'Salju Darah' Bisa Jadi Kunci untuk Memahami Dampak Perubahan Iklim

By Utomo Priyambodo, Selasa, 8 Juni 2021 | 20:00 WIB
(Jean-Gabriel VALAY/JARDIN DU LAUTARET/UGA/CNRS)

Nationalgeographic.co.idSalju berwarna merah darah ditemukan di atas Pegunungan Alpen Prancis. Berada ribuan kaki di atas permukaan laut, sejumlah lapisan salju yang biasanya berwarna putih itu kini tampak bernoda darah merah tua, beberapa di antaranya memanjang bermil-mil.

Fenomena salju berwarna merah darah ini disebut sebagai "gletser darah" atau "salju darah". Namun noda merah ini sebenarnya bukanlah berasal dari tumpahan darah, melainkan dari mikroalga yang hidup di salju.

Baru-baru ini sekelompok ilmuwan berjalan kaki melakukan ekspedisi ke Pegunungan Alpen untuk mempelajari organisme misterius tersebut. Ekspedisi ini merupakan bagian dari proyek AlpAlga, upaya untuk mempelajari mikroalga yang hidup di pegunungan, 3.280 hingga 9.842 kaki atau 1.000 hingga 3.000 meter di atas permukaan laut.

Sama seperti mikroalga yang menghuni lautan, danau, dan sungai, mikroalga yang terbawa salju membantu membentuk dasar jaring makanan di ekosistem pegunungan dan kemungkinan bereaksi terhadap polusi dan perubahan iklim dengan cara yang sama, kata Eric Maréchal, koordinator konsorsium AlpAlga dan direktur Laboratory of Cellular and Plant Physiology, fasilitas penelitian di Grenoble, Prancis.

"Masyarakat diinstruksikan dengan baik tentang keberadaan alga di lautan," tetapi kurang menyadari mikroorganisme terkait yang hidup di tanah di puncak gunung dan di salju yang terakumulasi di ketinggian itu, kata Maréchal seperti dilansir Live Science.

Saat tim mendaki gunung di Pegunungan Alpen Prancis, mereka mendaki melalui lingkungan yang penuh dengan kehidupan mikroskopis "seperti di lautan, tapi ada di salju. Itu di perairan interstisial di antara kristal es kecil."

Secara umum, sel mikroalga hanya berukuran beberapa seperseribu inci atau seperseribu milimeter. Mereka dapat eksis sebagai organisme sel tunggal atau koloni yang terisolasi.

Alga yang berubah menjadi merah di salju secara teknis adalah alga hijau. Sebab, mereka termasuk dalam filum Chlorophyta dan mengandung bentuk spesifik klorofil, pigmen hijau yang memungkinkan fotosintesis. Namun, selain memiliki klorofil, alga ini juga mengandung karotenoid, pigmen oranye dan merah yang sama yang muncul pada sayuran seperti wortel.

 

Baca Juga: Lapisan Es Greenland Melepaskan Merkuri Berkadar Tinggi ke Sungai

Garis-garis ganggang merah melapisi es Antartika dalam 'salju darah'. (Andriy Zotov)

 

Karotenoid bertindak sebagai antioksidan dan kemungkinan melindungi alaga dari efek merusak dari cahaya intens dan radiasi ultraviolet yang ditemukan di dataran tinggi, kata Maréchal.

Selama blooming alga, ketika sejumlah besar alga tumbuh sangat cepat, salju di sekitarnya dapat tampak merah atau oranye karena akumulasi karotenoid tersebut. Oleh karena itu, gletser darah ini tampak mengerikan.

Sama seperti polusi kaya nutrisi yang memicu blooming alga di lautan, nutrisi yang terbawa ke puncak gunung dalam curah hujan dan angin secara teoritis dapat memicu blooming alga juga di Pegunungan Alpen, kata Maréchal. Dan meningkatnya kadar karbon dioksida di atmosfer secara teoritis juga bisa memacu pertumbuhan alga, katanya. Meskipun itu baik untuk alga, perubahan ini dapat memicu efek bola salju yang berbahaya di ekosistem sekitarnya.

Misalnya, hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa salju kemerahan memantulkan cahaya kurang efektif daripada salju putih yang tidak ternoda. Akibatnya, salju jadi meleleh lebih cepat, menurut laporan 2016 yang diterbitkan dalam jurnal Nature.

Baca Juga: Gunung Es Terbesar Sedunia, Seluas Pulau Madura, Lepas dari Antarktika

Tidak jelas apakah, seperti halnya alga laut yang berkembang biak, perubahan iklim dan polusi akan menyebabkan salju merah lebih sering muncul, berpotensi merugikan organisme lain di lingkungan, kata Maréchal.

