Ia memang dikenal memiliki relasi yang baik dengan komunitas Arab, bahkan pandai berbahasa Arab. Terlebih, ia juga sempat belajar agama Islam di Mekah dan Jeddah.
Hugronje melaporkan, banyak pejabat muda kolonial yang Arab-fresser (pemakan Arab) perihal surat jalan pergi antar kota. Mereka lebih lunak kepada orang Tionghoa, tapi keras kepada orang Arab akibat berbagai prasangka.
Lewat esai-esainya, Hugronje memaparkan kalau orang Hadhrami sering dianggap sebagai orang yang suka memeras, riba, imoral, dan menipu. Maka ia membantahnya dengan hasil pengamatan.
Selain membantah prasangka itu, Hugronje tak segan-segan mengkritik pemeirntah, lewat surat yang ikirimkan pada 1902 untuk Gubernur Jenderal.
Baca Juga: Rumah Letnan Arab dan Kampong Arab di dalam Kampong Cina Ternate
Ia menuduh Van Raadshoven memperlakukan Syaikh Oemar Mangoes—kapitan Arab di Batavia—secara kasar. Kritik juga ia sampaikan pada residen Batavia atas perlakuan mereka pada kapitan Arab dan pemuka masyarakat lokal.
Tak melulu membahas hal episodik, Hugronje berkembang dalam permasalahan politis orang Arab dan Islam di Hindia Belanda.
Orang Arab-Hadhrami sering menoleh pada adikuasa Kesultanan Ottoman untuk meminta dukungan melawan diskriminasi kolonial Belanda. Alasannya, Kesultanan Ottoman saat itu tak hanya dianggap sebagai pembela kepentingan orang Timur-Tengah, tetapi juga umat Islam sedunia.
Orang Arab Hadhrami bahkan sempat melayangkan surat permohonan kepada Sultan agar memberikan mandat ke Hindia Belanda agar dapat disejajarkan dengan orang Eropa.
Baca Juga: Ketika Orang Arab dan Tionghoa Membuat Resah Pemerintah Kolonial