'Salju Darah' Bisa Jadi Kunci untuk Memahami Dampak Perubahan Iklim

By Utomo Priyambodo, Selasa, 8 Juni 2021 | 20:00 WIB
(Jean-Gabriel VALAY/JARDIN DU LAUTARET/UGA/CNRS)

Sama seperti mikroalga yang menghuni lautan, danau, dan sungai, mikroalga yang terbawa salju membantu membentuk dasar jaring makanan di ekosistem pegunungan dan kemungkinan bereaksi terhadap polusi dan perubahan iklim dengan cara yang sama, kata Eric Maréchal, koordinator konsorsium AlpAlga dan direktur Laboratory of Cellular and Plant Physiology, fasilitas penelitian di Grenoble, Prancis.

"Masyarakat diinstruksikan dengan baik tentang keberadaan alga di lautan," tetapi kurang menyadari mikroorganisme terkait yang hidup di tanah di puncak gunung dan di salju yang terakumulasi di ketinggian itu, kata Maréchal seperti dilansir Live Science.

Saat tim mendaki gunung di Pegunungan Alpen Prancis, mereka mendaki melalui lingkungan yang penuh dengan kehidupan mikroskopis "seperti di lautan, tapi ada di salju. Itu di perairan interstisial di antara kristal es kecil."

Secara umum, sel mikroalga hanya berukuran beberapa seperseribu inci atau seperseribu milimeter. Mereka dapat eksis sebagai organisme sel tunggal atau koloni yang terisolasi.

Alga yang berubah menjadi merah di salju secara teknis adalah alga hijau. Sebab, mereka termasuk dalam filum Chlorophyta dan mengandung bentuk spesifik klorofil, pigmen hijau yang memungkinkan fotosintesis. Namun, selain memiliki klorofil, alga ini juga mengandung karotenoid, pigmen oranye dan merah yang sama yang muncul pada sayuran seperti wortel.

 

Baca Juga: Lapisan Es Greenland Melepaskan Merkuri Berkadar Tinggi ke Sungai

Garis-garis ganggang merah melapisi es Antartika dalam 'salju darah'. (Andriy Zotov)

 

Karotenoid bertindak sebagai antioksidan dan kemungkinan melindungi alaga dari efek merusak dari cahaya intens dan radiasi ultraviolet yang ditemukan di dataran tinggi, kata Maréchal.

Selama blooming alga, ketika sejumlah besar alga tumbuh sangat cepat, salju di sekitarnya dapat tampak merah atau oranye karena akumulasi karotenoid tersebut. Oleh karena itu, gletser darah ini tampak mengerikan.

Sama seperti polusi kaya nutrisi yang memicu blooming alga di lautan, nutrisi yang terbawa ke puncak gunung dalam curah hujan dan angin secara teoritis dapat memicu blooming alga juga di Pegunungan Alpen, kata Maréchal. Dan meningkatnya kadar karbon dioksida di atmosfer secara teoritis juga bisa memacu pertumbuhan alga, katanya. Meskipun itu baik untuk alga, perubahan ini dapat memicu efek bola salju yang berbahaya di ekosistem sekitarnya.

Misalnya, hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa salju kemerahan memantulkan cahaya kurang efektif daripada salju putih yang tidak ternoda. Akibatnya, salju jadi meleleh lebih cepat, menurut laporan 2016 yang diterbitkan dalam jurnal Nature.

Baca Juga: Gunung Es Terbesar Sedunia, Seluas Pulau Madura, Lepas dari Antarktika