Pada titik ini, "apa yang kami pikirkan adalah bahwa alga mungkin merupakan penanda perubahan iklim." Jadi, pertumbuhan organisme ini bisa jadi mencerminkan peningkatan kadar karbon dioksida dan perubahan terkait di lingkungan, kata Maréchal.

Meskipun ini masuk akal, belum ada cukup data untuk benar-benar melacak bagaimana alga berubah seiring waktu. "Orang-orang yang akrab dengan pegunungan, mereka berkata, 'Oh, kami melihat semakin banyak salju merah.' Tapi kami tidak benar-benar mengukur [itu]," katanya. Jadi Maréchal dan timnya berangkat untuk mengisi kekosongan tersebut dalam literatur.

Dalam studi terbaru mereka, yang diterbitkan pada 7 Juni 2021 di jurnal Frontiers in Plant Science, tim mempelajari prevalensi spesies mikroalga di lima lokasi berbeda di Pegunungan Alpen Prancis. Lima lokasi tersebut mencakup ketinggian antara 4.000 dan 9.645 kaki atau antara 1.250 hingga 2.940 meter di atas permukaan laut.

Alga merah darah menyelimuti salju di dekat Vernadsky Research Base Antartika. (Andriy Zotov)

Mereka mengumpulkan sampel tanah dari situs-situs tersebut pada akhir musim panas 2016, setelah salju musiman mencair selama setahun. Beberapa anggota tim mengkhususkan diri dalam mengekstraksi DNA dari lingkungan, yang memungkinkan kelompok untuk menemukan materi genetik yang tersisa dari sel-sel alga yang mati dan rusak yang sebelumnya hidup di masing-masing lokasi.

"Orang-orang itu seperti polisi ilmiah; mereka dapat melacak keberadaan organisme dengan DNA yang ditinggalkan organisme itu," kata Maréchal. Tim mengeluarkan semua DNA alga dari sampel mereka, mengungkapkan spesies alga mana yang tumbuh di mana, berdasarkan ketinggian; survei juga mengisyaratkan kondisi lingkungan yang disukai setiap spesies.

Misalnya, alga dari genus Sanguina, yang dikenal sebagai penyebab salju merah, hanya muncul pada ketinggian 6.560 kaki atau 2.000 meter di atas permukaan laut dan lebih tinggi. Sementara itu, alga dalam genus Desmococcus dan Symbiochloris hanya muncul di ketinggian rendah, di bawah 4.920 kaki atau 1.500 meter.

Baca Juga: Gunung Es Seluas Pulau Bali dan Seberat 1 Triliun Ton Mencair Hilang

"Kami mungkin memiliki ekspektasi sesuatu, tetapi bukan zonasi spesies yang spektakuler ini," dengan banyak spesies secara eksklusif terbatas pada ketinggian tinggi atau rendah, kata Maréchal.

Studi ini berfungsi sebagai titik awal untuk proyek AlpAlga saat tim mencoba menjawab banyak pertanyaan yang tersisa tentang "gletser darah" ini. Kita masih belum tahu kondisi lingkungan apa yang memicu blooming alga; bagaimana kondisi musiman dan hilangnya salju mempengaruhi siklus hidup alga; atau bagaimana blooming alga mempengaruhi pencairan salju dan retret glasial, dalam skala besar, kata Maréchal.

Dalam ekspedisi yang akan datang akhir bulan ini, tim berencana untuk membangun situs-situs penelitian jangka panjang di mana mereka dapat melacak pertumbuhan alga selama melewati perubahan musim.

 

 

Mereka akan menganalisis gradien antara salju putih dan merah, untuk melihat kondisi apa yang menyebabkan terjadinya blooming alga tersebut, dan mengambil sampel sel alga untuk dibudidayakan di laboratorium mereka.

Garis penelitian ini seharusnya tidak hanya mengungkap misteri gletser darah, tetapi juga memberikan wawasan tentang bagaimana ekosistem Alpen dapat berubah saat iklim menghangat, kata Maréchal.

Gletser yang mencair di daerah kutub sering menjadi berita utama, sebagian karena dampaknya terhadap kenaikan permukaan laut telah banyak dibahas, kata Maréchal. Namun perubahan iklim juga berdampak besar pada gletser yang terkurung daratan di daerah pegunungan, di mana air glasial berfungsi sebagai reservoir untuk sistem perairan sungai, katanya. Jadi dalam jangka panjang, dampak perubahan iklim akan terasa di daerah pegunungan, "walaupun jauh dari pantai."