Apa Salah Musik-Musik Barat Seperti The Beatles di Telinga Sukarno?

By Fikri Muhammad, Rabu, 2 Juni 2021 | 17:30 WIB
Sukarno menutup telinganya. (Seventh News Service)

Nationalgeographic.co.id—Pada masa pemerintahannya, Sukarno membuat kebijakan bernafas anti-kolonialisme dan imperialisme. Atas nama memajukan kebudayaan nasional, rakyat diperintah untuk mejauhi pengaruh budaya asing. 

Sama halnya dengan musik, ia berfungsi sebagai alat revolusi. Pada Surat Kabar Harian Minggu 8 November 1964, Sukarno dengan tajam tidak membenarkan lagu 'klemak-klemik' - seperti menangis atau anjing mengaung di malam hari. Lagu semestinya yang menggambarkan 'fighting nation' dan bukan lagu 'ngak ngik ngok'.

'Ngak ngik ngok' diinterpretasikan sebagai musik The Beatles oleh Sukarno (mungkin diambil dari intro harmonika Love Me Do). Spirit kebebasan ala The Beatles dianggap membahayakan budaya gotong royong karena ia mengutuk liberalisme secara politik, ekonomi, dan budaya.

Pada bagian The Prince and The Showgirl dalam buku “Marilyn Monroe Unseen Archives” disebutkan Joshua Logan (tengah) memperkenalkan Marilyn Monroe kepada Presiden Soekarno. Dalam buku itu disebutkan bahwa Soekarno sempat meminta khusus untuk berjumpa dengan Marilyn. (Dokumentasi Tribunnews via United States Information Service)

Guna mengiris pengaruh budaya Barat itu ada sidang presidium 22 September 1964 yang terdiri dari Oei Tjoe Tat, Adam Malik, dan Mayor Jenderal Achmadi. Menghasilkan kebijakan untuk menindak tegas warga yang masih mendengarkan dan memainkan musik 'ngak ngik ngok'.

Polisi didukung kaum muda yang berafiliasi dengan Lekra dan Pemuda Rakyat untuk merazia ratusan piringan hitam dan alat perekam beserta kaset The Beatles, Rolling Stones, dan The Shadows. Kepolisian memerintahkan pedagang piringan hitam untuk menyerahkan musik-musik itu sampai sampai 22 Juli 1965.

Kelompok musik Koes Bersaudara yang kemudian dikenal sebagai Koes Plus juga kena imbasnya. Gaya mereka dianggap meniru The Beatles nan kebarat-baratan dan lagunya dianggap melemahkan mental remaja dengan nuansa-nuansa cinta. Mereka ditangkap dan lagu-lagunya dilarang beredar. Bahkan album piringan-piringan hitam mereka dihancurkan. 

Baca Juga: Nasib Musik Tanjidor: Dari Kaum Mardijker Sampai Kaum Pinggiran

Potret album Koes Plus. Mereka pernah ditangkap dan lagu-lagunya dilarang beredar. Bahkan album piringan-piringan hitam mereka dihancurkan. (DISCOGS)

Musik populer tahun 1960-an memang berperang dalam 'budaya remaja'. Beberapa aliran, termasuk Rock n Roll dinilai seperti 'budaya remaja' menurut Dieter Mack dalam buku Apresiasi Musik Populer (1997).

Sehingga perang idola, cara penampilan, gaya hidup para bintang musik menjadi panutan para remaja. Mereka menganggap semua yang melekar pada idolannya merupakan sesuatu yang patut ditiru. Guna mengilangkan budaya itu maka pemerintah tidak hanya memenjarakan musisi dan memberantas piringan hitam, tapi juga tidak menyediakan pilihan lagu-lagu Barat dalam daftar pilihan pendengar. 

Media massa saat itu banyak yang memberikan reaksi positif terhadap kebijakan Sukarno. Munculah kecaman-kecaman kepada The Beatles sebagai biang keladi dari semua masalah kenakalan remaja di indonesia. 

Baca Juga: Nostalgia Lewat Musik Lawas, Penawar Psikologis di Masa Pagebluk

Sukarno pernah membahas ini dengan Ki Hajar Dewantara, menurutnya Rock n Roll dan tarian Twist tidak hanya diberantas tapi harus ada penggantinya.

"Kita harus kasih something instead, gantinya. Kita tidak bisa melarang kita punya pemuda dan pemudi kita jangan menari. Tidak bisa melarang kita punya pemuda-pemudi jangan menyanyi. Sebab menari dan menyanyi itu adalah memang kodrat dan karakter daripada pemuda-pemudi. Malahan, meskipun aku tua pun aku suka menyanyi dan menari. Tetapi marilah kita, dalam melarang tari-tarian yang gila-gilaan, nyanyi-nyanyian yang gila-gilaan itu, kita kasih gantinya. Dan dari mana penggantinya? Carilah dari pangkuan Ibu Pertiwi. Carilah dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri," kata Ki Hajar Dewantara di buku Soekarno: Gerakan Massa dan Mahasiswa.

Wejangan Ki Hajar terjawab setelah Soekarno datang ke Maluku. Waktu itu ia disuguhkan tari Lenso, lalu ia mendapat ide menggunakan tari Lenso sebagai tari 'gila-gilaan'.

Baca Juga: Bagaimana Si Pendiam Menjadi Paling Populer Dibanding Beatles Lainnya

The Beatles di acara Ed Sullivan 1964 ()

Kecaman tidak hanya pada warna musik tetapi berkaitan dengan dansa yang disebut cha-chacha. Dansa itu mendapat kecaman karena gerakannya dianggap memunculkan nafsu birahi dan dinilai bertentangan dengan kepribadian bangsa. Namun yang jadi pelopor dansa ini justru para kepala daerah dan kepala jawatan yang duduk di kursi pemerintahan tulis Sitompoel dalam Star Weekly 2 Januari 1960.

Pada pertemuan dadakan oleh Djawatan Kebudayaan Perwakilan Djakarta Raya di Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur muncul berbagai keluhan dari beberapa pembicara bahwa larangan-larangan itu merugikan kaum pemuda.

Masalah larangan adanya grup musik dengan aliran Barat dirasa membuat pemuda kehilangan kreatifitas bermusik yang bisa jadi pekerjaan mereka. 

Tidak semua masyarakat setuju dengan Sukarno, tapi mereka memilih untuk diam-diam tanpa tindakan berarti. Hal ini tertanam pada masyarakat awam jika ada yang melanggar, maka akan dicap kontra revolusioner dan tidak berjiwa nasionalis, tulis Ayu Pertiwi di jurnal Larangan Soekarno Terhadap Musik Barat Tahun 1959-1967.

Baca Juga: Histeria Beatlemania Saat Pendaratan Pertama The Beatles di AS