer Center.
"Ini adalah masalah kesehatan masyarakat penting yang perlu diperiksa dan, berpotensi, memperlukan solusi kebijakan baru untuk melindungi kaum muda kita di California dari penyakit mematikan yang sering kali diakibatkan oleh kecanduan produk tembakau," tegasnya.
Baca Juga: Bukan Perokok Tapi Terkena Kanker Paru? Tiga Faktor Ini Penyebabnya
Permasalahan rokok pada kalangan usia muda ini tak hanya terjadi Amerika Serikat, tapi juga di Indonesia. WHO mengatakan setiap tahunnya ada sekitar 225.700 orang di Indonesia yang meninggal akibat merokok, atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau.
Dalam rilis yang diberitakan Liputan6.com, WHO menyebutkan data dari Indonesia yang dikeluarkan oleh Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019. Data tersebut menunjukkan bahwa 40,6% pelajar di Indonesia (usia 13-15 tahun), 2 dari 3 anak laki-laki, dan hampir 1 dari 5 anak perempuan sudah pernah menggunakan produk tembakau: 19,2 persen pelajar saat ini merokok dan di antara jumlah tersebut, 60,6% bahkan tidak dicegah ketika membeli rokok karena usia mereka, dan dua pertiga dari mereka dapat membeli rokok secara eceran.
Lebih lanjut, WHO mengatakan data dari GYTS juga menunjukkan hampir 7 dari 10 pelajar melihat iklan atau promosi rokok di televisi atau tempat penjualan dalam 30 hari terakhir. Selain itu, sepertiga pelajar merasa pernah melihat iklan rokok di internet atau media sosial.
WHO menjelaskan bahwa paparan terhadap tembakau di usia dini ini dapat menciptakan perokok seumur hidup dan dapat berkontribusi terhadap stunting dan menghambat pertumbuhan anak-anak. Selain itu, hal ini juga dapat meningkatkan risiko terjangkit penyakit tidak menular (PTM) kronis seperti penyakit jantung, penyakit saluran pernapasan kronis, diabetes, dan kanker saat mereka beranjak dewasa, hingga akhirnya bisa berakibat pada kematian dini.