Jawa Timur, Sarang Tokoh-Tokoh Kebangkitan Nasionalisme Indonesia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 21 Mei 2021 | 08:22 WIB
Anak-anak keturunan Arab di Surabaya. Surabaya menjadi salah satu tempat persemaian bangkitnya nasionalisme Indonesia. ( P.J. van Winter/KITLV 25116)

Nationalgeographic.co.id—Jawa Timur, khususnya Surabaya, di masa Hindia Belanda menjadi tempat berkumpulnya beberapa tokoh pergerakan nasionalisme. Seperti Soekarno, Soetomo, Oemar Said Tjokroaminoto, Liem Koen Hian, dan Abdurrahman Baswedan.

Sebelum nasionalisme akan persatuan Indonesia muncul, menurut sejarawan Leiden Unviersity, Adrian Perkasa, yang ada hanyalah nasionalisme kedaerahan. Dan rasa nasionalisme kedaerahan sendiri masih bertahan pada awalnya, meski nasionalisme Indonesia secara luas baru lahir.

"Pra-nasionalisme Indonesia, yakni nasionalisme kedaerahan seperti nasionalisme Batak, nasionalisme Minahasa, dan ada juga Tionghoa dan Arab yang pro tempat asalnya dan ada juga yang mendukung Indonesia," paparnya dalam Webinar Hari Kebangkitan Nasional, Rabu (20/05/2021).

Trem listrik di jalanan Gemblongan, Surabaya, dengan Fotax Fotografisch Magazijn en Atelier di sisi kiri, dan Yamato di sisi kanan. Foto sekitar 1938. (KITLV)

 

"Saya ada kegelisahan, bahwa biasanya yang dicurigai itu bangsa-bgansa asing, tapi sebetulnya nasionalisme pribumi sendiri masalah juga ada, nasionalisme Jawa itu juga ada lewat Soetomo dan Mangkunegaran yang justru mengkampanyekannya."

Kegelisahan akan nasionalisme bagi Soetomo, lewat organisasi Boedi Oetomo, terbentuk ketika ia mencoba membuat cabangnya di luar Pulau Jawa. Tetapi berdasarkan peraturan kolonial yang berlaku, organisasinya hanya berlaku pada orang Jawa.

Peraturan itu mengakibatkan kongres-kongres Boedi Oetomo terpaku di sekitar Jawa Timur, Surakarta, dan Yogyakarta, karena selain itu juga organisasi ini memiliki kedekatan dengan kalangan ningrat.

Sejak berdirinya pada 1908, organisasi ini hanya sesekali mengadakan kongresnya di Batavia, Bandung, dan Semarang.

Kedekatan organisasi ini dengan pihak ningrat juga membuat Soejitno atau Mangkunegara VI tertarik, terutama saat kongres di Surakarta pada 1915.

Setelah dirinya turun tahta akibat tidak satu suara dengan Mangkunegaran yang hendak diintervensi pemerintah Hindia Belanda, ia mengasingkan diri ke Surabaya pada 1916.

Baca Juga: Kung Fu: Senjata Tionghoa Merebut Kemerdekaan dan Melawan Penjajahan

Dr. Soetomo, tokoh pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan pertama di Indonesia. (Editor)

Mangkunegara VI sendiri sangat dekat dengan Soetomo karena memiliki kesamaan visi, yakni kebudayaan sebagai kebangkitan nasional. Bahkan, berdasarkan surat-surat peninggalannya, Mangkunegara VI dan Soetomo sangat erat dan saling mengunjungi rumah.

Kemudian pada 1924, Soetomo juga mendirikan Indosische Studieclub di Surabaya untuk memberdayakan masyarakat bumiputera agar  memiliki kesadaran pengetahuan politik, masalah nasional, dan sosial, dan memupuk kebangsaan sendiri.

Selain jadi tempat berkumpulnya pergerakan yang dilakukan bumiputera, Surabaya juga menjadi tempat lahirnya nasionalisme Indonesia dari kalangan Tionghoa. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 1932 oleh Liem Koen Hian dan Kwee Thiam Tjing.

Sejarawan Leo Suryadinata dalam Peranakan Chinese Politics in Java 1917–1942, menulis, bahwa partai ini terbentuk dari perselisihan sesama Tionghoa yang mendukung kolonial Belanda, atau mendukung nasionalisme Tiongkok. 

PTI sendiri berhasil mengubah surat kabar Sin Jit Po menjadi Sin Tit Po. Media ini dahulunya menggemborkan semangat anti kolonialisme yang cenderung mendukung identitas Tionghoa untuk nasionalisme Tiongkok. Perubahannya membuat agendanya mendukung semangat PTI untuk nasionalisme Indonesia.

Sin Tit Po juga melahirkan gagasan bagi nasionalisme Indonesia bagi kalangan Arab yang dicetus Abdurrahman Baswedan.

Baca Juga: Ketika Orang Arab dan Tionghoa Membuat Resah Pemerintah Kolonial

Pejuang Republik berlaga dengan meriam penangkis serangan udara dalam Pertempuran Surabaya. Mungkin operator meriam itu bernama Gumbreg, yang berhasil menjatuhkan lebih dari sepuluh pesawat musuh. (Album Perang Kemerdekaan 1945-1950)

Baswedan, dalam Mencari Identitas Orang Hadhrami di Indonesia di Indonesia (1900-1950), menentang dengan sikap orang Arab--khususnya Hadhrami--kalangan tua yang memiliki sikap untuk semangat nasionalisme untuk Hadhrami.

Maka pada 1934, ia mendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang kemudian berkembang menjadi partai politik. Semangat nasionalisme Indonesia dari kalangan Arab dibuktikan dalam pernyataan sikap dari Sayyid Abdullah bin Salim Al-Attas di kongres PAI.

Dalam kongres itu ia menyatakan bahwa, "PAI hanya bisa memperjuangkan kepentingan orang-orang Indonesia melakui jalan politik." Pernyataan ini dikutip dari  The Hadrami Awakening, Community and Identity in the Netherlands East Indies (1999) karya Natalie Mobini Kasheh.

Baca Juga: Siapa Sajakah yang Berhak Mendapatkan Gelar Pahlawan Nasional?

Semangat kebangkitan nasional di masa lalu hanyalah buah pemikiran cerita kelam masa Perang Dunia I dan II, ujar Adrian Perkasa. Ia merefleksikan, nasionalisme di masa lalu terbentuk karena dianggap membawa kemuliaan bagi banyak bangsa, tetapi memiliki makna yang fleksibel atau kontekstual

"NKRI itu bukan harga mati, tapi nasionalisme itulah yang harus diperjuangkan," Adrian berpendapat. "Nasionalisme itu, menurut para ahli itu ga bisa diukur kadarnya pada setiap orang. Sama seperti kadar komunisnya seseorang, atau kadar keimanan seseorang, karena semua selalu berkembang."