Nationalgeographic.co.id - Pada 2017, para arkeolog menetapkan 65.000 tahun lalu adalah penanggalan minimum manusia bermigrasi ke Australia. Manusia purba di Australia dari masa ke masa berinteraksi dengan spesies hominid lainnya seperti Neanderthal dan Denisova.
Leluhur Aborigin bermigrasi lewat dataran rendah yang terhubung di pesisir selatan Papua, Kepulauan Aru. Kini dataran itu tenggelam di Laut Arafura.
Bukti arkeologis pun sangat minim ditemukan, sehingga sulit bagi para ilmuwan untuk memahami cara mereka mengorganisir rombongannya menjelajahi medan sulit, dan gersang di Australia.
Lewat berbagai disiplin ilmu pengetahuan, para ilmuwan dari berbagai universitas tergabung dalam dua tim studi, melaporkan temuannya di Nature Communication dan Nature Human Behaviour secara bersamaan, Kamis (29/04/2021).
Baca Juga: Studi Terbaru Coba Ungkap Identitas Manusia Hobbit dari Flores
Mereka memperkirakan ada 6,5 juta masyarakat Sahul--istilah populasi purba Australia dan Papua saat bersatu, membutuhkan waktu 5.000 tahun untuk bisa menguasai Ausralia hingga Tasmania.
Asal-usul leluhur penduduk Australia pun selaras dengan cerita rakyat penduduk pribumi di kawasan utara.
Kisah nenek moyang mereka tersisa dalam cerita dalam berbagai bentuk yang masih dituturkan, seperti syair dan nyanyian. Meski demikian, tak semuanya relevan dengan temuan penelitian, dana ada pula cerita penduduk Aborigin lain bahwa mereka memang sudah diciptakan di benua ini.
Sean Ulm, salah satu peneliti dari James Cook Ua masyarakat Aborigin percaya bahwa bentang alam diciptakan di masa bermimpinya para leluhur.
Baca Juga: Menelusuri Jejak Rantai Genetika Manusia di Kepulauan Pasifik
"Setiap punggung bukit, bukit, sungai, pantai, dan sumber air diberi nama, bertingkat, dan diletakkan dalam struktur masyarakat--menekankan hubungan erat antara masyarkat dan lingkungannya," jelasnya dalam rilis penelitian.
"Lanskap secara harfiah terjalin dalam kehidupan masyarakat dan sejarah mereka. Tampaknya hubungan antara orang-orang dan negeri ini mungkin sudah ada sejak kependudukan paling awal di benua itu."
Cerita rakyat itu menjadi pembuktian para ilmuwan untuk mengindentifikasi jalur migrasi yang sangat memungkinkan. Mereka, dalam makalah Nature Human Behaviour, membuat 125 miliar jalur yang memungkinkan dilintasi.
Tujuannya agar memahami apa saja yang dilihat oleh masyarakat awal, seperti kontur medan, dan bentang alam. Faktor lain yang juga jadi temuan seperti kapasitas fisiologis penduduk di masa itu, kesulitan apa saja yang dialami, dan ketersediaan air untuk perjalanan.
"Kalau ini sebuah lanskap baru dan tak ada di peta, kami ingin tahu perpindahan efisien di seluruh tempat, di mana menemukan air, dan ke mana harus berkemah--dan kami sesuaikan pada ketinggian titik di dataran sekitarnya," ujar Stefani Crabtree, peneliti utama studi itu.
Baca Juga: Cadas Kanguru Berusia 17.300 Tahun Menjadi Lukisan Tertua di Australia
Mereka menemukan sebuah jalur super besar yang berbeda dari jalur migrasi di benua lain, dan jalur sekundernya. Jalur besar ini juga diduga dimanfaatkan sebagai rute perdagangan yang masih dapat ditemukan dengan baik.
Para ilmuwan mengungkap bahwa bentang alam geografis dan sumber air ternyata sangat menonjol untuk bermigrasi dan bertahan hidup di Australia.
Dengan demikian, hasil studi keduanya menunjukkan bahwa ada aturan mendasar dalam migrasi manusia dalam sejarah. Pendekatan seperti ini mereka simpulkan dapat menjelaskan bagaimana manusia purba gelombang pertama bermigrasi keluar dari Afrika untuk mengarungi Bumi.
Untuk saran penelitian selanjutnya, para ilmuwan menyarankan agar segera menguak situs arkeologi lainnya. Saran lainnya juga, bisa menerapkan metode yang digunakan untuk memprediksi jalur migrasi karena sebab lain seperti garis pantai yang mulai tenggelam, dan gangguan iklim di masa lalu.
Baca Juga: Kabar Paul Salopek, Jurnalis yang Susuri Jejak Jalur Migrasi Manusia
Di sisi lain, Corey Bradshaw, penulis utama di makalah Nature Communication menyarankan agar penelitian berikutnya bisa menggunakan perbandingkan dan persamaan cerita rakyat di setiap masyarakat. Komparasi juga bisa dilakukan dengan seni cadas yang dimiliki.
Peneliti selanjutnya harus menggunakan semua elemen budaya yang berbeda ini dalam membangun asosiasi mendalam dengan pengetahuan masyarakat Aborigin yang berbeda-beda.
"Dengan adanya unsur budaya semacam itu, sekaligus memvalidasi prediksi ilmiah, merupakan perkawinan nyata antara pengetahuan Pribumi dan pengetahuan Barat," sarannya, dilansir dari ABC News.