Laut Paratethys, Danau Purba Raksasa yang Pernah Ada di Eurasia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 10 Juni 2021 | 20:28 WIB
Permukaan Eruasia jutaan tahun lalu dengan Laut Paratethys. (Dan Valentin Palcu et al/Scientific Reports)

Nationalgeographic.co.id - Danau yang memiliki air asin, namanya akan tetap dipanggil laut seperti Laut Mati dan Laut Kaspia. Laut Kaspia adalah danau air asin terluas yang yang kita kenal saat ini, walau ukurannya menyusut akibat perubahan iklim.

Tapi tahukah kami, kalau ternyata sekitar kurang dari 12 juta tahun yang lalu, ada danau air asin yang sangat luas di dataran Eurasia. Para ilmuwan menyebutnya sebagai laut Paratethys, yang terbentuk akibat lempeng benua bertumbukan bersamaan, dan mengangkat gunung baru di sekitar Eropa tengah.

Danau itu terbentang dari sisi timur Pegunungan Alpen hingga Kazakhstan. Diperkirakan luasnya lebih dari 2,8 juta kilometer persegi, lebih luas dari Laut Mediterania saat ini, tulis para ilmuwan dalam laporan Scientific Reports, Selasa (01/05/2021).

 

Berdasarkan analisisnya, mereka memperkirakan danau itu mengandung lebih dari 1,77 juta kilometer kubil air, lebih dari 10 kali volume yang ditemukan dari semua danau—baik air asin maupun tawar—jika digabungkan.

Namun danau itu menyusut secara dramatis akibat perubahan iklim. Diketahui terjadi sekitar empat kali dalam waktu keberadaannya selama 5 juta tahun. Para ilmuwan menulis penyusutan air itu sebanyak 250 meter oada 7,65 juta tahun dan 7,9 juta tahun yang lalu.

Pada masa kontrkasi terbesarnya, Laut Paratethys kehilangan sepertiga airnya dan lebih dari dua pertyigas luas pemukaannya.

Momen ini menyebabkan salinitas air di cekungan bagian tengah danau yang melonjak, yang kadar keasinannya dari sepertiga air laut kini menjadi setara dengan air laut biasa. Untuk bentuk cekungan tengah danau, mereka menulis, sangat mirip dengan garis tepi Laut Hitam saat ini.

 

Baca Juga: Fosil Megalodon dan Hewan Laut Purba Lainnya Ditemukan di Sukabumi

Pergeseran benua di planet Bumi. Sebelum: Pangea, 200 juta tahun yang lalu dan setelah sebagai benua modern. (World Atlas)

 

Bagaimana dampaknya dengan organisme di masa itu?

Penyusutan Laut Paratethys yang sangat signifikan itu menyebabkan banyak spesies air mati, termasuk spesies ganggang bersel tunggal, dan mikroorganisme yang mengapung bebas.

Sedangkan makhluk-makhluk yang mampu hidup di air payau, seperti beberapa jenis moluska, bisa bertahan hidup dan mengisi kembali danau, ketika ia mengembang lagi selama masa basah, tulis mereka.

Laut Paratethys selanjutnya menjadi rumah bagi berbagai macam moluska, krustasea, dan mamalia laut yang tidak ditemukan di tempat lain. Hal ini senada dengan temuan para ilmuwan sebelumnya di Marine Ecology Progress Series (Vol.338 tahun 2007).

Pavel Gol'din yang melakukan penelitian pada 2007 merespon temuan terbaru ini di Science Magazine. Dia berpendapat bahwa mamalia laut di sana adalah lumba-lumba, puas, dan anjing laut versi mini.

Ada pula spesies Cetotherium riabinini berukuran 3 meter—1 meter lebih pendek dari lumba-lumba hidung botol saat ini. Fosilnya ia temukan, dan kemungkinan pengkerdilan ukuran ini membantu mereka bisa beradaptasi dengan Laut Paratethys yang menyusut.

Baca Juga: Laut Kaspia Kian Menyusut Akibat Perubahan Iklim. Apa Dampaknya?

Tanah di situs Aghajari, Iran, menyisakan bukti batupasir yang paling masif (lingkaran putih) dengan ketebalan 60 meter yang terendap antara 6,15 dan 5,95 juta tahun lalu. (Madelaine Böhme et al/Communications Earth & Environment)

 

Laut Paratethys juga berperan dalam mengungkapkam bagaimana gajah, jerapah, dan mamalia besar lainnya dapat tersebar di penjuru dunia saat ini.

Berdasarkan laporan di Communications Earth & Environment 18 Mei lalu, penysutan danau raksasa ini mempengaruhi evolusi hewan darat, dan mengubah garis pantai yang baru lalu menjadi padang rumput.

Data temuan yang dimiliki para ilmuwan berdasakarkan catatan geologis di Iran barat, yang terbukti sedimennya mengalami perubahan iklim jangka panjang yang berulang. Di sana juga ditemukan catatan fosil terkait nenek moyang jerapah dan gajah hidup subur.

Sedangkan di belahan utara Laut Paratethys, para ilmuwan juga menemukan fosil nenek moyang domba dan kambing, bersama kijang purba di belahan utara Laut Paratethys.

Baca Juga: Pencarian Bahtera Nabi Nuh, Benarkah Berada di Turki?

 

Periode kering panjang yang dialami Laut Paratethys terjadi selama empat kali antara 6,25 juta dan 8,75 juta tahun yang lalu. Selama itu kemungkinan besar mendorong makhluk-makhluk darat bermigrasi dari barat daya ke Afrika, tulis para peneliti.

Di sanalah mereka berevolusi untuk menghasilkan pusparagam makhluk hidup yang membuat sabana Afrika terkenal saat ini.

Terakhir, Laut Paratethys tak ada lagi sekitar 6,7 juta dan 6,9 juta tahun yang lalu. Penyebab utamanya adalah erosi yang menciptakan jalur keluar di tepi barat daya danau, yang kini menjadi Laut Aegea antara Turki dan Yunani. Jalur keluar air itu sebelum terendam merupakan sungai pendek yang akhirnya bermuara ke Mediterania.

 Baca Juga: Kabar Benua yang Hilang: Petunjuk Ring of Fire dari Benua Zealandia