"Saya ada kegelisahan, bahwa biasanya yang dicurigai itu bangsa-bgansa asing, tapi sebetulnya nasionalisme pribumi sendiri masalah juga ada, nasionalisme Jawa itu juga ada lewat Soetomo dan Mangkunegaran yang justru mengkampanyekannya."
Kegelisahan akan nasionalisme bagi Soetomo, lewat organisasi Boedi Oetomo, terbentuk ketika ia mencoba membuat cabangnya di luar Pulau Jawa. Tetapi berdasarkan peraturan kolonial yang berlaku, organisasinya hanya berlaku pada orang Jawa.
Peraturan itu mengakibatkan kongres-kongres Boedi Oetomo terpaku di sekitar Jawa Timur, Surakarta, dan Yogyakarta, karena selain itu juga organisasi ini memiliki kedekatan dengan kalangan ningrat.
Sejak berdirinya pada 1908, organisasi ini hanya sesekali mengadakan kongresnya di Batavia, Bandung, dan Semarang.
Kedekatan organisasi ini dengan pihak ningrat juga membuat Soejitno atau Mangkunegara VI tertarik, terutama saat kongres di Surakarta pada 1915.
Setelah dirinya turun tahta akibat tidak satu suara dengan Mangkunegaran yang hendak diintervensi pemerintah Hindia Belanda, ia mengasingkan diri ke Surabaya pada 1916.
Baca Juga: Kung Fu: Senjata Tionghoa Merebut Kemerdekaan dan Melawan Penjajahan
Mangkunegara VI sendiri sangat dekat dengan Soetomo karena memiliki kesamaan visi, yakni kebudayaan sebagai kebangkitan nasional. Bahkan, berdasarkan surat-surat peninggalannya, Mangkunegara VI dan Soetomo sangat erat dan saling mengunjungi rumah.
Kemudian pada 1924, Soetomo juga mendirikan Indosische Studieclub di Surabaya untuk memberdayakan masyarakat bumiputera agar memiliki kesadaran pengetahuan politik, masalah nasional, dan sosial, dan memupuk kebangsaan sendiri.
Selain jadi tempat berkumpulnya pergerakan yang dilakukan bumiputera, Surabaya juga menjadi tempat lahirnya nasionalisme Indonesia dari kalangan Tionghoa. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 1932 oleh Liem Koen Hian dan Kwee Thiam Tjing.